By : Nelliya Azzahra
Sumi Pov*
Aku merasakan kepala ku berdenyit sakit. Kucoba membuka mata, dan kudapati ruangan serba putih dengan bau obatan-obatan khas rumah sakit. Kuedarkan kesekeliling dan kudapati Bagas sedang menatapku dengan senyum manisnya.
Aku mencoba untuk duduk dibantunya.
"Bagas, aku kenapa? Kok bisa masuk rumah sakit begini? Aku sakit apa?" Cecarku dan beberapa pertanyaan sekaligus.
Bagas bukan langsung menjawab, malah senyum-senyum. Aku sendiri sudah tidak sabar menunggu jawabannya.
"Kau tidak sakit apa-apa mbak. Hanya saja sekarang ada sesuatu yang hidup dirahimmu" dia menunjuk perutku yang tertutup gamis.
Aku masih tidak bisa mencerna kata-katanya barusan.
"Maksudmu?"
"Kau sedang hamil anakku mba Sumi"
Aku jelas kaget dan kemudian mulai bisa mencerna kata-katanya. Kuarahkan tanganku pada perut datarku dan refleks aku mengelusnya.
Tanpa terasa butiran hangat sudah membasahi pipiku.
Sebentar lagi aku akan menjadi seorang 'umi' tidak terlukiskan bahagiaku saat ini. Allah begitu baik padaku.
Lalu Bagas meremas tanganku, kami pun tersenyum. Meresapi kebahagian yang tengah menghampiri kami saat ini.
Hari ini juga aku boleh dibawa pulang. Tadi dokter memberikanku vitamin dan menyarankan agar aku tidak terlalu capek. Karena kehamilanku yang masih lemah.
Sesampai di rumah Bagas menuntunku ke kamar untuk istirahat.
"Mbak, kau mau makan apa? Biar aku masakkan"
"Hmm, apa ya" aku mengetuk-ngetukkan jari di dagu. Seperti orang sedang berfikir serius.
"Aku mau capcay saja"
"baiklah bumil, tunggu sebentar ya" Bagas mengedipkan sebelah matanya dan berlalu keluar kamar.
Bagas pov*
****
Kata dokter tadi mbak Sumi tidak perlu dirawat. Maka, kami segera pulang.
Aku melihatnya yang lemah begitu jadi tidak tega. Kutawarkan untuk memasakkan makanan untuknya.
Ternyata dia mau makan masakan capcay. Baiklah saatnya menunjukkan keahlian memasakku.
"Taraa, mbak Sumi ini Capcaynya" aku membawakan sepiring capcay kedalam kamar. Saat aku mendekati ranjang rupanya mbak Sumi tengah tertidur. Apa tadi aku kelamaan masaknya yah.
Lalu aku berbalik keluar untuk menyimpannya di dalam lemari. Nanti saja kupanaskan kalau dia sudah bangun.
Lalu, aku masuk kembali kekamar dan memilih tidur di sampingnya.
5 bulan kemudian...
Baca :
Sumi pov*
"Bagas!"
"Iya mbak. Tunggu sebentar ya" kulihat Bagas keluar kamar sudah rapi dengan baju kemeja panjang yang dilipat sampai siku dan celana jeans.
"Mbak, kenapa kau melihatku seperti itu, aku tahu aku tampan jadi tidak perlu terkagum-kagum begitu" kemudian dia terkekeh.
"Jangan terlalu pede ya Bagas Harmadi. Siapa dulu yang terpesona dengan pesona seorang Sumi" aku mengeluarkan senyum yang mematikan untuknya.
Kulihat Bagas gelisah. Rasakan bathinku.
Aku berlalu keluar terlebih dahulu. Hari ini kami akan pulang ke kampung. Sudah beberapa bulan tidak pulang. Kangennya sama ibu dan bapak. Serta kedua mertuaku.
Kini kehamilanku memasuki bulan ke-6. Alhamdulillah selama ini aku dan kandunganku baik-baik saja.
"Bagas" aku melirik Bagas yang tengah menyetir disebelahku.
"Ya mbak. Apa kau butuh sesuatu?" Tanya sambil melirik ku sekilas dan kembali fokus menyetir.
"Aku sekarang gendut ya"? Kuraba pipiku yang sudah seperti bakpao.
"Emm tidak mbak"
"Jujur saja!"
"Kau tidak gemuk mbak, hanya berisi saja" kulihat dia menahan tawa.
Apa bedanya bathinku. Hanya pemilihan kata yang berbeda artinya sama saja kalau aku gemuk. Bagaimana tidak aku sudah naik 10 kg sekarang dari berat awal ku 45kg.
Sebaiknya aku tidur saja, daripada memikirkan berat badanku. Membuat mood ku buruk.
****
"Mbak, sudah sampai, ayo bangun" Bagas menepuk pelan pipiku.
"Hmm. Sudah sampai ya" aku mengucek pelan mataku. Kulihat Bagas mendekat dan merapikan kerundungku.
Aku pun mengambil tas dan keluar dari mobil. Kulihat Bagas belum masuk, mungkin dia menungguku.
