Oleh : Indah Ummu Izzah
(Pemerhati Sosial)
Bukankah menyampaikan aspirasi adalah ciri dari demokrasi? Bahkan di negara kita Indonesia, hal ini telah diatur dalam perundang-undangan di antaranya dalam pasal 28 UUD 1945 (kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan) dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Selain itu, kebebasan menyampaikan pendapat telah tercantum secara hukum internasional dalam pasal 29 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi manusia.
Namun sungguh ironi di alam demokrasi ini, menyampaikan aspirasi terkhusus dalam hal mengoreksi penguasa seakan dibungkam. Sebagaimana yang terjadi dalam kasus aksi unjuk rasa mahasiswa yang belum lama ini digelar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Aksi unjuk rasa dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Aksi ini berujung pada kerusuhan bahkan jatuh banyak korban serta terjadinya pembungkaman terhadap perguruan tinggi.
Ilusi Aspirasi Rakyat Dalam Demokrasi
Aspirasi rakyat dalam demokrasi hanyalah sebuah ilusi. Wakil rakyat dipilih dalam pemilu dengan tujuan mengimplementasikan aspirasi rakyat dalam perundangan, serta fungsi-fungsi lainnya sesuai dengan tugas mereka. Namun, realitas menunjukkan bahwa yang dibawa oleh wakil rakyat adalah kepentingan partainya dan pihak-pihak penyedia dana kampanye mereka.
Sistem demokrasi dengan trias politikanya ternyata membentuk rezim otoritarian, yaitu pemilik modal. Para pemilik modal ini yang kemudian menguasai ketiga lembaga negara demokrasi (eksekutif, legislatif, yudikatif). Fungsi ketiganya pun lumpuh di bawah pemilik modal. Lahirlah negara korporasi, di mana penguasa tunduk kepada pengusaha sang pemilik modal.
Fakta ini menunjukkan bahwa penyampaian aspirasi rakyat yang digembor-gemborkan pun nyaris fiktif. Bagaimana tidak? Lebih mudah bagi wakil rakyat untuk mengakomodasi kepentingannya sendiri dan para pemodalnya daripada mendengarkan keinginan rakyat secara sungguh-sungguh.
Aksi unjuk rasa mahasiswa di bulan September yang lalu misalnya. Aksi ini tidak hanya menimbulkan kerusuhan bahkan menelan banyak korban, juga berujung kepada pembungkaman perguruan tinggi (kampus). Seperti pernyataan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) yang akan memberlakukan sanksi bagi perguruan tinggi yang ikut dalam aksi unjuk rasa/ demonstrasi.
Sebagaimana yang dilansir oleh CNBC Indonesia bahwa Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir menegaskan tidak akan segan memberikan sanksi bagi rektor atau dosen yang mengarahkan mahasiswa untuk melakukan aksi demonstrasi. Pernyataan ini dikeluarkan Menristekdikti menyususl aksi demonstrasi besar-besaran yang digelar berbagai mahasiswa di sejumlah daerah atas penolakan perubahan Undang-undang (UU) KPK dan RKUHP. CNBC Indonesia, 26/9/2019.
Seakan ingin membungkam ‘suara perubahan’, suara mahasiswa. Di mana fungsi mahasiswa adalah sebagai motor perubahan, perpanjangan tangan rakyat dalam menyampaikan aspirasinya. Namun itulah demokrasi dalam sistem kapitalisme. Menuhankan materi dengan manfaat sebagai asasnya. Mampu membungkam siapa saja yang tidak seiring dengan tujuannya.
Islam Menjaga Aspirasi Rakyat
Dalam Islam ada kewajiban untuk mengoreksi penguasa. Islam mengingatkan pentingnya mengoreksi penguasa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri menentang penguasa zalim dan ia terbunuh karenanya.” (HR Abu Dawud).
Majelis Umat adalah penyalur aspirasi rakyat dan muhasabah. Majelis umat merupakan sebuah majelis yang dipilih dari rakyat dan anggotanya terdiri atas perwakilan umat Islam dan non mslim, baik laki-laki maupun perempuan. Para anggota majelis ini mewakili konstituen mereka di dalam negara Islam. Majelis ini tidak memiliki kekuasaan legislasi sebagaimana halnya lembaga perwakilan dalam sistem demokrasi.
Namun demikian, anggota majelis dapat menyuarakan aspirasi politik mereka secara bebas tanpa dibayangi ketakutan terhadap sikap represif penguasa. Majelis umat melakukan fungsi utamanya dalam menjaga akuntabilitas pemerintahan di berbagai level dengan aktivitas musyawarah dan kontrol/muhasabah.
Terdapat perbedaan antara syura dan muhâsabah. Syura adalah meminta pendapat atau mendengarkan pendapat sebelum mengambil keputusan, sedangkan muhâsabah adalah melakukan penentangan setelah keputusan diambil atau setelah kebijakan diterapkan. Perlu ditekankan juga bahwa majelis umat bukan bagian dari struktur pemerintahan, karena itulah anggotanya pun bisa saja dipilih dari kaum wanita.
Ada beberapa hal yang menjadi wewenang majelis ummat, dimana pendapat majelis dapat bersifat mengikat pemimpin atau tidak mengikat. Wewenang tersebut diantaranya adalah dimintai masukan dan memberikan masukan kepada penguasa terkait urusan politik dalam negeri dan politik luar negeri.
Dalam hal ini, jika aktifitas tersebut memerlukan pengkajiaan dan analisis yang mendalam, maka pendapat majelis ummat tidak bersifat mengikat, bahkan pemimpin tidak harus merujuk kepada majelis ummat. Namun, jika aktifitas tersebut tidak membutuhkan pengkajian dan analisis yang mendalam, pendapat majelis ummat dalam hal ini bersifat mengikat, misalnya: permintaan rakyat atas perbaikan kota-kota dan penjagaan keamanan, dan lain-lain.
Selain itu juga memberikan masukan terhadap penetapan hukum, tapi tidak melakukan adopsi hukum, dan pendapat majelis ummat dalam hal ini tidak mengikat. Mengoreksi penguasa atas semua aktifitas praktis negara. Pendapat majelis dalam hal ini bersifat mengikat.
Selanjutnya berhak untuk menampakkan ketidakrelaan terhadap para penguasa/pengambil kebijakan. Pendapat mayoritas majelis dalam hal ini bersifat mengikat, kecuali jika pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat majelis wilayah di wilayah tersebut. Walhasil hanya dalam Islamlah aspirasi rakyat benar-benar akan didengarkan oleh penguasa.
Post a Comment