Oleh : Fitri Suryani, S.Pd
(Guru Asal Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara)
Setiap tanggal 5 Oktober diperingati sebagai Hari Guru Sedunia. Tujuan diperingatinya hari ini adalah untuk memberikan dukungan kepada para guru di seluruh dunia dan meyakinkan mereka bahwa keberlangsungan generasi pada masa depan ditentukan oleh guru.
Menurut UNESCO, Hari Guru Sedunia mewakili sebuah kepedulian, pemahaman, dan apresiasi yang ditampilkan demi peran vital guru, yaitu mengajarkan ilmu pengetahuan dan membangun generasi (Wikipedia.org).
Sementara itu, jika melihat sisi lain dari beratnya tugas menjadi seorang pendidik, ada kisah pilu di balik tegarnya seorang guru saat mengajar di hadapan murid-muridnya. Sebagaimana Nining Suryani (44), guru di SDN Karyabuana 3 Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Banten, terpaksa harus tinggal di WC sekolah lantaran tidak punya rumah. Sementara gajinya sebagai guru sebesar Rp 350.000 cair tiga bulan sekali. Nining mengaku, gaji sebagai guru honorer tidak cukup untuk menyewa rumah dan untuk kebutuhan sehari-hari (Kompas.com, 16/07/2019).
Tak hanya itu, Kesejahteraan guru honorer yang mengabdi di sekolah di pedalaman Kabupaten, Sikka, Flores, NTT masih sangat jauh dari ideal. Nasib itu dialami sembilan orang guru honorer yang mengabdi di SMPN 3 Waigete, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Flores. Kesembilan guru honorer di sekolah negeri itu hanya menerima insentif sebesar Rp 85 ribu per bulan. Tentu, insentif sekecil itu tidak bisa menutupi kebutuhan ekonomi keluarga mereka (Tribunnews.com, 04/04/2019).
Tak kalah miris, Ketua Forum Tenaga Honorer Kabupaten Limapuluh Kota, Ratwi Frianti S.Sos menuturkan mengakui ada anggotanya yang digaji Rp 50 ribu/bulan. Fakta itu diungkap oleh salah seorang Guru TK di Batu Hampa, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Limapuluh Kota (Detik.com, 20/02/2019).
Dari secuil fakta di atas, tentu tidak sedikit cerita suka dan duka menjadi seorang tenaga pendidik di masa kini, apalagi yang masih bersatus guru bukan PNS. Perjuangan mereka tak sebanding dengan apa yang menjadi hak yang seharusnya mereka dapatkan. Di satu sisi mereka bertugas mendidik dan mencerdaskan anak bangsa dan di sisi lain mereka juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Karena minimnya kesejahteraan yang mereka dapatkan, tak sedikit mereka yang berstatus sebagai guru bukan PNS mencari pekerjaan tambahan untuk menyambung hidup. Sebab, jika hanya mengharapkan gaji dari mengajar, dapat dipastikan tidak akan mampu menutupi kebutuhan hidup. Apalagi di tengah kehidupan di mana semua harga kebutuhan pokok semakin meroket.
Padahal, jika menengok tugas dan amanah yang mereka laksanakan, pada hakikatnya tak jauh berbeda dengan mereka yang berstatus sebagai guru PNS. Namun sayangnya, dari sisi kesejahteraan sangat jauh berbeda. Miris!
Potret suram tersebut pun seakan menjadi lumrah yang harus ditanggung oleh mereka yang berstatus guru bukan PNS. Karena hal itu telah berlangsung lama dan hingga kini belum mendapat titik terang yang dapat membuat guru tersebut sejahtera.
Lebih dari itu, perlakuan buruk sistem kapitalisme terhadap profesi pendidik tentu tidak dapat dipungkiri. Mereka digenjot dengan berbagai peraturan yang berbelit, namun minim perhatian yang berkaitan dengan kesejahteraan, khususnya. Begitu juga pandangan sistem ini terhadap bagaimana urgensi pendidikan yang sesungguhnya.
Lain halnya dalam Islam yang mana pendidikan merupakan perkara yang tak kalah penting dengan perkara yang lainnya. Salah satunya yang berkaitan dengan para pendidik. Dimana diharapakan mampu mencetak generasi yang tak hanya cerdas dari sisi IPTEK, namun juga keterikatan kepada-Nya. Tentu untuk mewujudkan hal itu perlu adanya dukungan dari pihak berwenang. Salah satunya yang berkaitan dengan kesejahteraan para pengajar.
Sebagaimana pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, terdapat kebijakan pemberian gaji kepada para pengajar Al-Qur’an masing-masing sebesar 15 dinar, di mana satu dinar pada saat itu sama dengan 4,25 gram emas. Jika satu gram emas Rp. 500.000 saja dalam satu dinar berarti setara dengan Rp 2.125.000,00. Dengan kata lain, gaji seorang guru mengaji adalah 15 dinar dikali Rp 2.125.000, yaitu sebesar Rp 31.875.000.
Dengan demikian, pandangan Islam terhadap pendidikan dan para pendidik bertolakbelakang dengan sistem kapitalisme. Islam menjadikan pendidikan sebagai pilar peradaban mulia dan menempatkan para guru sebagai salah satu arsiteknya. Hal itu nampak dari perhatian sistem Islam terhadap pendidikan dan jaminan kesejahteraan para guru. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Post a Comment