"Kenapa tidak masuk duluan? Apakah kau ingin menggendongku?"
"Itu mbak. Aku menunggumu. Untuk menggendongmu tidak ada niatku mbak" jawabnya jujur
"Kenapa kau menjawab sangat jujur. Apa sekarang aku sangat gendut dan berat hiks.." aku langsung saja masuk.
Sejak hamil aku memang jadi cengeng, mungkin karena hormon ibu hamil ya.
Ibu banyak memberikan wejangan selama aku hamil. Karena aku anak satu-satunya jadi ibu dan bapak serta mertuaku sangat menanti kehadirannya.
Bagas pov*
Kulihat mbak Sumi tengah menonton di ruang tamu. Sekarang kami tengah menginap di rumah mertuaku.
Aku mendekat kearahnya. Kulihat dia sedang memangku setoples kue kering. Disebelahnya sudah tergeletak satu toples kosong. Bukannya dia tidak mau gendut. Tapi lihatlah, satu toples kue saja sudah tandas.
"Mbak. Sudah dulu makan kuenya"
"Kenapa?" Tanyanya dengan mulut penuh.
"Katanya mbak tidak mau gendut. Tapi makannya banyak gitu" aku menunjuk toples kosong lalu beralih pada toples yang sedang dipangkunya.
"Oh jadi kau perhitungan sekarang soal makanan denganku" kulihat tanduk nya sudah mau keluar. Aku waspada, sebentar lagi kata-kata ajaibnya pasti keluar.
"kau tidak tahu saja kalau dua anakmu didalam perut ku ini selalu kelaparan. Memangnya aku yang mau makan terus. Aku juga sudah tidak mau gendut. Pasti sekarang aku terlihat seperti kuda nil kan. Hiks...hiks.." benarkan kataku Langsung keluarkan kata-kata ajaibnya.
Mbak Sumi memang tengah hamil anak kembar. Jadi wajar kalau porsi makannya pun lebih meningkat. Tapi kok galaknya juga ikut meningkat ya berkali-kali lipat. Tapi aku salut dengan mba Sumi. Demi buah hati kami dia rela badan langsingnya berubah gendut demi anak-anaku mendapat asupan makan yang cukup. Awak kehamilan meski sering muntah-muntah dia tetap makan. Jika tidak makan dia khawatir dengan perkembangan calon anak kami. Dia juga dengan perut besarnya tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Padahal aku bisa saja menggaji asisten rumah tangga.
Dia tidak pernah mengeluh mengerjakan semuanya. Belum lagi jika nanti dia melahirkan, nyawanya sendiri yang dipertaruhkan.
Jika mengingat semua pengorbanannya, aku merasa belum bisa memberikan yang terbaik untuknya.
"Cup ... cup mbak jangan nangis ya. Maksudku bukan begitu mbak. Sungguh"
"Kau pasti tidak cinta lagi kan? Karena aku gendut" rajuknya.
"Siapa bilang mbak. Aku mencintaimu karena Allah. Jadi tidak akan sirna sampai Allah yang mencabut rasa itu"
Kulihat dia tersenyum lebar. Lah, bukannya tadi nangis. Sekejap saja langsung diam. Dan kembali meraih kue dalam toples. Kulihat mulutnya sudah sibuk mengunyah lagi. Yasudahlah.
Sumi pov*
*****
****
Sore ini kami sedang duduk santai di teras, kami sedang di rumah oranga tua Bagas. Tiba-tiba aku melihat mangga yang berbuah lebat di pekarangan. Aku jadi pengen makan mangga.
"Bagas"
"Iy mbak"
"Emm ... aku pengen makan mangga" sambil kukedip-kedipkan mataku. Kulihat dia malah beranjak masuk kedalam.
"Mau kemana!" Seruku.
"Ambil kunci mobil mbak. Katanya mau mangga kan"
"Aku mau mangga yang itu!" Tunjukku pada pohon mangga yang ada dipekarangan.
"Dan ... ku ingin kau sendiri yang memanjatnya" aku memasang wajah memelas andalanku jika ada maunya.
"Tapi mbak ..."
"Yasudah kalau tidak mau. Hiks" aku segera memotongnya kata-katanya yang akan menolak.
"Baiklah mba. Jangan nangis ya" dia segera menuju pohon mangga dan mulai memanjat. Beberapa kali dia gagal dan itu terlihat sangat lucu dimataku. Akupun cekikikan Sendiri. Kulihat Bagas menoleh kearahku. Segera aku membuat sedatar mungkin mukaku bisa tidak jadi nanti manjatnya kalau ketahuan sedang ku tertawai.
Akhirnya berhasil juga. Aku sedang mengumpulkan mangga yang di jatuhkan Bagas dari atas pohon. Tidak lama dia pun turun.
"Mbak ya ampun. Diatas banyak semut rangrang. Utung saja aku cepat turun. Kalau tidak bisa digigitnya"
"Jadi, kau tidak ikhlas mengambilkan mangga ini?" Tunjukku pada mangga yang kepegang.
