Oleh : Erni Yuwana
(Aktivis Muslimah)
Bumi cendrawasih kembali bergolak. Kerusuhan-kerusuhan bagai rentetan silih berganti. Enam hari pasca kerusuhan yang terjadi di Wamena pada hari senin tanggal 23 September 2019, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengatakan bahwa dari 30 orang yang meninggal, 22 di antaranya warga pendatang yang meninggal akibat luka bacok atau terjebak dalam rumah yang dibakar massa. Sementara empat lainnya merupakan warga Papua. (Kompas.com, 27/09/2019)
Selain itu kerugian akibat kerusuhan sangat besar, 5 perkantoran, 80 mobil, 50 motor dan 150 ruko dibakar. Dari data yang dimiliki Kodim 1702/Jayawijaya, tercatat ada 6.784 orang di Wamena yang kini tengah mengungsi. Bahkan, Komandan Lanud Silas Papare Jayapura Marsma TNI Tri Bowo Budi Santoso menyebutkan, hingga kini jumlah warga yang mendaftar mencapai 10.000 orang. Mereka seluruhnya sudah mendaftar untuk dievakuasi ke Jayapura. Namun, jumlah tersebut diperkirakan akan terus berubah, karena ada arus pengungsian baru dari kabupaten di sekitar Jayawijaya.
Berkaca dari berbagai kasus kerusuhan yang terus menerus berulang di Papua dan keinginan kuat Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia, menandakan bahwa sesungguhnya Papua sudah berputus asa memiliki kehidupan yang lebih baik di bawah negara Indonesia. Masalah rasisme hanyalah pemantik dari masalah yang sudah berkobar membara selama puluhan tahun lainnya. Karena masalah utamanya adalah Papua merasa tersisih, terbelakang, terpinggirkan, penuh kemiskinan, jauh dari kehidupan layak seperti daerah-daerah lain di Indonesia. Padahal Papua mempunyai sumberdaya alam yang melimpah ruah dengan emas dan barang tambangnya. Tapi kenapa kehidupan Papua tak berubah menjadi lebih baik? Karena negara Indonesia hanya dianggap sebagai perampas emas dan barang tambang, namun tidak pernah membina, mengurus, mengayomi masyarakat Papua dengan baik. Maka satu-satunya harapan yang diinginkan Papua adalah merdeka. Mereka ingin kehidupan yang layak. Mereka ingin kehidupan yang lebih baik. Dan harapan itu adalah dengan memisahkan diri dari Indonesia. Cita-cita mereka adalah berpisah dengan Indonesia. Dunia pun turut mengamini harapan dan cita-cita Papua tersebut.
Negara-negara di dunia sungguh mengharapkan Papua bisa merdeka. Bukan, bukan untuk berharap Papua memiliki kehidupan yang lebih baik, tapi agar emas dan barang tambang berharga di Papua bisa dijajah dengan mudah. Lantas Papua harus berharap pada siapa? Jika dunia hanya melihatnya sebagai objek jajahan. Jika negara hanya perampas emas dan tambang. Papua harus mengadu pada siapa lagi? Jika pilihan berpisah dengan Indonesia hanya menjadikannya sebagai mangsa negara adidaya yang lain untuk mengeruk emas dan tambang berharganya.
Melihat realita demikian, Indonesia wajib berbenah diri. Indonesia yang memainkan perannya selayaknya seorang "ibu", sudahkah mengayomi masyarakat Papua? Sudahkah melindungi harga diri ras Papua? Sudahkah mendidik Papua dengan pendidikan terbaik hingga menghilangkan kebodohan? Sudahkah membina Papua menjadi masyarakat yang bangkit dengan perekonomian dan kesejahteraan? Sudahkah menciptakan rasa aman dan nyaman bagi penduduk Papua? Sudahkah keserakahan-keserakahan yang hanya menguras emas dan tambang berharganya berakhir? Sudahkah keadilan itu pernah dibuat untuk rakyat Papua? Nyatanya, Indonesia tidak berkutik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Adapun pembangunan yang diupayakan Negera Indonesia untuk Papua malah menambah pertanyaan baru. Benarkah pembangunan tersebut untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Papua? Kalaupun ada pembangunan, maka terlihat jelas, itu bukan buat mereka. Karena faktanya, semua infrastruktur dibangun tak membuat kesejahteraan Papua merata. Ketimpangan justru semakin menganga. Karena penikmat dari pembangunan itu hanyalah para pemodal kaya yang diuntungkan dengan tetap terbelakangnya rakyat Papua.
