Oleh : Ummu Salman
(IRT, anggota komunitas Muslimah Peduli Negeri)
Artis senior Marissa Haque mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan terkait insiden penusukan yang dialami Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto. Lho betul dong dugaanku. Wong kemarin di TV saya ndak melihat ada darah di tubuh Pak W. Dan semua berita datang dari satu sumber video-HP dengan posisi adegan tertutup pintu mobil satu dengan kaca terbuka lalu pintu satunya dengan kaca tertutup ber-riben gelap,” tulisnya, Jumat (11/10/2019). “Kami orang-orang pekerja film cukuplah meresponnya dengan tersenyum semanis madu, hehehe… Love you all! Kecup jauh deh, muah… muah… muah… muah!,” ungkapnya. (pojoksatu.id, 11/10/2019)
Krisis Kepemimpinan
Krisis kepemimpinan sedang melanda bangsa kita. Ketidakmampuan rezim ini dalam menjalankan peri'ayahan kepada berbagai urusan rakyatnya, telah membuat penguasa mempermalukan dirinya. Ketidakmampuan tersebut terlihat dari menumpuknya berbagai persoalan rakyat yang tidak mendapatkan solusi yang memudahkan bagi rakyat. Solusi yang diberikan rezim justru semakin menambah beban bagi rakyat. Persoalan tersebut seperti ketika dana BPJS devisit, solusinya adalah menaikkan tarif yang akan dibayarkan oleh anggota BPJS yang notabene adalah rakyat itu sendiri. Bukan hanya tarif BPJS, tarif dasar listrik juga ikut dinaikkan. Disamping itu munculnya kerusuhan etnis dan kerusuhan horizontal juga marak terjadi di rezim ini. Contoh yang paling hangat adalah Kerusuhan yang terjadi di wamena, yang berujung tewasnya puluhan orang dan ratusan luka-luka. Kerusuhan tersebut ditanggapi "dingin" oleh rezim ini, seolah kejadian itu tak penting. Bahkan ketika kota Ambon dilanda gempa berkali-kali, sikap pemerintah yang disampaikan lewat lisan seorang Pak Wiranto, adalah para pengungsi disuruh pulang ke rumahnya masing-masing karena besarnya jumlah pengungsi akan menjadi beban pemerintah.
Ditambah lagi dengan sikap anti kritik yang ditunjukkan oleh penguasa semakin menambah krisis tersebut. Tak jarang, rezim ini memperkarakan orang-orang yang kritis terhadap kebijakannya. Bahkan ulama sekalipun yang kritis tak luput dari kriminalisasi. Borok rezim tersebut bukannya berusaha diperbaiki, malah ditutupi dengan berbagai kebohongan. Meminjam istilah pak Rocky Gerung, bahwa pembuat hoax terbaik justru adalah penguasa. Sosok rezim ibarat jaring/rumah laba-laba, terlihat bagus dari luar namun hakikatnya rapuh dan lemah, sehingga harus terus melakukan kebohongan.
Sistem demokrasi liberal yang dijalankan di negeri ini memunculkan model kepemimpinan yang penuh pencitraan. Kebohongan adalah suatu perkara yang dibolehkan dalam sistem ini. Disamping itu proses politiknya pun berbiaya mahal. Banyak yang harus merogoh kocek dalam-dalam untuk menduduki kursi kekuasaan.
Namun semahal itu, banyak juga yang mencalonkan diri demi menuruti syahwat kekuasaannya, bahkan segala cara dilakukan. Belum lagi, prosesnya yang begitu melelahkan. Hasilnya adalah penguasa yang hanya peduli pada kepentingan diri dan golongan/kelompoknya. Lagi-lagi urusan rakyat adalah yang kesekian kali. Tentu rakyat melihat dan merasakan semua ini. Semakin rakyat cerdas, maka penguasa dengan model kepemimpinan liberal tersebut akan semakin tidak disukai. Kepercayaan rakyat kepada penguasa pelan-pelan semakin terkikis. Ini bisa dilihat saat peristiwa tertusuknya menkopolhukam Bapak Wiranto, banyak yang mempertanyakan tentang kebenarannya.
Kembali Pada Kepemimpinan Islam
Berbeda dengan kepemimpinan dalam Islam, dimana seorang pemimpin diangkat untuk menjalankan tugasnya sebagai pengatur dan pengurus rakyat dengan menerapkan Islam. Ketakwaan individu baik yg ada pada pemimpin maupun pada rakyat, adanya kontrol masyarakat sehingga aktivitas amar ma'ruf nahi mungkar senantiasa terlaksana, dan penerapan Islam oleh negara akan menjadi energi yang besar yang saling bahu-membahu dalam ketaatan. Pintu-pintu yang menjadi celah kemaksitan bagi pemimpin dan rakyat ditutup. Kondisi ini menjadikan penguasa dicintai oleh rakyatnya, begitupun sebaliknya penguasa mencintai rakyatnya. Kecintaan rakyat kepada pemimpinnya ditunjukkan dengan terus melakukan muhasabah kepada penguasanya agar mereka senantiasa berada pada rel syariah. Pemimpin juga tidak rela rakyatnya terzholimi.
Kisah heroik Al-Mu’tashim dicatat dengan tinta emas sejarah Islam dalam kitab al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn Al-Athir. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada tahun 223 Hijriyyah, yang disebut dengan Penaklukan kota Ammuriah. Pada tahun 837, al-Mu’tasim Billah menyahut seruan seorang budak muslimah yang konon berasal dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar. yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya. Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu’tashim Billah dengan lafadz yang legendaris yang terus terngiang dalam telinga seorang muslim: “waa Mu’tashimaah!” (di mana engkau wahai Mutashim… Tolonglah aku!). Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki). Seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), begitu besarnya pasukan yang dikerahkan oleh khalifah.(Hidayatullah.com)
Wahai rakyat dan kaum intelektual, sungguh telah lama sistem yang berlaku saat ini mengzholimi kita. Memaksa kita untuk mengorbankan banyak hal bahkan termasuk kepatuhan terhadap Allah. Kita dibuat menjadi simalakama karena harus memilih apakah patuh pada aturan manusia atau aturan Allah. Oleh karena itu marilah kita bersama-sama merapatkan barisan untuk berjuang mewujudkan kepempinan yang hakiki yaitu kepemimpinan dengan ideologi Islam yang telah terbukti menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu'alam bishowwab
Post a Comment