Oleh: Fitria Miftasani, M.Si
Berlebihan. Mungkin itulah kata yang paling tepat menyikapi perintah beberapa menteri terkait dengan menghangatnya ghirah ke-Islaman di Indonesia. Banyak kementrian yang terlihat mengurusi banyak hal remeh dan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) misalnya yang akan mendata nomor telepon dan media sosial dosen, pegawai, dan mahasiswa pada awal tahun kalender akademik 2019/2020.
Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga perguruan tinggi dari radikalisme dan intoleransi. Menristek berdalih jika ada masalah kepada dosen atau mahasiswa terkait dengan radikalisme, maka pemerintah akan dengan mudah melacak afiliasinya lewat status di media sosialnya.
Berikutnya masalah pengibaran bendera tauhid yang membuat kementrian agama kebakaran jenggot. Menteri agama bahkan melakukan investigasi atas murid-murid Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Sukabumi yang mengibarkan bendera tauhid. Padahal banyak pihak sudah mengkonfirmasi bahwa bendera tauhid bukan dimiliki oleh organisasi yang dipaksakan untuk bubar yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ketua bidang tarbiyah Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis), Irfan Saprudin misalnya berpendapat bahwa Kemenag berlebihan dalam menyikapi kejadian pengibaran bendera tauhid tersebut, seperti berhadapan dengan organisasi terlarang dan sangat mengancam.
Terlebih kejadiannya berlangsung di lingkungan institusi pendidikan yang seharusnya pendekatan dilakukan dengan menyasar sisi sosiologis dan psikologis mereka. Tak mau ketinggalan, tokoh utama dibalik pembubaran HTI, Menko Polhukam Wiranto kembali bersuara untuk menjerat eks aktivis HTI dengan hukum apabila masih menyebarkan paham anti-Pancasila dan anti-NKRI. Bahkan dengan jelas Wiranto menegaskan bahwa eks anggota HTI tidak boleh menyebarkan paham khilafah yang jelas-jelas merupakan ajaran Islam.
Kemenristek seharusnya lebih concern terhadap masalah lain yang lebih ‘darurat’ untuk diselesaikan. Untuk menyelesaikan masalah ketertinggalan pendidikan Indonesia di dunia saja kemenristek mengeluarkan wacana kontroversial untuk merekrut rektor asing. Kebijakan yang menuntut hasil instan serta menafikan sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang masih carut marut. Belum lagi masalah yang jelas mengancam seperti penyebaran LGBT di kalangan mahasiswa yang seperti tidak niat untuk diselesaikan, bahkan justru dirangkul. Padahal penyebaran LGBT lebih terlihat kerusakannya yang menghancurkan generasi muda serta mengancam eksistensi manusia di muka bumi. Kemenag juga seharusnya lebih fokus menyelesaikan masalah dana haji yang dipinjam untuk proyek infrastruktur serta masalah suap di tubuh kemenag sendiri.
Tudingan berbagai pihak terkait dengan bahaya Islam radikal dan intoleran perlu dikaji secara jernih, terutama standar radikal dan intoleran yang digunakan sebagai standar. Jika radikal yang dimaksud adalah penerapan Islam secara kaffah maka mereka telah mencederai prinsip kebebasan beragama pada demokrasi itu sendiri. Kita tidak boleh bersikap lemah dan reaktif karena sikap seperti ini akan mengantarkan kita pada upaya apologetik dalam menyesuaikan Islam pada nilai-nilai sekular yang berbahaya.
Kita tidak boleh terjebak oleh permainan politik belah bambu yang menggunakan ormas Islam lain untuk menghadang dakwah di tengah masyarakat. Karena yang mereka inginkan adalah perpecahan dan perseteruan di antara sesama umat Islam. Dengan begitu diharapkan umat Islam akan disibukkan dengan urusan internal mereka dan menjadi lemah serta terpalingkan dari agenda yang menyelamatkan dan mengokohkan mereka yaitu tegaknya Islam.
Maka sudah seharusnya bagi kita untuk tetap istiqamah dalam perjuangan menegakkan Islam secara kaffah. Istiqamah pula mengikuti tahriqah atau metode dakwah yang dicontohkan Rasulullah saw. Dengan begitu kita bisa berharap mendapatkan pertolongan Allah SWT. Aamiin.