Oleh: Kunthi Mandasari
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Asap tebal menghalau pandangan mata. Menjadi pemandangan biasa di wilayah provinsi Riau beberapa hari terakhir. Akibatnya, jarak pandang di Ibu Kota Riau, Pekanbaru, hanya mencapai 300 meter. Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang makin pekat, mulai berdampak buruk pada aktivitas di Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II di Kota Pekanbaru, Riau. Sejumlah penerbangan mengalami delay hingga waktu yang belum ditentukan. (beritagar.id, 13/9/2019).
Masih dari sumber yang sama, asap sisa karhutla juga membuat kualitas udara di sebagian besar daerah di Provinsi Riau turun drastis ke kategori berbahaya. Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sumatra mencatat penghitungan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) di Riau rata-rata menunjukkan angka 300 dan masuk kategori berbahaya.
Korban pun telah berjatuhan. Mulai dari bayi yang baru lahir yang tak mampu menghirup udara segar. Hingga akhirnya meninggal. Kemudian anak-anak dan orang dewasa banyak yang terkena ISPA. Mereka harus betah tinggal di rumah jika ingin bertahan hidup lebih lama. Selain itu, akibat udara tak sehat menyebabkan sejumlah sekolah dan universitas diliburkan. Belum lagi korban yang ikut terbakar karena lahannya terkena imbas kebakaran.
Dampak kebakaran hutan bukan hanya merugikan manusia. Para satwa dan tumbuhan juga ikut merasakan. Karena hutan merupakan habitat mereka. Dan kini hanya tersisa abu saja. Jika hutan mengalami kebakaran, merekalah yang pertama kali menjadi korban. Jika habitat mereka dimusnahkan dengan cara keji, kemana mereka harus pergi?
Seharusnya kita lebih bijak. Bukan hanya memandang segala sesuatu hanya pada yang terlihat, tetapi juga memperhitungkan dampak jangka panjangnya. Kerusakan akibat karhutla ini sangat mengerikan. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia merupakan paru-paru dunia. Keberadaan hutan di Indonesia memiliki peranan yang penting untuk menjaga kestabilan ekosistem serta iklim. Dengan adanya illegal logging serta karhutla akan berpengaruh pada banyak aspek. Seperti iklim, cuaca, ketersediaan air, dan juga pemanasan global. Mungkin, saat ini masih belum terasa. Namun, lima sampai sepuluh tahun lagi dampaknya akan terlihat nyata. Bukan hanya di Sumatera atau Kalimantan saja, tetapi merata ke berbagai wilayah lainnya.
Saat ini yang dibutuhkan korban adalah penanganan yang cepat dan cermat. Bukan dibiarkan menunggu asap reda. Upaya menanggulangi karhutla pun masih belum maksimal. Karena beberapa bantuan yang datang justru ditolak. Padahal dengan adanya bantuan akan mempercepat penanganan asap. Sehingga harapan warga bisa segera terealisasi yaitu bisa menghirup udara segar kembali.
Sungguh mengenaskan, masyarakat yang tak berdaya dan berdosa harus menanggung sengsara akibat ketamakan korporasi. Padahal secuil pun mereka tak ikut serta menikmati. Lebih disayangkan lagi, ketika ketamakan korporasi justru difasilitasi. Melalui Permen LHK Nomor 10 Tahun 2019, yang intinya menghentikan memomarotium izin gambut. Serta memperbolehkan perusahaan menggarap lahan gambut kembali untuk dibangun perkebunan sawit. Namun, cara yang ditempuh oleh korporasi untuk mengelola lahan bukan dengan jalan yang makruf. Tetapi melalui jalan yang menyengsarakan hidup orang banyak yaitu melalui pembakaran hutan dan lahan.
Penerapan sistem sekuler kapitalis memang menjadi biang persoalan. Menjadikan keuntungan sebagai prioritas utama tanpa melihat efek buruk yang ditimbulkan. Berpikir jangka pendek tanpa menghiraukan masa depan. Lebih disayangkan ketika keberadaan korporasi justru dilindungi. Dengan menyembunyikan identitas perusahaan yang terlibat didalam karhutla. Padahal, saat ini kepolisi telah menetapkan 249 tersangka kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimantan. Diantaranya ada enam korporasi yang turut dijerat sebagai tersangka. (news.detik.com, 20/09/2019).
Meskipun demikian, adanya penetapan status tersangka dan penangkapan bukanlah solusi hakiki. Sebab hal tersebut bukan jaminan kasus serupa tidak akan terulang lagi. Terlebih ketika hukuman yang dijatuhkan tak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Apalagi jika ada oknum penegak hukum yang bersedia diajak bekerjasama. Tuntutan hukuman bisa berkurang atau malah sama sekali tidak menyentuh otak di balik karhutla. Jangankan jera, yang ada akan mengulangi kejahatan yang sama.
Penerapan sistem sekuler kapitalis telah terbukti gagal memberikan perlindungan. Sebab, tabiat sistem buatan manusia memang tidak akan pernah mampu memuaskan akal serta menentramkan jiwa. Yang justru berujung pada kesengsaraan umat manusia. Oleh karena itu, sistem ini tak layak untuk dipertahakan dan sepantasnya dicampakkan. Diganti dengan sistem yang memuaskan akal, menentramkan jiwa, dan sesuai fitrah. Yakni sistem Islam yang berasal dari Yang Maha menciptakan semesta alam. Wallahu'alam bishowab.
Post a Comment