Oleh : Dinda Rahma
Pelajar
“Jalan Tol Cisumdawu adalah jalan tol sepanjang 60 kilometer bagian dari Jalan Tol Trans Jawa yang berada di Jawa Barat menghubungkan daerah Cileunyi-Sumedang-Dawuan atau Jalan Tol Padaleunyi dengan Jalan Tol Palimanan-Kanci, keseluruhan mempergunakan lahan seluas 825 ha.” (Wikipedia).
Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto meresmikan pembangunan jalan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu), Kamis (29/11/2012). Peresmian ditandai dengan peletakan batu pertama di pintu keluar dan masuk atau interchange Citali, Kecamatan Pamulihan (Tribun Jabar 29/11/2012). Terkait dengan hal ini pada Juni 2014, gagasan membangun terowongan kembar di proyek Tol Cisumdawu sebenarnya dihindari karena dinilai cukup beresiko. Sebab, bila gunung digali dengan kedalaman 60 meter, maka konsekuensinya ketika lereng sangat curam, ada risiko tak stabil sehingga berbahaya bagi pengguna tol karena rawan longsor. Akan tetapi, pembangunan terowongan tetap dilakukan dengan opsi memilih jalur yang lebih pendek, yang awalnya 1 km menjadi 472 m untuk efisiensi. (CNBC, 10/11/2019)
Tentu dalam proses pembangunan infrastruktur diperlukan pengkajian yang sangat mendalam. Hal ini disebabkan pentingnya mengutamakan keamanan masyarakat baik pengguna jalan dan keseluruhannya. Melihat fakta, nyatanya lahan yang dipakai untuk Tol Cisumdawu dinilai beberapa kalangan berbahaya bagi pengguna tol, sebab lereng yang curam serta rawan longsor. Terlebih Tol Cisumdawu ini sudah lama direncanakan dan dimulai pembangunannya, tetapi sampai 2019 ini masih belum juga sempurna terealisasi. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menargetkan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu) beres 2020 (detikFinance, 2/7/2019). Itupun Pemprov Jabar mengejar terowongan kembar agar cepat selesai. Sebab, lambannya penyelesaian ini dipandang berdampak pada sepinya Bandara Kertajati yang sudah diresmikan operasinya pada tanggal 24 Mei 2018. Maka disinyalir akses jalan ke bandara ini akan sangat ditunggu, karena akan lebih signifikan sekali manfaatnya untuk pergerakan lalu lintasnya.
Pada saat membangun infrastruktur semestinya AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) menjadi rujukan awal agar maslahat bagi umat. Haruslah melewati pengkajian dari berbagai sisi, lingkungan, dan lainnya yang tidak akan menyebabkan dharar bagi umat. Mengenai pembangunan tol ini, ternyata fakta di lapangan menimbulkan beberapa dampak negatif bagi masyarakat. Jika pihak yang bertaggung jawab tidak segera mengambil tindakan, proyek ini bisa saja menimbulkan masalah yang lebih besar di kemudian hari. Pertama, resiko banjir lumpur yang disebabkan pembukaan lahan lalu mengubahnya menjadi jalan tol. Hal ini karena lahan yang digunakan awalnya adalah perumahan warga juga lahan pertanian seperti sawah dan kebun, serta sebagian lainnya berupa bukit dan hutan. Kedua, berkurangnya produksi padi masyarakat khususnya di Kabupaten Sumedang, sebab yang dihabiskan adalah lahan seluas kurang lebih 4000 hektar sawah. Ketiga, meningkatnya resiko angka kecelakaan pada daerah yang dilalui pembangunan jalan Tol Cisumdawu sebab lambannya pengerjaan dan jalur Tol Cisumdawu dibuat dengan melewati banyak jalan raya serta jalan kecil yang biasa dilewati warga setempat. Maka apakah pembangunan proyek ini dilakukan atas pengkajian AMDAL yang tepat? Sebab ketika tidak memerhatikan AMDAL, maka resiko dampak kerusakan tak bisa dihindari.
Mengapa hal-hal di atas bisa terjadi? Hal tersebut terjadi karena diterapkannya sistem kapitalisme. Mereka pertahankan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan berpendapat, berkepemilikan, dan kebebasan pribadi. Maka bukan sesuatu yang mustahil ketika kebijakan yang dikeluarkan lebih ditujukan bagi kepentingan sekelompok orang. Sekelompok orang tersebut adalah pemegang kekuasaan dan para pemodal. Kendali politik dan kekuasaan dalam ideologi kapitalisme terdapat pada para pemilik modal. Kemudian yang ditakutkan dari sini, mereka fokus pada keuntungan materi yang sebesar-besarnya, tanpa memperhatikan dampak buruk dan kerugian yang akan terjadi di kemudian hari pada alam dan masyarakat secara keseluruhan.