Indonesia wajib mengembalikan perannya sebagai sosok "ibu", bukan pebisnis yang serakah menjamah kekayaan Papua. Sudah saatnya Indonesia mencampakkan aturan kapitalisme dan menggunakan aturan Islam. Sebab Papua dan umat manusia secara keseluruhan justru membutuhkan sistem Islam. Kenapa? Karena hanya sistem Islam lah yang aturan-aturannya mampu menyejahterakan sekaligus memberi keadilan bagi seluruh warga negara. Karena aturan Islam memang hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Penerapan sistem Islam juga akan membuat negara kuat dan berdaulat. Karena dalam Islam, hadir visi menyatukan sekaligus mencegah kezaliman dan penjajahan. Haram bagi pemimpin untuk tunduk pada kekuasaan asing apalagi mereka yang ingin melakukan penjajahan. Hak-hak dasar warga negara benar-benar dijamin oleh Islam, tak peduli apakah mereka beragama Islam atau bukan. Jiwa, akal, harta, kehormatan, agama mereka semuanya dilindungi, tak boleh ada yang mencederai. Dan itu semua memang mungkin diwujudkan dengan penerapan aturan-aturan Islam.
Itulah rahasianya, mengapa dulu, selama belasan abad, sejarah mencatat tampilnya kekuasaan islam yang adidaya. Nyaris 2/3 dunia dipersatukan, dengan beragam budaya dan agama. Mereka hidup sejahtera dalam naungan kepemimpinan Islam yang bernama Khilafah.
Bahkan berbondong-bondong bangsa-bangsa nonmuslim menyatakan diri ingin bergabung di bawah naungan kekuasaan Islam. Dengan sukarela dan tanpa paksaan. Dan jikapun ada jihad di sana, maka rakyat merasakan jihad adalah pembebasan mereka dari kelaliman penguasa sebelumnya.
Inilah yang sebagiannya digambarkan oleh salah satu penulis Barat, Will Durant yang dengan jelas mengatakan:
“Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.” (Will Durant – The Story of Civilization).
“Agama Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol. Islam pun telah memiliki cita-cita mereka, menguasai akhlaknya, membentuk kehidupannya, dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan urusan kehidupan maupun kesusahan mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka, sehingga jumlah orang yang memeluknya dan berpegang teguh padanya pada saat ini [1926] sekitar 350 juta jiwa. Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hatinya walaupun ada perbedaan pendapat maupun latar belakang politik di antara mereka.” (Will Durant – The Story of Civilization).
Inilah yang semestinya menjadi cita-cita umat saat mendapati sistem hidup dan kepemimpinan sekuler kapitalis demokrasi neoliberal hari ini tak mampu mewujudkan cita-cita mereka. Yakni hidup dalam ketenteraman dan keadilan. Jauh dari rasa takut dan diskriminasi yang mencederai kemanusiaan.
Masyarakat Indonesia termasuk saudara-saudara di Papua harus menyadari, bahwa ketidakadilan yang mereka rasakan justru karena mereka jauh dari aturan-aturan yang datang dari Tuhan. Yakni jauh dari aturan Islam yang sudah terbukti mampu menjadi solusi atas setiap permasalahan. Sekaligus menjadikan negaranya menjadi kuat dan berdaulat. Disintegrasi bukan solusi bagi permasalahan ketidakadilan. Bahkan justru menjadi jalan pelemahan dan jalan penguasaan tanah dan kehormatan oleh penjajah yang sebenarnya. Wallahu'alam bi ash showab
Post a Comment