Oleh : Anggun Permatasari
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai, tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman
Lagu berjudul "Kolam Susu" yang dipopulerkan grup musik Koes Plus yang tenar di tahun 70an merupakan lagu yang menggambarkan kekayaan alam negara kita, Indonesia. Ya, Indonesia dimana kita dilahirkan, tempat berlindung di hari tua sampai akhir menutup mata. Lagu ini menceritakan betapa Allah swt. memberikan karunia yang begitu besar kepada Indonesia hingga penulis mengumpamakan dengan sebutan tanah surga.
Namun, jika kita lihat realita kehidupan saat ini tampaknya lirik lagu tersebut seolah-olah menceritakan suatu tempat yang hanya ada di negeri dongeng.
Betapa tidak, di negeri agraris dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah sekaligus juga dianugerahi wilayah yang subur untuk ditanami segala jenis tumbuhan masih ada warganya yang menderita kelaparan.
Berita yang dilansir laman harianjogja.com bertajuk "Suku anak dalam kelaparan, monyetpun dimakan" merupakan salah satu potret buram kondisi warga negara Indonesia yang hidup jauh dari kata sejahtera.
Warga Suku Anak Dalam (SAD) Kebun Duren yang masuk dalam wilayah Jambi, biasanya berburu babi untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Namun, saat ini mereka sangat sulit mendapatkan babi. Sementara getah karet juga sangat murah, sehingga memaksa warga SAD hanya bisa makan satu kali dalam sehari.
Musim kemarau semakin memperparah keadaan. Warga terpaksa makan monyet hasil buruan, itupun jika mereka dapat berburu. Tapi jika tidak terpaksa hanya mengkonsumsi air putih untuk mengganjal perutnya.
Betelih, Warga SAD Kebun Duren mengatakan keluarganya terpaksa mencari sumber makanan lain dengan cara mencari buah sawit yang jatuh di kebun warga. "Kadang kami mencari buah sawit yang sudah jatuh dan tidak diambil pemiliknya. Itupun hasilnya tidak seberapa hanya cukup buat beli beras satu kilo, dan kami sangat berharap ada uluran tangan pemerintah untuk membantu kesulitan kami," ucap Betelih.
Sementara, John Temenggung yang juga warga SAD Kebun Duren mengatakan pernah mengajukan permohonan rawan pangan kepada Dinas Sosial. Namun, permohonan nya tidak pernah ditanggapi padahal banyak warga yang mengeluh datang kepadanya dalam kondisi kelaparan.
Kondisi tersebut tentunya menjadi salah satu pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan pemerintah. Karena penderitaan yang tengah dialami warga suku anak dalam tersebut sudah berlangsung cukup lama. Dan tentunya kasus kelaparan tidak hanya terjadi di daerah Jambi tapi banyak terjadi di wilayah Indonesia terutama pelosok-pelosok yang sulit dijangkau pemerintah pusat.
Persoalan ini merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam membentuk ketahanan pangan bagi rakyatnya. Dan persoalan hilir dari buhul besar masalah ini adalah kemiskinan dan kurang gizi.
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan angka penduduk miskin per Maret 2019 di perkotaan sebanyak 9,99 juta jiwa. Sementara itu, daerah perdesaan sebanyak 15,15 juta jiwa.
Di dalam perhitungannya, BPS menggunakan pendekatan pengeluaran per kapita sebesar Rp425.250 per bulan per kapita sebagai garis kemiskinan terbaru. Indikator ini meningkat dari Maret 2018, di mana garis kemiskinan dipatok Rp401.220 per bulan per kapita. bps.go.id.
Masalah kemiskinan berimbas pada ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan secara berkualitas dan kontinyu. Jangankan berfikir mendapatkan makanan sehat dan baik untuk dikonsumsi tubuh, untuk bisa makan atau sekadar mengganjal perut saja mereka harus memutar otak.
Oleh karena itu, tidak heran jika masalah gizi buruk yang banyak dialami warga seperti kasus pertumbuhan anak stunting (tinggi badan anak tidak sesuai usia), busung lapar akibat maal nutrisi, penyakit menular akibat sanitasi yang buruk semakin hari semakin meningkat.
Sudah menjadi rahasia umum, kemiskinan yang melanda Indonesia bahkan negara-negara di dunia saat ini adalah buah penerapan sistem ekonomi neoliberal kapitalisme.
Dalam sistem ekonomi neoliberal kapitalisme negara yang seharusnya sebagai regulator untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya justru memposisikan diri sebagai perpanjangan tangan kepentingan asing yang merupakan penjajahan gaya baru, neoimperialisme. Terbukti dengan undang-undang yang membuka pintu lebar-lebar untuk barang impor dan masuknya tenaga kerja asing. Penguasa neolib tidak sungguh-sungguh berpihak dan melayani kebutuhan rakyatnya.
Ketahanan pangan bagi seluruh rakyat akan terwujud hanyalah jika pemerintah hadir secara utuh sebagai pelayan dan pelindung rakyat disertai penghentian implementasi sistem ekonomi neoliberal kapitalisme yang menyebabkan terjadinya korporatisasi pangan.
Disamping itu, tampak jelas abainya pemerintah dalam mengurusi rakyatnya. Harusnya, pemerintah menjadi garda terdepan untuk memenuhi dan mendukung kebutuhan rakyat dalam mengelola dan mengembangkan sumber daya alam agar dapat mencukupi kebutuhannya. Hal ini dilakukan kepada petani, nelayan, atau pegiat usaha lain baik mikro maupun makro ekonomi. Namun, yang terjadi justru pemerintahlah yang menyuburkan korporatisasi pangan.
Undang-undang merupakan senjata berbahaya yang menjadi jalan masuk suburnya arus impor yang membuat industri dalam negeri mati secara perlahan.
Untuk keluar dari kungkungan sistem ekonomi yang lahir dari rahim sistem ekonomi sekuler demokrasi tersebut, hendaknya Pemerintah dan masyarakat secara sadar bergegas meninggalkan sistem rusak buatan manusia menuju sistem yang berasal dari Sang Pemilik hidup yaitu sistem ekonomi Islam.
Sistem ekonomi Islam memiliki solusi tuntas dan komprehensif dalam masalah pangan. Islam tidak mengeneralisir kebutuhan manusia secara kelompok. Namun, Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Dalam Islam, pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.
Syariah Islam juga sangat konsen dalam meningkatkan produktivitas lahan. Tanah-tanah mati (tanah yang tidak digarap) bisa dihidupkan oleh siapa saja untuk dimanfaatkan sebagai lahan garapan. Nabi Muhammad saw. bersabda; “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).
Dalam Islam, siapapun yang memiliki tanah baik berasal dari menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dsb, apabila sampai dengan tiga tahun berturut-turut tidak dimanfaatkan maka hak kepemilikan atas tanah itu hilang. Negara berhak mengambil alih dan mendistribusikan kepada siapa saja yang mampu mengolahnya.
Mekanisme pasar yang baik merupakan faktor yang sangat dijaga dalam Islam. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli, dan penipuan.
Belajar dari sejarah, Rasulullah saw. telah mencontohkan sistem manajemen pencatatan yang baik untuk mendapatkan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Tentunya akurasi data produksi akan memaksimalkan distribusi kepada seluruh warga negara.
Demikian syariat Islam memberikan penyelesaian tuntas atas masalah ketahanan pangan untuk memberantas bencana kelaparan. Namun, Konsep tersebut tentu akan terwujud dan dapat dirasakan kemaslahatannya serta menjadi rahmatan lil alamin apabila ada institusi negara yang melaksanakannya.
Wallahu ‘alam.
Post a Comment