Oleh : Irayanti
(Pemerhati Sosial)
Tikus berdasi. Begitulah istilah kerennya untuk menamakan para koruptor di negeri ini. Yang suka ingkar janji lalu sembunyi, masa bodoh hilang harga diri asal mengaku pancasilais di medsos.
Tidak terhitung lagi berapa banyak tikus-tikus berdasi yang tertangkap akibat perbuatan rasuah. Baik dari kalangan pengusaha, penjabat hingga jajaran kabinet pernah tersentil. Semua itu tidak terlepas dari kerja keras yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Anehnya, baru-baru ini revisi Undang-undang Nomor 30 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disahkan pembahasannya dalam rapat paripurna yang berlangsung hari Kamis (5/09/2019).
Berbagai kalangan anti korupsi mengatakan bahwasanya KPK telah mati dengan adanya revisi undang-undang tersebut.
Jatuhnya Marwah KPK
Wacana tentang undang-undah nomor 30 ini sudah muncul sejak 2010 tapi selalu ditolak kelompok masyarakat dan aktivis. Alih-alih membuat KPK semakin mantap, revisi ini justru menjadi pintu masuk pelemahan KPK. Setidaknya ada 7 poin revisi yang digaristebal oleh para aktivis dan kelompok masyarakat yang dianggap sebagai pembunuhan terhadap lembaga antirasuah ini (baca: KPK).
Sebut saja perubahan pada pasal 1 angka 7 yang mengatur bahwa pegawai KPK diubah statusnya menjadi aparatur sipil negara (ASN). Pasal ini dinilai bermasalah lantaran akan berpotensi menghilangkan independensi pegawai KPK. Termasuk para penyidik yang berpotensi kehilangan independensi dalam menangani kasus korupsi.
Usai DPR menetapkan revisi UU KPK pada sidang paripurna, enam hari setelahnya presiden Joko Widodo menerbitkan surat presiden (surpres) bernomor R-42/Pres/09/2019 terkait revisi UU KPK. Dalam surat itu presiden memberi restunya atas perubahan undang-undang itu di DPR dan menunjuk dua menteri untuk mengawal pembahasannya di parlemen, yakni Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Syafruddin. Kelak, KPK akan masuk dalam jajaran lembaga pemerintah pusat atau masuk dalam jajaran eksekutif.
Sebagai anak kandung reformasi, dalam mukadimah UU KPK tertulis jelas bahwa dibentuknya lembaga antirasuah ini lantaran lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi belum berfungsi efektif dan efisien. Selain itu, dalam putusan MK Nomor 012-016-019-PUU-IV/2006, KPK merupakan lembaga negara yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman. Adanya revisi UU menjadi kontraproduktif dengan marwah KPK sebagai lembaga negara yang independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Dibalik Revisi UU KPK
Revisi UU ini akan berpotensi membuat kasus-kasus besar, rumit dan multiaktor yang sedang ditangani KPK menjadi terhenti. Mega kasus lain yang terancam terhenti adalah kasus BLBI, Century, E-KTP hingga Hambalang. Ada pula kekhawatiran munculnya politisasi kasus. Tetapi, ada satu hal yang mesti dipikirkan tentang betapa ada kepentingan tertentu dibalik revisi UU KPK ini. Terlebih kita tidak pernah lupa dengan peristiwa penyiraman air keras kepada seorang penyidik KPK, Novel Baswedan yang sampai saat ini belum tertuntaskan. Maka, tidak salah jika kita berpikir bahwasanya ada aktor yang tidak ingin terjerat oleh KPK hingga harus mematikan KPK dengan revisi UU ini.
Berdasarkan catatan Tempo, sejak munculnya usul pembahasan revisi UU KPK hingga disahkan dalam paripurna, sangat mulus dan berlangsung kilat hanya memakan waktu 13 hari. Bahkan para anggota legislatif atau yang katanya wakil rakyat kita yang hadir pun secuil. Dan telah kita ketahui pula para koruptor yang biasanya terciduk melakukan rasuah adalah dari kalangan anggota legislatif. Revisi UU ini seolah menjadi pelarian para tikus berdasi dari jeratan kucing KPK.
Wajah para anggota pengetok palu UU revisi tersebut tampak sumringah. Sementara itu, sejumlah pegiat antikorupsi menggelar aksi simbolik pemakaman di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta. (Tempo.com, 18 September 2019).
Dalam demokrasi ini suara terbanyak adalah suara Tuhan. Tak pelak, sistem ini bermakna syarat akan kepentingan pihak-pihak tertentu dan pastinya tidak merugikan mereka (kapitalis, koruptor). Selama paradigmanya sekuler dan sistem politik yang diterapkan adalah demokrasi maka pemberantasan korupsi hanya jadi utopis
Pemberantasan Total Korupsi
Berbicara korupsi bukan sekedar berbicara tentang kecurangan dan ketamakkan para maling-maling uang rakyat yang tidak tau malu itu. 3 pilar pemerintahan yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif yang harusnya bersih dari rasuah, malah diantaranya menjadi orang-orang yang masuk dalam lingkaran maling-maling uang rakyat. Miris
Hal ini tidak terlepas karena sistem yang ada adalah kapitalisme yang bertuhankan materi/harta. Maka, pemberantasan korupsi tidak akan bisa dilakukan total dan tuntas jika sistem politik demokrasi yang sarat biaya dan kepentingan tetap dipertahankan. Sebab itulah akar persoalan korupsi di negeri ini.
Korupsi bisa diberantas secara sistemik dan terintegrasi didalam Islam yang secara ringkas ditempuh dalam lima langkah. Pertama, penanaman iman dan takwa. Kedua, sistem penggajian yang layak, sehingga tidak ada alasan untuk berlaku korup. Ketiga, teladan dari pemimpin, sehingga tindak penyimpangan akan terdekteksi secara dini. Keempat, pembuktian terbalik harta dari para pejabat. Kelima, hukuman yang menimbulkan efek jera. Hukuman itu bisa berupa tasyhir (pewartaan atau ekspos), denda, penjara yang sangat lama, potong tangan bahkan bisa hukuman mati sesuai tingkat dan dampak kejahatannya.
Mari kita bandingkan dengan kondisi yang ada di negeri kita ini. Yang mana maling uang rakyat yang bermilyar-milyaran diperlakukan begitu santai mereka masih bisa pula berlibur sedangkan maling ayam yang hanya ratusan ribu diperlakukan tidak beradab. Harusnya kita sadar, bahwa untuk memberantas dan mencegah korupsi hanya dapat terjadi jika kita menjadikan Islam sebagai peraturan hidup kita dalam bernegara, berpolitik dan sanksi bagi para pelanggar hukum, khususnya para koruptor.
Wallahu ‘alam bish showwaba
Post a Comment