Oleh : Nisa Agustina, M.Pd
Resmi sudah presiden Jokowi Widodo mengumumkan keputusannya terkait pemindahan ibu kota negara pada tanggal 26 Agustus 2019. Isu yang selama ini hanya menjadi wacana, akhirnya terealisasi. Lokasi Ibu kota baru yang terpilih adalah Kalimantan Timur di sebagian Kabupaten Penajem Passer Utara (PPU) dan Kutai Kerta Negara (KuKar). Meski Rancangan Undang-Undang (RUU) belum disusun, legalitas belum dikantongi, panitia khusus (pansus) belum dibentuk, dan ada sejuta tanya dibenak para ahli atas pemilihan wilayah ini, tapi pemerintah tetap nekad mengumumkan pemindahan ibu kota negara.
Tak ingin dianggap gegabah, Presiden Jokowi membeberkan berbagai alasan yang menurutnya kuat sehingga ibu kota harus segera pindah ke Kukar dan PPU. Pertama, untuk mengurangi beban berat Jakarta karena menjadi pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa. Kedua, demi pemerataan ekonomi. Ketiga, Kalimantan daerah minim bencana. Keempat, tempatnya strategis tepat di tengah Indonesia. Kelima, polusi dan kemacetan di Jakarta sudah sangat parah. Keenam, infrastruktur memadai. Ketujuh, ada tanah pemerintah di Kukar dan PPU seluas 180.000 hektar, dan berbagai alasan lainnya (www.kompas.com, 26/08/19)
Menurut keterangan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), pembangunan ibu kota baru akan dimulai pada tahun 2021 dengan target penyelesaian pembangunan gedung pemerintahan pada tahun 2024. Estimasi besarnya pembiayaan untuk pembangunan ibu kota baru ini membutuhkan biaya sebesar Rp 466 triliun. Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyebut akan ada empat sumber dana mulai dari APBN, Kerjasama pemerintah dengan badan Usaha (KPBU), Proyek BUMN , hingga proyek swasta (republika.co.id, 26/08/19).
Memang benar, permasalahan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara sangatlah kompleks. Persoalan kemiskinan, tuna wisma, banjir, polusi udara, kemacetan dari tahun ke tahun alih-alih berkurang sebaliknya justru semakin parah. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Pak Jokowi "Kita tidak bisa membiarkan terus menerus beban Jakarta dan Pulau Jawa semakin berat dalam hal kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas yang sudah terlanjur parah dan polusi udara dan air yang harus segera kita tangani. Jakarta dan Jawa sudah terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa, dengan alasan itulah ibu kota negara harus dipindah” (kompas.com, 26/08/19).
Namun pertanyaan pentingnya adalah, apakah pemindahan ini bisa menjadi solusi untuk semua permasalahan tadi ? Apakah beban penderitaan Jakarta, Kalimantan dan berbagai wilayah lainnya akan berkurang pasca pemindahan ibu kota? Akankah kehidupan bangsa ini akan lebih baik dan sejahtera?
Pemindahan pusat pemerintahan dipisahkan dengan pusat bisnis memang bukan wacana baru. Namun, keputusan yang diambil Presiden Jokowi kali ini terkesan tiba-tiba dan terlalu dipaksakan. Disinyalir keputusan ini tanpa disertai studi kelayakan yang mencukupi. Belakangan diketahui jika wilayah yang ditetapkan sebagai ibu kota baru ternyata sudah dikuasai oleh para oligarki. "Pemindahan berkedok mega proyek ini hanya akan menguntungkan oligarki pemilik konsesi pertambangan batu bara dan penguasa lahan skala besar di Kaltim," ujar Koordinator Jatam Nasional Merah Johansyah dalam keterangan tertulisnya (katadata.co.id, 26/08/19)).
Aroma bagi-bagi megaproyek untuk oligarki pun menyengat kuat. Ditambah lagi pemerintah berencana hanya membiayai 19% dari total kebutuhan pembangunan ibu kota yang baru, sisanya diserahkan pada swasta. Mirip seperti PPP (Public-Private Partnership) dengan nama Availability Payment (merdeka.com). Pelibatan swasta ini mengonfirmasi bahwa pemerintah pada dasarnya tidak memiliki dana untuk membiayai pindahnya ibu kota. Namun seperti ada kegentingan yang memaksa pemerintah melakukan pemindahan ibu kota sekarang juga. Padahal memindahkan Ibu kota bukanlah pekerjaan ringan, tidak sekedar masalah membangun bangunan fisik. Banyak aspek teknis lain seperti layanan pemerintah selama masa transisi, maupun non teknis seperti aspek sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan yang perlu dipertimbangkan. Bukan hanya semata-mata bagi-bagi proyek pada oligarki.
