"Darah muda darahnya para remaja, yang selalu merasa gagah tak pernah mau mengalah, masa muda masa yang berapi-api yang maunya menang sendiri walau salah tak peduli...”
Penggalah lagu "darah muda" yang diciptakan Rhoma Irama seakan-akan mempersepsikan anak muda yang sering bertindak gegabah sebelum dipikir, menang untuk sebuah kegagahan, , bertindak namun melumpuhkan akal sehat.
Terlepas dari penafsiran lagu itu, Anak muda lebih tepatnya kaum muda adalah salah satu komunitas; elemen masyarakat; tempat menaruh harapan akan kemajuan; sebuah ekspektasi agar terjadi perubahan yang lebih baik di tangan mereka.
Namun mirisnya, saat ini kaum muda menunjukkan fenomena yang berbeda dari yang diharapkan. Salah satunya adalah tawuran yang seolah sudah tidak lagi menjadi pemberitaan dan pembicaraan yang asing lagi ditelinga.
Dua kelompok remaja bentrok di fly over (jalan layang) samping Stasiun Tebet, Sabtu (7/9/2019).
Seorang Remaja 17 tahun tewas dikeroyok dan diclurit punggung belakang di Jalan Pangeran Antasari RT 08/11 Kel. Cilandak Barat, Kec. Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (16/9/2019).
Senada dengan itu, dibulan sebelumnya, Dua kelompok pelajar dari SMA Negeri 6 dengan SMA Negeri 7 terlibat tawuran di Tanah Sareal, Kota Bogor, Selasa (6/8/2019).
Menurut Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumbar "Motif tawuran itu kebanyakan ikut-ikutan saja. Ingin eksis di mata teman-temannya, tidak semua diakibatkan persoalan, jikapun ada persoalan palingan satu atau dua anak saja,"
Tawuran sudah dianggap
sebagai pemecah masalah yang sangat efektif yang dilakukan oleh kaum muda. Hal ini seolah menjadi bukti nyata bahwa mereka leluasa melakukan hal-hal yang bersifat anarkis, premanis, dan rimbanis.
pesimis kah kita dengan generasi pengganti perubahan ini?
Seharusnya kita menerapkan sistem tata aturan yang paripurna yang dapat menyelesaikan segala persoalan kehidupan.
Dalam Islam diatur bagaimana setiap tindakan agar tidak mencelakakan diri sendiri maupun orang lain. Kaum muda yang mengerti benar tentang Islam, tentu tidak akan melibatkan dirinya dalam tawuran karena bisa berakibat fatal, seperti menghilangkan nyawa seseorang.
Menurut Islam yang dimaksud “anak” umur 17 tahun itu sudah bukan anak-anak. Tapi sudah dewasa; sudah balligh. Ketika muslim sudah baligh dia sudah bertanggungjawab penuh atas perbuatan yang dia perbuat, ketika kriminalitas dilakukan, harus ada konsekuensi dibalik itu.
Ulama sepakat, bahwa usia dianggap baligh apabila mereka telah mencapai
usia 15 tahun.
Ulama fiqih bersepakat bahwa usia baligh adalah syarat wajib ibadah.
Dalam hal muamalah baligh adalah syarat dalam masalah pidana & perdata atau syarat muamalah yang lainnya.
Sedangkan dalam KUHP seseorang yang belum mencapai usia 16 tahun
itu dikategorikan anak. Sedangkan di Undang- Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, seseorang yang berusia kurang dari 18 tahun dikategorikan anak.
Kalau para pelaku tawuran sekitar umur 15- 17 tahun, apa hanya dibilang kenakalan remaja???apa tidak ada tindak pidana, tidak bisa dipidanakan, cuma peringatan??.
Sebelumnya, pemerhati pendidikan, Darmaningtyas, menyarankan kepada aparat penegak hukum untuk tidak ragu menjerat pelajar yang terlibat tawuran dengan pasal pidana. Dengan begitu, akan ada efek jera bagi para pelaku.
Menurutnya, selama ini pelaku tawuran yang tertangkap hanya diberi peringatan dan nasihat, lalu kemudian diserahkan ke orangtuanya.
Kalau alasan di bawah umur, kategori umur berapa yang bisa dikenakan pidana dan ditempatkan di tahanan anak.
Bukankah dalam hukum Islam landasan utama dalam pembentukan batasan
usia pertanggungjawaban adalah usia baligh.
Post a Comment