Antara Hikma Sanggala dan Abdul Aziz

Oleh: Lela Albidari, S.Pd

Kembali dunia pendidikan kita menampakkan wajah buruknya. Dua kasus yang menjadi viral dan menghebohkan justru datang dari dua kampus beraroma Islam. Sebut saja Hikma Sanggala, mahasiswa berprestasi asal IAIN Kendari yang diberhentikan secara tidak hormat oleh pihak kampus. Berdasarkan surat keputusan Rektor IAIN Kendari Nomor 0653 Tahun 2019 Tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Sebagai Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Kendari, Hikma dikeluarkan sepihak oleh Kampus yang bersangkutan. Meski telah dilakukan dengar pendapat yang difasilitasi oleh komisi IV DPRD setempat untuk mengkonfirmasi dan mempertemukan kedua belah pihak, namun pihak IAIN Kendari bersikukuh dengan keputusan finalnya.

Di sisi yang lain, seorang calon doktor UIN Sunan Kalijaga, Jogyakarta berhasil lulus  dengan disertasi yang menghebohkan jagat dunia pendidikan. Ya, Abdul Aziz mendadak tenar, bukan karena prestasinya melainkan karena kenyelenehannya. Ia mengangkat ide gila dari pemikiran seorang ahli tafsir hermeuneutika Syahrur, seolah teknorat asal Suriah tentang kebolehan hubungan seks non-marital (baca: seks bebas) sebagai solusi kriminalisasi terhadap pilihan seksual seseorang. Hal yang membuat semakin geram adalah pihak promotor dan dosen penguji telah mengkalkulasikan nilai disertasinya dengan nilai cumclaude sebagai apresiasi dari usaha kerasnya merampungkan semua metodologi penelitian dan kinerja akademiknya. 

Sungguh menyedihkan dan menyesakkan dada kedua kasus ini terjadi di negeri kita tercinta, bahkan keduanya terjadi di Kampus “Islam”. Hikma, seorang mahasiswa dengan setumpuk prestasinya, berusaha terlibat dalam menyelesaikan permasalahan negeri ini, ikut peduli dengan keterpurukan negeri ini di tengah kehidupan kaum muda yang hedonis, individualis dan apatis. Di tengah mahasiswa yang hanya sibuk dengan dunia akademiknya, Ia muncul sebagai pemuda akhir zaman yang telah menyandang predikat membanggakan sebagai agent of change. Tuduhan terlibat dalam organisasi sesat dan radikal yang memperjuangkan Khilafahpun menjadi alasan kuat pendepakan Hikma dari kampus yang notabene adalah kampus yang bernafaskan Islam, yang kesehariannya bergelut dengan kajian syariah. Sementara itu, Syariah dan khilafah adalah dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Lantas mengapa khilafah dikriminalisasi dan mahasiswa yang aktif memperjuangkannya sebagai pencoreng nama baik lembaga serta diangggap melanggar kode etik sebagai mahasiswa? Bukankah itu bukti keberhasilan kampus Islam dalam mencetak generasi yang peduli dengan agama dan bangsanya, bukankah ini seharusnya menjadi sebuah kebanggaan?

Kaum muslimin dibuat geram ketika perlakuan sangat jauh berbeda disematkan kepada doktor nyeleneh yang berusaha menjadi pahlawan kesiangan menyelamatkan para ahli maksiat dari jeratan hukum dengan mengubah hukum yang sudah Allah tetapkan. Abdul Aziz sang doktor berdalih ingin mengakhiri mimpi buruk para pelaku maksiat atasnama HAM. Mencoba mencari celah dengan mengotak ngatik hukum Islam tanpa melihat metode istinbath hukumnya, termasuk kontekstual dan tekstualnya. Mengangkat hasil penelitian Syahrur, seorang teknokrat penggila Marxisme yang tidak pernah mengenyam pendidikan syariah. Bagaimana bisa seorang akademisi yang biasa bergelut dengan ilmu-ilmu syariah berkiblat kepada sosok liberal dan sekuler seperti itu?

Lagi-lagi disertasi ini lahir dari kampus Islam yang seharusnya menjadi teladan dan menjadi rujukan dalam menyikapi masalah-masalah keislaman. Asas pendidikan yang sekuler telah melahirkan para intelektual yang ngelantur tanpa batas, mengangkat masalah yang sangat sensitif bagi kaum muslimin. Jika hanya sekedar untuk menguji pemikiran saja tanpa rekomendasi untuk diaplikasikan mungkin reaksinya tidak seheboh sekarang. Namun, seolah ini menjadi jalan bagi para penggiat liberalisme untuk menemukan jalan pelegalan. Bahkan bukan tidak mungkin, suatu saat Pemerintah akan melirik hasil penelitian ini untuk diangkat menjadi undang-undang. Dimana setiap pelaku zina yang dilakukan suka sama suka tidak akan lagi terjerat hukum apapun.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Tidak terbayang apa yang dia ajarkan kepada mahasiswa tidak jauh dari sekulerisme dan liberalisme. Sekulerisme dan Liberalisme yang mewabah di kampus-kampus Islam akan terus menjadi hantu yang menggerayangi setiap perilaku para pengusungnya. Ia mengendalikan cara berfikir, bersikap, dan memutuskan. Mungkin suatu ketika sebuah kesalahan akan menjadi benar karena terus diajarkan. Ia akan menumpulkan setiap akal dan fitrah manusia, memperbudak manusia untuk menghamba dunia dan kesenangan sesaat. 

Apa kabar generasi muda kita kedepan? Jika seorang Hikma Sanggala menjadi saksi dan simbol serta korban atas kegagalan sistem pendidikan kita. Bagaimana mungkin akan terlahir generasi kritis berkualitas jika otoriter menjadi solusi untuk membungkam kebenaran? Sistem pendidikan yang seharusnya memberikan dukungan penuh kepada setiap prestasi siswanya ( sistem yang seharusnya mampu menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya, memahami hakikat penciptaan dia di dunia, menjadikan akhirat sebagai tujuannya, peduli atas keterpurukan negeri ini, punya semangat untuk melakukan perubahan) justru menjadi pembunuh para tunasnya. Potensi ini ibarat tauge yang baru menggeliat mengeluarkan tunas, kemudian diinjak dan diremas atasnama sekulerisme dan Liberalisasi. Kampus Islam menjadi anti Islam, pemikiran yang jauh dari Islam disambut dan dipuja. Sungguh aneh sekali.

Walhasil, sudah selayaknya sistem pendidikan kita berbenah diri. Merapikan apa yang salah dan harus siap dikoreksi. Pemecatan Hikma, dan predikat cumlaude doktor seks non-marital tidak akan lahir dari sebuah sistem yang baik. Pasti ada yang salah, sehingga perlu diperbaiki. Asas pendidikan sekuler itulah biangkerok yang mengijinkan kebebasan atasnama HAM berkembang biak, yang sebenarnya menyesatkan dibela, yang ingin menyelamatkan negeri malah didepak. Islam adalah solusi dalam sistem pendidikan kita. Dimana, Islam dapat mengintegrasikan kreatifitas dengan keimanan sehingga kreatifitas tidak keluar dari batas-batas keimanan. Sistem yang akan memberikan dukungan penuh kepada siswanya untuk berkepribadian Islam, menggilai sains dan teknologi, dan cinta perubahan. Wallahu A’lam Bishshowwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post