Oleh : Asih Sri Wahyuni
Ibu rumah tangga dan pegiat dakwah
Gelombang penolakan revisi undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK) terus mengemuka. Kali ini sejumlah mantan pimpinan KPK menyuarakan penolakan UU KPK tersebut. (Jawapos.com)
Mantan ketua KPK Busyro Muqoddas menolak revisi UU KPK yang telah disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Busyro menilai, seluruh fraksi di DPR telah sepakat untuk membunuh KPK. Semua fraksi di DPR membunuh KPK! "Merekalah pembunuh rakyat." Kata Busyro saat dikonfirmasi, Senin (9/9/2019).
Ketua pimpinan pusat Muhammadiyah ini menyinggung soal lembaga yang berdiri selama 17 tahun untuk menyelamatkan uang rakyat. Menurutnya pengabdian KPK terhadap Indonesia sudah cukup banyak dan saat ini harus diselamatkan. Oleh karenanya, Busyro meminta ketua umum-ketua umum partai politik bertanggung jawab atas revisi UU KPK inisiatif DPR tersebut. Dia menyebut bahwa revisi UU KPK inisiatif DPR merupakan "tragedi kemanusiaan". Ketua umum parpol paling bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan ini.
Senada dengan Busyro, Abraham Samad mengganti poin revisi UU KPK yang bakal melemahkan lembaga antirasuah ini. Salah satu poin pelemahan yakni dibentuknya dewan pengawas dan adanya surat proses penghentian penyidikan (SP-3). Samad memandang, revisi UU KPK hendak memberikan wewenang untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, apabila penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun.
Ironis memang, Indonesia yang mayoritas muslim tapi masalah korupsi begitu menggurita dan tidak bisa teratasi sampai saat ini. Korupsi telah menyebar ke seantero negeri ini dengan jumlah dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan modus yang makin beragam. Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia paling tinggi di dunia.
Bahkan koran Singapura, _The Strait time,_ sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai _The envelope country,_ karena segala hal bisa dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak dan yang lainnya. Pendek kata, segala urusan bisa lancar bila ada 'amplop'.
Korupsi tentu saja merugikan keuangan negara. Kwik kian Gie, ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), menyebut korupsi Rp 300 triliyun dana baik dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun hasil penggelapan hasil sumber daya alam menguap masuk ke kantong para koruptor.
Disamping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak optimal. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang- undangan semacam UU Enegi, RUU SDA, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif dan di belakangnya ada motivasi korupsi.
Korupsi juga makin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan yang kaya dan miskin semakin menganga, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat, uang berputar hanya pada orang kaya saja. Koruptor makin kaya, yang miskin makin miskin. Akibatnya karena uang mudah didapat maka melahirkan sikap konsumtif dan tidak ada dorongan ke pola produktif sehingga timbul inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi.
Sesungguhnya sudah ada niat yang cukup besar untuk mengatasi korupsi, bahkan telah dibuat satu tap MPR khusus tentang pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), bahkan dengan dibentuknya KPK. Tapi mengapa proses pemberantasan korupsi tidak kunjung berhasil? Tampak nyata bahwa penanganan korupsi setengah hati dan tidak sungguh- sungguh. Tampak tidak adanya keteladanan dari para pemimpin dan sedikit atau rendahnya pengungkapan kejahatan korupsi. Sementara masyarakat tahu bahwa korupsi terjadi di mana-mana.
KPK pun dibuat tak berdaya, pengungkapan korupsi cenderung tidak obyektif, yang jujur difitnah dan diungkap kejahatannya sedangkan yang benar-benar korupsi seakan dilindungi.
Hal ini lebih tejadi karena sistem yang dijalankan saat ini adalah kapitalis demokrasi sehingga menyebabkan pemberantasan korupsi senantiasa tak mampu dituntaskan secara komprehensif sampai ke akarnya.
Berbeda dengan Islam, Islam sebagai sebuah sudut pandang kehidupan yang melahirkan berbagai aturan kehidupan bagi manusia, termasuk bagaimana cara Islam menyelesaikan kasus korupsi yang komprehensif dan mengakar.
Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya, dan itu sulit berjalan dengan baik bila gaji mereka tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk menafkahi keluarganya. Maka agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak tergoda berbuat curang, mereka akan diberi gaji dan tunjangan hidup yang layak. Meskipun tetap tidak menjamin gaji besar tidak akan melakukan korupsi, setidaknya sistem penggajian rendah tidak akan menjadi pemicu tindak korupsi.
Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan hidup aparat pemerintah, Rasul dalam hadits riwayat Abu Dawud berkata,
"Barangsiapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu, hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainya itulah kecurangan (ghalin)."_
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud di belakangnya, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan si pemberi hadiah.
Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi di khaibar -separo untuk kaum muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi- maka orang Yahudi ada yang datang kepadanya hendak memberi suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separo untuk orang Yahudi.
Tawaran ini jelas ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, _"Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum muslimin tidak memakannya."_ Mendengar itu orang Yahudi berkata, _"Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak."_ (Imam Malik dalam _al-Muwatta)._
Tentang suap Rasulullah Saw bersabda,
_"Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap,"_ (HR. Abu Dawud)
Adapun tentang hadiah yang diberikan kepada aparat pemerintah, Rasul berkata,
_"Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur."_ (HR. Imam Ahmad)
Nabi, sebagaimana hal tersebut dari hadits riwayat Bukhari, mengecam kasus Ibnul Athabiyah lantaran menerima hadiah dari para wajib zakat dari kalangan Bani Sulaym. Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah.
Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat, meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena melakukan korupsi, bisa saja ia mendapatkan semua dari warisan atau keberhasilan bisnisnya.
Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik, sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi. Semasa menjadi Khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan bukan jaksa atau orang lain diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimiliki itu didapat dengan cara yang halal. Bila gagal, Umar memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada _baitul mal_ atau membagi dua kekayaan itu separo untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang.
Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi dalam sebuah negara bersih dari korupsi, dengan takwanya, seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah. Dengan takwanya pula ia takut melakukan penyimpangan, karena merasa diawasi oleh Allah Swt dan takut akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Disinilah diperlukan keteladanan dari para pemimpin itu, Khalifah Umar telah menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan di padang rumput milik _baitul mal._ Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.
Kelima, hukuman setimpal. Pada umumnya orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor. Hukuman dalam Islam dapat berfungsi sebagai pencegah _(zawajir)_ dimana hukuman setimpal atas koruptor diharapkan akan menjadi efek penjera untuk melakukan korupsi kembali.
Dalam Islam koruptor dikenai hukuman _ta'zir_ berupa _tahyhir_ atau pewartaan (dulu dilakukan dengan cara diarak keliling kota. Untuk kondisi sekarang mungkin bisa dengan ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukum kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan dalam menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung berupaya menempuh jalan pintas pada saat berurusan dengan aparat dan tak segan memberi suap dan hadiah, sementara masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan mencegah aparat untuk berbuat curang. Demi menumbuhkan keberanian masyarakat dalam mengoreksi aparat, Khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan,
_"Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskanlah aku walau dengan pedang."_
Dengan langkah-langkah seperti itu maka korupsi tentu akan dapat dicegah dan diberantas hingga ke akarnya. Sehingga dibutuhkan keshalehan negara, masyarakat dan individu dalam menuntaskan kasus korupsi. Hal ini hanya akan terwujud ketika diterapkan syariat Islam kaffah dalam wadah pemerintahan warisan Rasulullah Saw yaitu kekhilafahan Islam.
_Wallahu a'lam bishshawab_
Post a Comment