Oleh : Lulu Nugroho
Muslimah Penulis dari Cirebon
Aku belajar dan membaca agar umur orang lain berguna bagiku, dan aku menulis agar orang lain mengambil manfaat atas umurku.
(Felix Siauw)
**
Membaca sudah menjadi keseharian dalam hidup kita. Hampir sebagian besar aktivitas yang kita lakukan, beriringan dengan membaca. Beragam info akan masuk melalui bacaan, baik atau buruk, benar atau salah. Dengan ini maka akan mempengaruhi kita dalam menimbang dan memutuskan sesuatu. Hingga pada akhirnya menentukan seseorang mulia atau tidak di hadapan Allah Swt.
Akan tetapi ternyata tidak semua orang bisa membaca. Kasus buta aksara masih tinggi di Indonesia. Pada 2019, masih ada enam provinsi yang masuk kategori zona merah buta aksara. Wilayah tersebut adalah Papua, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Barat.
Daerah pedalaman masih belum tersentuh riayah pengurusan umat. Pemerataan pembangunan belum dirasakan hingga masyarakat terpencil. Akibatnya banyak dijumpai kasus buta aksara. Padahal kemudahan memperoleh akses pendidikan dan kebutuhan pokok lainnya, sejatinya menjadi hak setiap warga tanpa kecuali.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Harris Iskandar, mengatakan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, angka buta aksara di Indonesia tersisa 1,93 persen.
"Angka ini setara dengan 3.290.490 orang yang masih buta aksara," ujar Harris dalam acara peringatan Hari Aksara Internasional tingkat Nasional 2019 di Lapangan Karebosi, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (7/9) yang mengambil tema 'Ragam Budaya Lokal dan Literasi Masyarakat'.
Berdasarkan survei Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD), tingkat literasi Indonesia menempati ranking ke-62 dari 70 negara. Namun, berdasarkan hasil survei World Culture Index Score 2018, kegemaran membaca masyarakat Indonesia meningkat signifikan. Indonesia di urutan ke-17 dari 30 negara. (Pikiranrakyat, 3/9/2019)
Bukan hanya buta aksara, rupanya minat baca pun masih rendah. Sementara bacaan adalah salah satu sumber ilmu. Jika masyarakat di negeri ini enggan membaca, berarti mereka pun enggan menuntut ilmu. Lalu bagaimana dengan kualitas pendidikan anak bangsa. Sebab sejatinya melalui ilmu, terukur kemajuan sebuah peradaban.
Sayangnya umat tidak kembali ke masa dahulu. Ahlu Suffah di Madinah adalah sebuah miniatur masyarakat Islam yang cinta ilmu. Di sana tidak hanya mengkaji Islam, tapi juga menulis dan menghafal ribuan hadits. Muncul nama-nama bersejarah yang tak lekang oleh waktu seperti, Abu Hurairah, Abu Dzar Al-Ghifari, Salman Al-Farisi, ‘Abdullah ibn Umar, ‘Abdullah ibn Mas’ud dan lainnya ridwanullah ta’ala anhum ajmain.
Tonggak peradaban ditancapkan Rasulullah dengan ilmu, mematangkan akal, memudahkan manusia membaca ayat-ayat Allah di muka bumi. Ikrimah berkata, “Tawanan Perang Badar mencapai empat ribu orang. Setiap tawanan dapat menebus dirinya dengan mengajarkan menulis karena kemampuan menulis ini sangat penting dan sangat bermanfaat,
Bahkan Imam al-Badr bin Jama’ah pernah bertanya tentang cara tidur Imam Nawawi. Imam Nawawi menjawab, “Apabila rasa kantuk datang, saya jatuhkan kepala sebentar di meja tempat kitab yang sedang saya pelajari, kemudian saya bangun lagi.” Maka beliaupun langsung membaca seketika matanya terbuka.
Ibnu Jauzi pernah berkata, “Seumpama saya berkata bahwa saya telah membaca 20.000 jilid kitab, hal ini benar adanya. Bahkan, jumlah kitab yang saya baca lebih banyak dari itu karena sekarang ini saya masih dalam proses menuntut ilmu." Luar biasa, sungguh prestasi yang tak tertandingi
Membaca adalah kebiasaan ulama terdahulu. Maka mengembalikan umat Islam pada peradaban gemilang yang pernah terjadi di masa lalu, tidak lain dengan memberikan kemudahan akses menuntut ilmu.
Ilmu Islam yang menjadi sandaran hidup umat, dipelajari sebagai sebuah kewajiban, bahkan diberi penghargaan yang tinggi untuk tulisan. Dengan cara memberi hadiah berupa emas seberat kitab yang ditulis tersebut. Inilah sebaik-baik pemerintahan yang membuat suasana belajar terbangun di negeri tersebut.
Oleh sebab itu, menjadi hal yang mudah menyelesaikan masalah buta aksara yaitu dengan mayoritas muslim ini. Kembalikan saja umat kepada bi'ahnya (kebiasaan) terdahulu, yaitu sebagai umat yang cinta ilmu. Bangsa yang tinggi adalah bangsa yang menghargai ilmu. Dan hal tersebut hanya bisa terwujud melalui penerapan Islam. Wallahu 'alam.
Post a Comment