Oleh : Irianti Aminatun
Dengan alasan kestabilan politik dan ekonomi, Menko Polhukam Wiranto tengah merancang peraturan mengenai larangan bagi individu membahas dan menyebarkan faham khilafah. Wiranto menyebut bahwa faham khilafah bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.
Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh. Islam memiliki ajaran tentang ibadah, ajaran tentang ekonomi, ajaran tentang pergaulan, termasuk ajaran di bidang kepemimpinan. Dalam ajaran kepemimpinan itulah ada konsep hukum Islam mengenai Khilafah.
Rencana pemerintah melarang individu untuk menyebarkan faham khilafah adalah bentuk kriminalisasi ajaran Islam. Khilafah sejatinya adalah solusi bagi krisis multidimensi yang tengah melanda negeri ini.
Khilafah yang merupakan bagian dari ajaran Islam, mereka framing sebagai ancaman yang akan memecah belah negara serta bertentangan dengan dasar negara. Tapi benarkah khilafah membahayakan Pancasila dan NKRI?
Dalam catatan sejarah pada 30 Agustus 1999 Timor Timur yang kini bernama Timor Leste tak lagi menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika ditinjau dari sudut pandang Pancasila dan NKRI, lepasnya Timor Timur dari Indonesia bertentangan dengan sila ke 3 yaitu Persatuan Indonesia. Juga bertentangan dengan slogan NKRI harga mati.
Tapi mengapa Timor Timur bisa lepas? Tak lain karena dalam sistem demokrasi ada konsep yang mereka sebut dengan referendum. Referendum adalah suatu proses pemungutan suara untuk mengambil sebuah keputusan, terutama keputusan politik yang mempengaruhi suatu negara secara keseluruhan. Misalnya seperti adopsi atau amandemen konstitusi atau Undang-Undang baru, atau perubahan wilayah suatu negara (Wikipedia).
Dengan referendum inilah Timor Timur lepas dari Indonesia. Fakta ini memberikan bukti bahwa demokrasi justru membahayakan Pancasila dan NKRI.
Berbeda dengan khilafah. Khilafah tidak mengenal referendum. Dalam negara khilafah jika di suatu wilayah ada mayoritas yang ingin memisahkan diri (bughat) maka tidak boleh dibiarkan. Harus ditindak. Sebab, dalam Islam melepaskan diri dari kesatuan negeri islam haram hukumnya. Khalifah (Kepala Negara) wajib memerangi mereka yang angkat senjata, sampai mereka tidak memiliki kemampuan lagi untuk melawan dengan senjata.
Jika mereka yang ingin memisahkan diri tidak angkat senjata, semisal hanya unjuk rasa, maka mereka akan diajak berunding dan dicari akar masalahnya serta diberikan solusinya.
Bila kasus Timor Timur kita refleksikan memakai standar khilafah, maka Kepala Negara (Khalifah) saat itu dikatakan telah melakukan tindakan inkonstitusional ketika menyetujui referendum.
Semestinya Panglima ABRI (Amirul Jihad) yang saat itu dijabat Pak Wiranto adalah orang pertama yang harus mencegah Kepala negara memutuskan tindakan yang akan memecah belah negeri Islam terbesar se dunia ini.
Tapi, berdasarkan demokrasi, panglima ABRI justru dianggap inkonstitusional bila menghalangi Kepala Negara melaksanakan referendum. Karena itu referendum berjalan, dan Timor Timur lepas dari pangkuan Indonesia. Artinya demokrasilah penyebab lepasnya Timor Timur.
Dari contoh di atas secara faktual justru demokrasilah yang mengancam negeri ini, bukan khilafah. Ketika khilafah tegak nanti, semua sila dari Pancasila Insyaa Allah akan tegak, NKRI utuh bahkan bertambah besar.
Sejarah telah membuktikan Khilafah telah mempersatukan seluruh negeri muslim di dunia. Di bawah naungan khilafah ratusan ribu suku dan kabilah hidup selama berabad-abad dengan damai, rukun, dengan toleransi yang luar biasa.
Belum pernah ada dalam sejarah peradaban manapun, saat semuanya bersatu kecuali di bawah naungan khilafah.
Framing jahat terhadap khilafah adalah strategi Barat menghadang kembalinya Khilafah, yang dijalankan oleh antek – anteknya. Mereka takut tegaknya khilafah akan menamatkan hegemoni mereka.
Patrick Buchanan, seorang mantan penasehat senior untuk Presiden Nixon, Ford dan Reagan, menulis artikel yang diterbitkan Anti-War Foundation pada 23/6/2006, yang berjudul “An Idea Whose Time Has Come”. Ia menyatakan bahwa proses menghidupkan kembali Islam sedang berlangsung hari ini. Kata dia pula, gagasan pemerintahan Islam sudah begitu kokoh dipegang kalangan umat Islam meskipun ada perlawanan kuat dari Barat.
Dalam tulisannya itu ia mengutip perkataan Victor-Marie Hugo, seorang penulis aliran romantisme dan penyair terbesar Perancis pada abad ke -19, yang menyatakan : “Kekuatan militer manapun takkan mampu mengalahkan suatu gagasan yang telah tiba masanya."
Di akhir tulisannya, Patrick Buchanan menegaskan bahwa saat gagasan kembali pada hukum Islam menjadi opini di tengah mayoritas umat Islam, Amerika seharusnya menyadari bahwa itu adalah ancaman serius bagi Barat. Karena itu Amerika Serikat wajib berpikir keras menyusun strategi baru untuk menghadapinya.
Bagi umat Islam khilafah adalah ajaran Islam di bidang pemerintahan yang Allah wajibkan. Menegakkannya adalah kewajiban sebagaimana kewajiban sholat puasa dan lain-lain.
Dakwah menegakkan khilafah bisa jadi dianggap melanggar hukum nation state. Namun demikian jika dipahami bahwa bentuk nation state adalah bentuk ketundukan pada penjajah, sementara khilafah adalah bentuk riil dari upaya melepaskan diri dari penjajahan, maka upaya penegakan Khilafah adalah pencerahan yang sebenarnya.
Upaya penegakan khilafah pada awalnya bisa dianggap bentuk pelanggaran hukum buatan manusia yang disetir penjajah menuju pada ketundukan hukum lain yang lebih adil yang berasal dari Dzat Pencipta alam semesta.
Jadi aturan apapun yang akan dibuat untuk mengahalangi dakwah khilafah, maka dakwah khilafah akan tetap berjalan sampai Allah memenangkan Islam. Menghalangi dakwah Khilafah sama artinya menghalangi terbitnya matahari. Tak ada yang bisa mencegahnya. Terlebih Khilafah adalah janji Allah SWT.
Wallahu a’lam bi showab.
Post a Comment