Oleh: Ummu Ainyssa
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Lagi-lagi rakyat dibuat sedih dan menangis dengan rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Alih-alih mendapat layanan kesehatan gratis, rakyat justru malah semakin dicekik dengan alasan defisit. Pasalnya iuran BPJS akan dinaikkan hingga dua kali lipat yang rencananya akan mulai diberlakukan pada Januari 2020 mendatang.
Seperti dilansir oleh Liputan6.com, (9/9/2019) untuk mandiri kelas 1 dan kelas 2 akan dinaikkan hingga 100 persen. Iuran untuk kelas 1 yang semula sebesar 80 ribu per peserta akan naik menjadi 160 ribu. Kelas 2 dari semula 59 ribu akan naik menjadi 110 ribu. Sementara untuk mandiri kelas 3 akan naik 65 persen dari semula 25,5 ribu menjadi 42 ribu.
Hal itu seperti yang telah ditegaskan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada Senin, 9/09/2019
"Itu (kenaikan 100 persen) hanya berlaku untuk kelas 1 dan kelas 2. Untuk kelas 3 tidak sebesar itu, usulan kenaikannya adalah dari Rp 25,5 ribu menjadi 42 ribu, atau naik 65 persen," kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (Kepala Biro KLI) Kemenkeu Nufransa Wira Sakti dalam laman setkab.
Soal kenaikan iuran BPJS tersebut, warganet di Twitter pun berteriak. Bahkan tanda tagar #BPJSRasaRentenir sempat menjadi trending topik. Mereka mayoritas meluapkan ketidaksetujuannya atas kenaikan iuran BPJS ini. Slogan "Dari Gotong Royong Semua Tertolong" kini dianggap sudah menjadi "Dari Gotong Royong Semua Tertodong" seperti yang ditulis oleh salah satu pengguna Twitter. Bukan hanya naik iurannya saja, tetapi pemerintah juga akan memberikan sanksi bagi siapa saja yang menunggak membayar iuran tersebut. Serta akan menagihnya secara door to door.
Seperti yang disampaikan oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris, pihaknya akan menagih iuran BPJS Kesehatan secara "door to door" bagi peserta yang tidak taat, sebelumnya ditagih secara self collecting misal seperti peringatan melalui SMS, pesan aplikasi Whatsapp dan email. (Tribunnews.com, 2/9/2019).
Rencana kenaikan iuran ini juga menuai kritik dari berbagai kalangan.
Salah satunya datang dari Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal yang mengemukakan dampak kenaikan iuran BPJS kesehatan akan terasa kepada buruh dengan upah minimum per bulan di bawah Rp 2.000.000, misalnya di Sragen, Boyolali dan Yogyakarta. Demikian juga dengan wiraswasta kecil yang digolongkan sebagai peserta bukan penerima upah.
"Pemerintah jangan main-main, bukan segampang itu menaikkan iuran BPJS seolah-olah pendapatan masyarakat sudah rata padahal tidak. Bagi upah minimum Rp 2.000.000 ke bawah, berat," kata Said kepada CNBC Indonesia, Selasa (3/9/2019).
Penolakan tegas juga disampaikan oleh Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera. Ia mendesak agar pengelolaan BPJS kesehatan lebih mengedepankan kemaslahatan masyarakat, bukan membebani dengan menaikkan iuran dan memberikan sanksi pada penunggak iuran.
"Keputusan ini sangat memberatkan di tengah beban hidup rakyat yang semakin sulit. Keinginan memindahkan ibukota dengan biaya besar, di sisi lain malah menaikkan iuran BPJS Kesehatan, dapat mencederai hati nurani dan rasa keadilan rakyat," ujar Mardani, Minggu (1/9/2019).
Sesungguhnya jika kita tengok, maka semua masalah ini tidak lain buah dari diterapkannya sistem demokrasi kapitalisme.
Akses kesehatan untuk rakyat diprivatisasi menjadi budak materil dan akhirnya memihak pada segelintir kaum yang memiliki modal dan kuasa. Kesehatan menjadi komoditas yang diperjualbelikan. BPJS dijadikan alat baru untuk meraup harta rakyat, memalak rakyat dengan dalih jaminan kesejahteraan rakyat. Rakyat diharuskan mensejahterakan dirinya sendiri (dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat). Sementara negara yang seharusnya menjadi pengayom dan penyedia jaminan kesehatan untuk rakyat hanya bertindak sebagai regulator.
Berbeda halnya dalam sistem Islam. Di dalam Islam kesehatan adalah kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Negara wajib memelihara urusan-urusan rakyat, mengatasi berbagai permasalahan mereka, mengatur berbagai interaksi mereka, menjamin kebutuhan-kebutuhan mereka, serta mengarahkan mereka pada sesuatu yang menjadikan urusan mereka menjadi lebih baik. Termasuk di dalam bidang kesehatan.
Rasulullah Saw pernah dihadiahkan seorang dokter pribadi. Lalu beliau menetapkan dokter tersebut sebagai dokter bagi kaum Muslim. Kenyataan hadiah datang kepada Rasulullah Saw, namun beliau tidak mengambil dan tidak memanfaatkannya untuk dirinya sendiri, tetapi dijadikan sebagai dokter milik kaum Muslim. Hal itu merupakan dalil bahwa pengobatan (kesehatan) juga merupakan salah satu kemaslahatan kaum Muslim.
Sementara dana yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat ini adalah dari pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Diantaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum. Seperti hutan, berbagai macam hasil tambang, minyak dan gas yang kesemuanya itu merupakan harta milik umum yakni milik seluruh rakyat.
Maka dari itu sudah saatnya kita kembali mewujudkan kesejahteraan yang hakiki , bukan kesejahteraan semu yang penuh tipu-tipu. Yaitu dengan kembali kepada aturan yang berasal dari Dzat penguasa alam semesta ini sebagai satu-satunya aturan untuk mengatur semua aspek kehidupan yakni penerapan syariah Islam secara kaffah dalam lingkup negara khilafah 'ala minhaj nubuwwah. Rasulullah Saw bersabda "Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya" (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)
Wallahua'lam bi showwab.
Post a Comment