Oleh : Nur Hikmah, S.Pd. I
(Praktisi Pendidikan)
Sepertinya praktisi pendidikan terutama guru honorer akan kembali gigit jari. Bagaimana tidak, setelah beragam janji manis yang diberikan pada saat kampaye presiden yang lalu. Kini harapan akan kehidupan yang lebih baik kian pupus dengan cuitan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy. Saat memberikan sambutan dalam Peringatan Hari Guru Internasional 2019 di Graha Utama Kemendikbud. Beliau mengungkapkan "Saya agak yakin, bahwa orang yang pertama masuk surga itu adalah guru. Kalau sekarang gajinya sedikit, apalagi guru honorer, syukuri dulu nikmati yang ada, nanti masuk surga," (Detik.10/10/2019).
Tidak bisa dipungkiri, pekerjaan sebagai guru adalah profesi yang sangat mulia. Dari "rahim" seorang guru lah lahir beragam profesi yang lainnya, bahkan seorang presidenpun lahir dari didikan seorang guru. Berbicara tentang ikhlas adalah hal yang tidak perlu dipertanyakan lagi, terutama guru-guru yang mengabdi di pelosok negeri. Mereka tetap menjalankan kewajiban meskipun dengan berbagai macam keterbatasan, seperti sarana dan prasarana yang tidak memadai, jarak puluhan kilometer yang harus mereka tempuh, dengan gaji pas-pasan bahkan terkadang tidak terbayarkan. Lantas kita masih bertanya tentang ikhlas kepada mereka ? sungguh tidak pantas.
*Negara Abai*
Selain keikhlasan, kinerja guru pun kian dipertanyakan, banyak guru yang mengajar seadanya dan lebih sibuk mencari penghasilan tambahan dengan beragam cara, mulai dari jualan online hingga ojek online. Jika kita perhatikan dengan saksama, setidaknya ada beberapa hal yang melatar belakangi para guru mencari penghasilan tambahan. Pertama, Gaji tidak mencukupi untuk memenuhi standar kehidupan minimum. Diketahui bahwa gaji guru honorer terbilang sangat minim, mulai dari 150.000-500.000/bulan.
Bisa dibayangkan jika yang menjadi guru honorer adalah seorang kepala rumah tangga dan hanya mengandalkan penghasilan itu saja tentu tidak akan cukup, terlebih lagi tingkat pengeluaran kian membengkak dengan melanjoknya nilai harga-harga. Kedua, Para guru terutama guru honorer tidak percaya lagi dengan janji-janji pengangkatan. Terbukti bahwa hampir setiap tahun pengangkatan CPNS tidak mendahulukan guru-guru yang telah mengabdi sejak puluhan tahun. Bahkan banyak kasus pengangkatan yang sarat dengan nepotisme.
Dengan melihat kondisi tersebut, maka sangat nampak bahwa pemerintah dalam sistem kapitalis tidak bersungguh-sungguh dalam memperhatikan nasib para guru, profesi guru menjadi urutan kesekian dalam pandangan penguasa. Padahal sejatinya guru adalah profesi yang menjadi ujung tombak lahirnya generasi gemilang sebuah bangsa yang patut untuk diberikan kesejahteraan.
*Islam Memuliakan Guru*
Berbeda halnya dengan sistem Islam dalam memperlakukan seorang guru. Tercarat disetiap zaman pemerintahan Islam, para guru begitu dimuliakan. Tentu kita ingat bagaimana perlakuan Khalifah Umar Bin Al Khattab di masa kekhilafaannya, beliau memberikan bayaran besar bagi seorang guru, masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas) yang jika dikalkulasikan artinya gaji guru pada saat itu sekitar Rp 30.000.000. Sementara itu, Pada masa Daulah Abbasiyah, tunjangan kepada guru begitu tinggi seperti yang diterima oleh Zujaj pada masa Abbasiyah. Setiap bulan beliau mendapat gaji 200 dinar. Sementara Ibnu Duraid digaji 50 dinar perbulan oleh al-Muqtadir. (I/231).
Islam memandang mulia para guru dengan memberikan pahala jariyah yang sangat besar, namun juga memberikan perhatian besar terhadap kesejahteraan para guru. Dengan adanya jaminan kesejahteraan dari negara, maka para guru tentu tidak akan lagi mencari penghasilan tambahan serta akan senantiasa bermaksimal dalam menjalankan tanggungjawab sebagai pendidik generasi.
wallahu'alam bisshowab
Post a Comment