"Ya ndak mbak. Hanya pemberitahuan saja" kemudia dia tersenyum. Lalu kami mengupas mangga di teras. Bagas yang mengupas dan aku yang makan.
Tiga bulan berlalu. Kami sudah balik kerumah Bagas. Jadwal kelahiranku tinggal menghitung hari saja. Bagas menjadi suami siaga. Dia ke Kafe pun tidak setiap hari.
Pagi ini saat aku membuat sarapan, kurasakan pinggangku sakit. Kupikir itu sakit biasa saja. Tapi sakitnya kok semakin sering ya. Akhirnya aku sudah tidak kuat lagi. Aku menarik salah satu kursi dan mencoba duduk.
"Bagas! Bagas ... tolong!"
Kulihat Bagas berlari kearahku.
"Mbak ada apa?" Wajahnya sudah panik.
"Perutku sakit!"
"Mungkinkah mbak mau lahiran? Ayo kita segera kerumah sakit mbak" dia pun berlari ke kamar mengambil tas yang sudah kusiapkan. Kami pun berangkat kerumah sakit.
Bagas pov*
Aku yang lagi di kamar mendengar mbak Sumi berteriak memanggil namaku segera berlari kearahnya.
Kulihat dia meringis menahan sakit, kupikir mbak Sumi mungkin saja mau melahirkan. Aku bergegas ke kamar mengambil tas berisi baju bayi yang sudah disiapkan Mbak Sumi dan satu lagi tas berisi baju mbak Sumi.
Kami segera kerumah sakit, sepanjang perjalanan aku sangat khawatir. Kulihat keringat sudah membasahi wajah mba Sumi yang meringis menahan sakit. Aku mengajaknya sama-sama istigfar.
Setelah sampai beberapa perawat menyambut kami dengan membawa kursi roda. Mbak Sumi segera dibawa keruang bersalin. Mbak Sumi ngotot minta aku ikut masuk.
Disinilah aku sekarang, berdiri disamping mbak Sumi. Sambil menggenggam erat tangannya.
"Bu, bukaannya sudah lengkap.ikuti intruksi saya ya. Kalau saya bilang dorong, ibu dorong ya" seorang dokter perempuan berkata lembut kepada mbak Sumi.yang hanya dijawab anggukan.
"Ayo buk dorong"
"Bismillah!"
seru mbak Sumi sekuat tenaga. Aku yang melihatnya ingin menangis. Ya Allah inilah perjuangan mulia seorang istri. Benar saja dalam Islam melawan dengan mereka merupakan dosa besar. Dan juga Surga ada dibawah telapak kaki ibu.
"Ayo sayang. Sedikit lagi ya,remas saja tanganku sesuka mu" aku memberi semangat sambil mengelus rambutnya.
Lalu kurasakan tanganku dicakar, dan rambutku ditarik.
Ya Allah rasanya rambutku tercabut semua dari kepala. Mau menghentikan, tapi tadi qku sendiri yang menawarkan. Akhirnya mbak sumi meringis aku pun meringis menahan sakit di tangan dan kepalaku.
"oek ...oek" bayi pertamaku sudah lahir dengan selamat
"Ayo buk. Dorong lagi.! Kita keluarkan yang kedua"
Tidak berapa lama tangis bayi keduaku pun menggema.
Segera suster membawanya untuk dibersihkan dan diazani.
*****
Mbak Sumi sudah dibersihkan dan dipindahkan keruang rawat. Keluarga mbak Sumi dan keluargaku juga datang.
Aku sedang menggendong 'Azila' bayi perempuanku yang mungil. Sementara kembarannya bayi laki-laki kami 'Arga' sedang bersama mbak Sumi. Aku mendekat kearah mbak Sumi. Tidak hentinya aku bersyukur kepada Allah Swt. Dan berterimakasih kepada mbak Sumi yang sudah berjuang mengantarkan dua buah cinta kami hadir ke dunia ini.
Sumi pov*
Alhamdulillah akhirnya dua buah cinta kami telah hadir diantar kami, sembilan bulan kami semua menantikannya. Syukur tak terhingga kepada Allah atas nikmat dan amanah ini. Juga jodoh terbaik yang diberikan kepadak. BAGAS HARMADI.
🍁 aku selalu yakin dengan segala rencana Allah. Termasuk urusan jodoh. Karena manusia Allah Swt ciptakan dengan berpasangan. Pilihan kita bagaimana menjemput jodoh itu, dengan jalan yang diridhoi Allah atau yang mengundang Murka_Nya. Semua pilihan kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Sedikit terlambat tidak apa-apa tetapi mendapatkan yang tepat. Daripada terburu-buru tapi mendapatkan yang salah.
Insyaallah diwaktu yang baik, dengan seseorang yang baik pula akan Allah satukan🍁
END
🍂 alhamdulillah akhirnya cerita "Perawan tua" ending ya. Terimakasih untuk semua pembaca setia. Insyallah next kita jumpa dicerita lainnya. Mohon maaf jika ada yang tidak berkenan🍂
Salam hangat penulis: Nelliya Azzahra
Jambi, 4 september 2019.
#AMK
Post a Comment