Bukan menjadi rahasia bahwa dalam misi sistem kapitalisme, pembangunan infrastruktur itu lebih direalisasikan untuk memenuhi kebutuhan pemodal termasuk pembangunan jalan tol yang dapat menghubungkan daerah-daerah yang menjadi pusat daerah ekonomi -apakah itu banyak terdapat tambang, perkebunan, dan lainnya. Walhasil, pemerataan dan kesejahteraan tidak mungkin tercapai dengan visi pembangunan yang demikian, karena semuanya hanya berbasis atas aliran modal pada pengusaha.
Berbeda dalam sistem Islam, segala aspek diatur, termasuk dalam hal infrastruktur untuk memperlancar distribusi dan pemenuhan kebutuhan rakyat. Fasilitas publik harus menjadi kewajiban pemerintah dalam mengadakannya. Keseriusan visi pembangunan infrastruktur dalam Islam tidak hanya membangun, namun jaminan keselamatan dan kenyamanan rakyat juga harus menjadi prioritas.
Teringat dengan masa kekhalifahan Umar bin Khattab, beliau pernah berkata bahwa jikalau ada kondisi jalan di daerah Irak yang rusak karena penanganan pembangunan yang tidak tepat kemudian ada seekor keledai yang terperosok ke dalamnya, maka ia (Umar) bertanggung jawab karenanya. Terlihat sekali dalam kisah tersebut bahwasanya Umar bin Khattab sangat memperhatikan kebutuhan umat hingga dalam lingkup yang terkecil sekalipun. Jika keselamatan hewan saja sangat diperhatikan, apa lagi keselamatan manusia.
Maka sudah semestinya para penguasa memperhatikan proses perencanaan dan pelaksanaan aktivitas dalam membangun infrastruktur di tengah masyarakat. Dimulai dari sisi pengelolaan alam, agar tehidar dari kerusakan ekosistem. Apalagi jika sampai membahayakan manusia.
Dalam kekhalifahan beliau pun, dicatat telah merealisasikan berbagai proyek seperti melancarkan aliran sungai, perbaikan jalan, pembangunan jembatan, dan sebagainya. Sekalipun prosesnya itu menghabiskan dana besar, namun perlu kita garisi, khalifah tidak pernah mencukupinya dari utang apalagi yang mengandung riba yang sudah barang tentu bertentangan dengan syariat. Biaya yang disiapkan khalifah murni berasal dari baitul mal, yaitu dana yang berasal dari penerimaan zakat, kharaj, jizyiah, khums, fa'i, dan hasil dari kepemilikan negara. Dari dana-dana tersebut digunakan untuk pembangunan yang menjadi kebutuhan negara dan kesejahteraan rakyat agar tidak ada lagi rakyat miskin atau tidak punya pekerjaan.
Tidak sebagaimana yang saat ini terjadi di Indonesia dimana telah banyak melaksanakan proyek pembangunan infrastruktur dananya berasal dari utang ribawi. Hal ini tentu bertentangan dengan aturan syara yang berakibat ketidak ridaan Allah Swt dan berpotensi menimbulkan demikian banyak bahaya di belakangnya. Sebab riba merupakan salah satu perbuatan yang dapat menghantarkan kepada kebinasaan. Apalagi ini menyangkut negara, maka bagaimana nasib rakyat yang ada di bawah?
Adapun dari segi jangka waktu pengadaannya insfrastruktur dalam pandangan Islam dibagi dua jenis. Pertama, infrastruktur yang sangat dibutuhkan rakyat yang ketika menundanya bisa menyebabkan dharar bagi umat. Misalnya, satu kampung yang tidak punya jalan umum atau sekolah, dan lainnya yang sangat dibutuhkan. Kedua, infrastruktur yang tidak begitu mendesak misalnya, jalan alternatif. Ini tidak boleh dibangun jika negara tidak memiliki dana, tidak boleh dengan jalan utang dan pajak. Dengan kata lain hanya boleh dibangun jika dana APBN atau Baitul Mal mencukupi.
Maka dari itu, prosesi pembangunan infrastruktur betul-betul sangat diperhatikan dalam Islam. Jangan sampai pembangunannya terabaikan. Kebutuhan umat adalah prioritas. Jangan sampai lamban dalam pengerjaan, mengeluarkan kebijakan yang justru dapat merugikan masyarakat. Semestinya dari insfratruktur, masyarakatlah yang wajib diuntungkan, bermanfaat bagi mereka. Maka yang berikutnya wajib diperhatikan apakah pembangunan ini mendesak? Dapat menguntungkan masyarakat? Jika iya, tapi mengapa pembangunannya justru lamban, berasal dari mekanisme investasi (utang ribawi) dan memaksa lahan yang beresiko?
Maka kembalilah pada Islam yang komprehensif dalam memberikan solusi atas setiap detil permasalahan umat, termasuk dalam memandang permasalahan infrastruktur.
Segala sesuatunya senantiasa ditimbang sesuai dengan syariah berdasar ketentuan wahyu Allah Zat Yang Maha Mengetahui hakikat kebaikan dan keburukan bagi makhluk-Nya. Sehingga dari pembangunannya mustahil menghasilkan dharar bagi umat. Semua itu, hanya bisa diwujudkan dengan sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab
Post a Comment