Saat ini, melihat sumber dananya yang hanya mampu meng-cover 19 persen dari total dana yang dibutuhkan, justru pemindahan ibu kota bukan pilihan terbaik. Apalagi pemerintah menyatakan bahwa nanti yang membangun itu pihak swasta, lalu pemerintah membayar hak sewa saja. Bukankah itu berarti kita mengontrak ibu kota ?
Masyarakat pun bertanya-tanya, apakah wajar seorang pemimpin lebih memikirkan pemindahan ibu kota padahal kondisi keuangan negara sedang sangat sulit. Ekonomi negara stagnan di angka 5,2%, meleset dari target Pemerintah. Anggaran negara sedang defisit, nilai ekspor anjlok drastis, impor membanjir, hutang melejit sampai Rp 4.603 T per Juli 2019. Sejumlah BUMN rugi, seperti Garuda Indonesia, Krakatau Steel, PLN, Pertamina, Angkasa Pura, dll. Harga komoditi seperti karet, sawit, kopi dll merosot. PHK sudah mencapai 10.000 orang, PT Semen menjerit dijepit produk China. Petani dan peternak terpuruk kondisinya karena gempuran impor, serta segudang permasalahan lainnya termasuk masalah Papua.
Selain itu, kondisi Jakarta saat ini membutuhkan penanganan khusus. Rilis data dari Badan Pusat Statistik (BPS) DKI tahun 2017 mencatat 86% wilayah DKI Jakarta masuk kategori kumuh. Kampung kumuh tersebar disejumlah titik di Ibu Kota. Artinya, saat menjadi Ibu Kota Negara saja, Jakarta tidak menunjukkan kesejahteraan yang merata. Begitu banyak permasalahan ekonomi di negara ini tapi mengapa pemerintah justru terobsesi menambah masalah baru dengan mengganti Ibu kota. Belum lagi dampak pembangunan ibu kota baru yang bak gula, akan mengundang semut-semut berkerumun. Bukankah nantinya hanya memindahkan keruwetan Jakarta ke ibu kota baru? Misal, gelombang urbanisasi pindah ke sana.
Ini menekankan bahwa bukan Jakarta yang tidak mampu menampung beban sebagai Ibu Kota karena kepadatan penduduk atau daerah yang rawan bencana, tapi ini buah dari akibat penerapan sistem ekonomi neoliberal. Dimana periayahan terhadap umat dikesampingkan untuk kepentingan pemilik modal.
Di sini akan terjawab apakah pemindahan Ibu Kota Negara solusi atau justru obsesi Oligarki rezim neolib untuk menjalankan berbagai agenda hegemoni asing dan aseng. Yang pasti pemerintah semakin lalai dari tugas dan fungsi semestinya sebagaimana yang dituntut oleh syariah Islam. Semua ini tentu berujung pada fasad yang makin parah, berupa kesejahteraan dan kedaulatan bangsa yang kian sirna.
Hanya dengan Syari’ah Islam Indonesia Sejahtera
Dunia telah menyaksikan kondisi Ibu Kota Negara Khilafah dan kota-kota besarnya di era peradaban Islam. Semuanya dilingkupi atmosfir kesejahteraan pada setiap sudut kota hingga ke pelosok-pelosok negeri. Keramaian dan kesibukan kota berlangsung di tengah-tengah kehadiran nilai-nilai kehidupan yang berlangsung secara seimbang. Baik nilai ruhiyah, insaniyah, madiyah dan khuluqiyah. Demikian juga kemajuan teknologi dan infrastrukturnya. Sebagaimana yang terlihat pada Cordoba, Baghdad, Turki di era itu. Akses terhadap berbagai hajat hidup begitu mudah. Apakah itu pangan, sandang, papan, air bersih, hingga pendidikan, kesehatan, energi dan transportasi publik. Apa yang tercermin di Ibu Kota negara dan kota-kota besar di era peradaban Islam merupakan cerminan kecemerlangan Islam. Yakni, ideologisnya yang sahih dan berbagai paradigma serta konsep yang terpancar darinya.
InsyaAllah dalam waktu dekat, peradaban Islam akan kembali ke tengah-tengah umat, mengangkat beban penderitaan mereka, membebaskan mereka dari berbagai agenda penjajahan yang sangat buruk dan merusak. Yang dengannya akan kembali terwujud Ibu Kota Negara yang dilimpahi kesejahteraan dan kebaikan Islam hingga pelosok negeri. Bukan saja kebutuhan yang mendesak, kembalinya Khilafah adalah kewajiban yang disyariatkan Allah subhanallahu wa ta'ala.
Post a Comment