Oleh : Fatmawati
Pensiunan guru dan pegiat dakwah
Harap-harap cemas itulah barangkali yang menggelayuti hati dan pikiran sebagian elit politik negeri ini menjelang pemerintahan baru.
Pelantikan presiden dan wakil presiden baru, sekaligus pembentukan kabinet baru, tinggal menghitung hari.
Para tokoh dan elit parpol yang sedang menjabat berharap besar dapat kembali menjabat. Yang belum menjabat tentu sangat berharap mendapat jabatan. Karena itu masing-masing parpol dan elitnya saling bermanuver. Awalnya kontra rejim, sekarang berusaha melakukan rekonsiliasi. Tentu demi jabatan dan kekuasaan. Yang pro rejim, apalagi merasa sudah 'berdarah-darah berjuang memenangkan pilpres, tak akan rela tersingkir dari arena rebutan jabatan dan kekuasaan. Masing- masing melakukan lobi-lobi. Tak peduli harus menjilat sana sini dan saling sikut demi sebuah kursi.
Begitulah realitas politik demokrasi sekuler hari ini.
Banyak kalangan yang deperbudak nafsu jabatan dan kekuasaan. Mereka sering tidak peduli halal haram, baik buruk atau benar salah. Bahkan tak peduli harus mengorbankan rakyat kebanyakan. Yang penting bagi mereka jabatan dan kekuasaan ada dalam genggaman.
Kepemimpinan adalah amanah. Siapa saja yang memegang amanah kepemimpinan ini, pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT di Akhirat kelak. Rasul saw. bersabda:
Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hakikat kepemimpinan tercermin dalam sabda Rasul saw.:
Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (HR Abu Nu'aim).
Rasulullah saw. pun bersabda:
Tidak seorang hamba pun yang diserahi oleh Allah untuk memelihara urusan rakyat, lalu dia tidak melingkupi rakyat dengan nasihat (kebaikan), kecuali dia tidak tidak akan mencium bau surga (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. juga bersabda:
Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan mereka, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Jika seseorang berhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepada dirinya maka dia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga.
Karena itu generasi salafush-shalih pada masa lalu umumnya khawatir bahkan takut dengan amanah kepemimpinan (kekuasaan). Apalagi mereka sangat memahami sabda Nabi saw.:
Kalian begitu berhasrat atas kekuasaan, sementara itu pada Hari Kiamat kelak bisa berubah menjadi penyesalan dan kerugian (HR Nasa'i dan Ahmad).
Anehnya, apa yang diperingatkan oleh Nabi saw. dalam hadis di atas justru dipraktikan dengan sangat sempurna oleh generasi saat ini. Mereka seolah tak peduli jabatan dan kekuasaan itu akan berubah menjadi penyesalan dan kerugian bagi mereka pada Hari Kiamat kelak.
Islam tidak melarang siapapun yang ingin berkuasa. Islam pun memandang wajar terjadinya pergolakan yang menyertai proses-proses politik kearah sana.
Masalahnya bagaimana cara kekuasaan itu didapat, serta dalam kerangka apa kekuasaan itu diraih?.
Pada masa lalu, sejumlah sahabat terkemuka, termasuk Khalifah Abu Bakar, pada masa kepemimpinannya sepakat mengusulkan Umar bin Khaththab menggantikan beliau yang sudah sakit-sakitan. Dari segala segi Umarlah figur yang pantas untuk menjadi khalifah berikutnya. Umar bukannya gembira tapi keras menentang pencalonan dirinya seraya mengatakan apakah mereka semua akan menjerumuskan dirinya ke dalam neraka?.
Umar sangat menyadari bahwa jabatan bukanlah tempat empuk untuk meraup ketenaran, kekuasaan, harta apalagi wanita. Dalam pandangan Umar, jabatan dan kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT di akhirat kelak.
Bukan kali itu saja Umat ra. menolak jabatan/kekuasaan yang ditawarkan kepada beliau. Di Saqifah Bani Saidah, ketika kaum Muhajirin dan Anshor berembug tentang siapa yang akan menjadi pemimpin sepeninggal Rasulullah, Umar menjagokan Abu Bakar. Sebaliknya Abu Bakar menjagokan Umar. Alhasil, kedua sahabat mulia ini saling mengunggulkan satu sama lain untuk menjadi khalifah.
Sejarah pada akhirnya mencatat Umar bin Khaththab ra. menerima jabatan khalifah menggantikan Abu Bakar ash-Shiddiq.
Sejarah juga mencatat bahwa Umar benar-benar menjalankan kepemimpinannya dengan sangat baik. Umar tidak menjadikan jabatan khalifah untuk mengeruk keuntungan material. Umar yang sebelumnya termasuk orang kaya, justru setelah menjadi khalifah berubah menjadi miskin.
Pernah sekali waktu Umar ra. agak terlambat datang ke masjid karena ia harus menunggu baju yang satu-satunya kering setelah dicuci. Ia juga melarang keluarga dan karib kerabatnya mengambil keuntungan dari jabatannya sebagai khalifah.
Demikianlah Umar ra. yang memimpin umat Islam dalam kurun waktu yang tidak lama, namun beliau berhasil mencapai kemajuan yang luar biasa. Kemakmuran melingkupi segenap negeri. Keamanan, ketentraman dan kedamaian dirasakan oleh seluruh rakyat.
Islam sangat mendorong agar para pemimpin--penguasa maupun pejabat negara selalu bersikap adil. Sayang, pemimpin adil tidak mungkin lahir dari rahim sistem demokrasi sekuler yang jauh dari tuntunan Islam. Sistem zalim ini hanya bisa menghasilkan para pemimpin zalim, tidak amanah dan jauh dari sifat adil.
Pemimpin yang adil hanya akan lahir dari rahim sistem yang juga adil. Itulah sistem Islam yang ditetapkan dalam institusi pemerintahan Islam (Khilafah).
Sejak Rasulullah saw. diutus, tidak ada masyarakat yang mampu melahirkan para penguasa yang amanah dan adil kecuali dalam masyarakat yang menerapkan sistem Islam.
Kita mengenal Khulafaur Rasyidin yang terkenal dalam kearifan, keberanian dan ketegasannya dalam membela Islam dan kaum Muslim. Mereka adalah para negarawan ulung yang sangat dicintai oleh rakyatnya dan ditakuti oleh lawan-lawannya. Mereka juga termasyur sebagai pemimpin yang memiliki budi pekerti yang agung dan luhur.
Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq adalah sosok penguasa yang terkenal sabar dan lembut. Namun, beliau juga terkenal sebagai pemimpin yang berani dan tegas. Tatkala sebagian kaum Muslim menolak kewajiban zakat, beliau segera memerintahkan kaum Muslim untuk memerangi mereka.
Stabilitas negara Islam harus dipertahankan meskipun harus mengambil resiko perang.
Khalifah Umar bin al-Khaththab pun terkenal sebagai penguasa yang tegas dan sangat disiplin. Beliau tidak segan-segan merampas harta para pejabatnya yang ditengarai berasal dari jalan yang tidak benar. (Lihat: Tarikh al-Islam, 11/388; dan Tahdzib at-Tahdzib, XII/267).
Semoga pertolongan Allah segera menghadirkan sistem Islam di tengah- tengah kita yang akan melahirkan para pemimpin yang adil dan amanah, aamiin.
Wallah a'lam bi ash-shawab.
Post a Comment