Tanggungjawab Pejabat Negata

Oleh : Novi Widiastuti
(Ibu Rumah Tangga)

Puluhan anggota DPRD Kabupaten Bandung melakukan kunjungan ke daerah pemilihan yang meliputi Kecamatan Cileunyi, Cilengkrang, Cimenyan, dan Kecamatan Bojongsoang. Tujuan dari kunjungan itu adalah dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat dan meninjau persiapan pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades) serentak di 199 desa di Kabupaten Bandung. Selain itu, mereka pun meninjau infrastruktur, ketersediaan air bersih, potensi wisata, hingga menyerap aspirasi terkait pemekaran Kabupaten Bandung Timur dari induknya Kabupaten Bandung. (Galamedianews.com).

Kunjungan anggota legislatif ke daerah pemilihan merupakan hal yang biasa. Setiap tahunnya anggota legislatif memiliki kesempatan bertemu konstituen yang kita kenal dengan istilah  reses. Reses artinya masa dimana anggota legislatif melakukan kegiatan diluar masa sidang parlemen dalam bentuk kunjungan kerja ke daerah pemilihan (dapil) untuk bertemu dengan masyarakat yang telah memilihnya. 

Setiap kali menjalani masa reses anggota legislatif mendapatkan tunjangan reses. Besaran tunjungan ditetapkan berdasarkan kemampuan daerah, tunjangan ini diatur dalam peraturan Pemerintah No. 18 tahun 2017. Jumlah nya pun tidak sedikit, dibeberapa kabupaten di Jawa Barat tunjangan dana reses bisa mencapai hingga 40 juta per anggota tiap kali reses. Masa reses selama menjabat sebagai anggota dewan bisa mencapai 14 kali.  Diharapkan dengan anggaran yang ada, tiap anggota dewan dapat menyerap secara maksimal aspirasi, menerima pengaduan masyarakat dan mengawasi proses pembangunan yang dilakukan oleh eksekutif. 

Pergantian anggota dewan dari Pemilu ke Pemilu, hingga ratusan kali kunjungan masa reses yang dilakukan ternyata Kabupaten Bandung belum lepas dari masalah klasiknya. Di usianya yang 378 tahun Kabupaten Bandung tetap memiliki masalah yang belum juga terselesaikan, antara lain, banjir, sampah, kerusakan jalan, penerangan jalan umum yang minim, limbah pabrik, kemacetan, kekurangan guru, akses pelayanan kesehatan, pengangguran, gizi buruk, dan kemiskinan masih menyelimuti masyarakat di kabupaten ini. Masyarakat pun sudah mulai menilai bahwa aspirasi dan keluhan mereka tidak ditangani dengan serius dan kunjungan-kunjungan anggota dewan itu hanya formalitas belaka.

Budaya politik demokrasi yang diterapkan saat ini menjadikan anggota dewan lebih sibuk untuk mengembalikan modal kampanye. Politik high cost yang diterapkan saat ini telah memisahkan rakyat dari wakilnya, memutus rantai aspirasi yang seharusnya tersambung. Ini lah dampak buruk dari sistem demokrasi. 

Sebagai seorang muslim sudah selayaknya kita meninjau permasalahan ini dari sudut pandang Islam. Pejabat negara wajib paham terhadap tanggung jawab untuk mengurusi seluruh urusan umat dan mampu menjalankan kepemimpinannya berdasarkan hukum syariat. Pemenuhan kebutuhan terhadap rakyatnya adalah sesuatu yang wajib untuk dipenuhi, apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak. Sehingga kepemimpinan ini tidak bisa dianggap remeh sebagaimana sabda Rasulullah Saw “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan di mintai pertangungjawaban atas yang dipimpinnya…..” (HR. Bukhori Muslim). 

Jika menilik sejarah sebenarnya aktifitas turun langsung ke masyarakat bukanlah hal baru. Dalam sejarah Islam pola kerja seperti ini ternyata sudah dilakukan sejak 1400 tahun yang lalu. Cerita yang paling masyhur yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab, ia tidak segan keluar masuk kampung untuk mengetahui masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya. Khalifah Umar bin Khaththab terjun langsung ke masyarakat karena dorongan tanggungjawab, amanah dan kekhawatiran terhadap urusan umatnya. Berbeda dengan para anggota dewan saat ini yang turun ke tengah masyarakat karena dorongan manfaat, mencari perhatian dan dukungan suara.

Mengetahui betapa besarnya tanggungjawab seorang pemimpin dihadapan Allah maka tidak heran jika pemimpin tertinggi kaum muslimin seperti Khalifah Umar bin Khaththab tidak malu jika harus memanggul sendiri makanan pokok untuk dibagikan kepada warga yang membutuhkan. Beliau sering kali turun ke pelosok desa melihat dan mendengar langsung keluhan dan derita rakyatnya yang hidup miskin dan membutuhkan bantuan pemerintah secara tepat dan cepat. Rasa  peduli yang melahirkan rasa simpati dan empati pemimpin ummat ini menumbuhkan jiwa kasih sayang, ketulusan, rela berkorban, serta menyediakan waktu dan tenaganya untuk kepentingan umat atau rakyatnya.

Tidak hanya memperhatikan manusia, Khalifah Umar bin Khaththab pun merasa sangat ketakutan bila ada keledai yang terperosok kedalam sungai akibat jalanan yang rusak. Umar pernah berkata, “Seandainya seekor keledai terperosok ke sungai di kota Baghdad, niscaya umar akan dimintai pertanggungawabannya dan ditanya,’mengapa engkau tidak meratakan jalan untuknya”

Dari sosok Umar bin Khaththab kita bisa belajar bahwa kepemimpinan pada dasarnya merupakan amanah. Rasulullah Saw menyampaikan pesan kepada sahabat Abu Dzarrin ”Sesungguhnya  kepemimpinan itu adalah suatu amanah dan dihari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan kecuali mereka yang mengambilnya dengan cara yang baik serta dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemimpin dengan baik “(HR. Muslim) 

Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa amanah ini harus diserahkan kepada ahlinya atau kepada orang yang layak untuk diangkat sebagai pemimpin. Kepemimpinan bukanlah barang dagangan yang dapat diperjual belikan. Karena itu tidak dibeli oleh mereka yang menghendakinya ataupun membeli dukungan dengan mengharap kemenangan.

Mengurusi kemaslahatan rakyat yang menjadi amanah seorang pemimpin tentu harus sesuai dengan tuntutan Allah SWT dan Rasul-Nya (Syariah Islam). Dengan kata lain pemimpin yang amanah hanyalah pemimpin yang benar-benar menerapkan dan menjalankan Islam secara kaffah dalam mengurusi semua urusan rakyatnya. Oleh karena itu sebagai sistem terbaik, syariah Islam tentu wajib diterapkan secara kaffah dalam sistem Pemerintahan terbaik. Itulah Khilafah ‘ala minhaj an nubuwwah. 
Wallohu’alam bi ash shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post