Oleh : Deslina Zahra Nauli, S.Pi*
*Pemerhati Sosial, Anggota Akademi Menulis Kreatif (AMK)
Manusia hidup senantiasa bersinergi dengan alam. Perubahan kondisi alam akan berpengaruh kepada iklim. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus-September 2019 (kompas.com, 3 juli 2019). Puncak musim kemarau ini pun mulai dirasakan masyarakat bahkan beberapa wilayah mengalami kekeringan ekstrim.
Jawa Barat termasuk ke dalam salah satu wilayah yang mengalami kekeringan ekstrim. BMKG Bandung menyatakan ada sejumlah wilayah yang berpotensi mengalami kekeringan ekstrem dengan status awas bila tidak terjadi hujan dalam kurun waktu 60 hari. Wilayah tersebut di antaranya hampir seluruh Kecamatan di Indramayu, Majalengka, Subang, Cirebon, Purwakarta, Karawang, dan Subang. Sementara itu, untuk Sukabumi, potensi kekeringan status awas terjadi di Surade, Sumber Jaya, Jampangkulon, Ciracap, Pelabuhan Ratu, Ciemas, Jampang Tengah, Cikakak, dan Cisolok. Untuk kawasan Cianjur di wilayah Cidaun, Tanggeung, Cibinong, Sindang Barang, Sukanegara, dan Takokak (www.jpnn.com, 22 Agustus 2019).
Selanjutnya dampak kekeringan pun mulai dirasakan masyarakat. Sebanyak 17 desa dari 11 kecamatan di Kabupaten Cirebon mengalami kekeringan, bencana tersebut pun mengakibatkan ribuan kepala keluarga (KK) kesulitan mendapat air bersih, terutama untuk kebutuhan sehari-hari. Jika terus dibiarkan maka kekeringan ini akan pun akan menjadi ancaman di masa depan. Menurut perkiraan pada tahun 2025, sekitar 2,7 milyar orang atau sekitar sepertiga populasi dunia akan menghadapi kekurangan air dalam tingkat yang parah. Khusus pulau Jawa, diperkirakan akan mengalami defisit air sepanjang tahun (12 bulan) di tahun 2025. Lalu, di tahun 2050 diperkirakan 2/3 penduduk bumi akan mengalami kekurangan air. Selain itu, kekeringan akan meningkatkan kemungkinan peningkatan penyebaran hepatitis A, tifus, malaria hingga demam berdarah. Bahkan jangka panjang akan berdampak peningkatan stunting bagi anak-anak (www.tribunnews.com, 3 September 2019)
Lalu, apa yang menjadi penyebab kekeringan ini?. Kekeringan terjadi akibat anomali perubahan iklim yang berasal dari ulah manusia sendiri. Anomali perubahan iklim yang terjadi menyebabkan berkurangnya jumlah air tanah. Hal ini memicu kekeringan di negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia yang merupakan dampak dari El Nino. Selain itu, krisis air yang terjadi juga disinyalir sebagai akibat intervensi manusia yang buruk terhadap alam. Salah satunya peralihan fungsi hutan yang secara permanen menurunkan kemampuan tanah untuk menyerap air (www.lipi.go.id, 15 Agustus 2015).
Tahun 2000 luas tutupan hutan di Jawa diperkirakan sekitar 2,2 juta hektar. Namun menurut Forest Watch Indonesia (FWI, 2009), luas tutupannya hanya menyisakan 800 ribu hektar. Dalam rentang waktu sembilan tahun [2000‐2009] tutupan hutan di Jawa telah berkurang sekitar 60 persen. Berkurangnya luas kawasan hutan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Mengingat, kepadatan penduduk Indonesia sebesar 60 persen berada di Pulau Jawa. Posisi hutan kian terdesak ditengah laju pengembangan sejumlah mega proyek insfraktruktur sebagi dampak pengembangan Koridor Ekonomi Jawa dalam Kerangka Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 (www.mongabay.co.id, 26 maret 2019). Bukti pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
Selain penurunan luas hutan produksi, permasalahan berikutnya adalah kebijakan keliru penguasa yang memberikan izin mengelola hutan kepada swasta. Hingga 2017, hutan berizin dikelola swasta (korporasi) mencapai 40,4 juta hektare( 95,76 persen) dan yang dikelola masyarakat hanya 1,7 juta hektare (4,14 persen), terjadi ketimpangan pemberian lahan dan akses (beritagar.id, 4 April 2018).
Jelaslah sumber utama kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah ideologi kapitalisme. Karakter kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu (private property) sebagai premis ekonomi dalam Kapitalisme (Heilbroner, 1991). Wajarlah jika dalam pengelolaan hutan, hutan dipandang sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH yang diberikan oleh penguasa. Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang utilitarian (mementingkan kemanfaatan) telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas (Heilbroner, 1991).
Berbeda dengan Islam yang memandang hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara (Zallum, 1983). Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi SAW : "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api." (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1140). Selanjutnya dalam hal pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain (misalnya swasta atau asing). Dalam hal ini hutan sebagai kepemilikan umum tidak mudah dilakukan secara langsung oleh orang per orang, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar maka pengelolaan dilakukan oleh negara sebagaimana sabda Rasulullah SAW : "Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)." (HR. Muslim).
Dengan pengelolaan hutan sesuai syariah aspek kelestarian lingkungan akan terjaga. Hal ini akan turut menjaga keseimbangan iklim. Jika iklim terjaga maka bencana kekeringan ekstrim akan dapat diminimalisir.
Post a Comment