Oleh: Etti Budiyanti
Member Akademi Menulis Kreatif dan Komunitas Rindu Jannah
Kaum muslimin di seluruh dunia baru saja merayakan hari raya Idul Adha atau hari raya Qurban. Kata qurban dalam bahasa Arab berasal dari kata qaruba (qaf, ra’, dan ba’) yang berarti dekat. Penambahan an pada akhir kata memberi makna lebih dekat, sangat dekat. Di sinilah indahnya, pemilihan kata qurban untuk hewan yang kita sembelih, supaya mempunyai makna sembelihan yang diniatkan untuk kedekatan kita kepada Allah Swt. Maka tidak berlebihan, kalau hari raya Idul Adha kita sebut sebagai perayaan kedekatan kita kepada Allah Swt. Bukan sekedar ceremonial saja.
Pertanyaan yang perlu selalu kita renungi kemudian adalah apakah kita termasuk orang yang merayakan kedekatan kita dengan Allah? Allah berfirman:
"Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa." (TQS. al-Maidah: 27)
Ibnu Jarir dalam tafsir Ibn Katsir menjelaskan bahwa Habil mengorbankan kambing yang terbaik yang dia punya, sedangkan Qabil mengorbankan hasil tanamannya yang jelek yang dia sendiri tidak menyukai.
Dari kisah ini, hari raya Qurban mengajarkan kita bahwa hanya qurban yang terbaik yang diterima oleh Allah Swt. Allah Swt menegaskan:
"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai, dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." (TQS. Ali Imran: 92)
Memberikan yang baik dan memperbaiki apa yang diberikan dalam bahasa Arab disebut dengan ahsana – yuhsinu, perbuatannya disebut dengan ihsan, sedangkan orang yang melakukannya disebut dengan muhsin, jika banyak menjadi muhsinun.
Perbuatan ihsan ini tidak mungkin dilakukan kecuali kita dekat dengan Allah Swt dan kedekatan ini menjadikan kita selalu merasa melihat Allah Swt atau dilihat Allah Swt. Maka Rasulullah ketika ditanya oleh malaikat Jibril apa itu ihsan? Rasulullah saw menjawab, “Kamu menyembah Allah seakan kamu melihatnya, dan jika kamu belum melihatnya, maka kamu merasa selalu dilihat oleh Allah."
Oleh karena itu, kata qurban yang berarti kedekatan dan ihsan yang berarti sebuah perbuatan yang selalu terbaik, menjadi dua kata yang saling terikat. Hal ini karena hanya orang yang dekat dengan Allah Swt yang akan memberi yang terbaik, dan orang yang dekat dengan Allah Swt akan selalu merasa melihat dan dilihat oleh Allah Swt. Maka bagi mereka, bagaimana mungkin seorang hamba berani memberi yang jelek padahal dia dekat atau merasa dekat dengan Allah. Bagi mereka tidak masuk akal sehat, seseorang yang tidak malu memberi yang jelek padahal Allah yang Maha Melihat baik yang nampak maupun yang ada dihatinya.
Keimanan pada tingkat ihsan ini akan mengantarkan kita kepada kepasrahan total kepada Allah Swt. Keadaan ini dicontohkan dengan kisah Nabi Ibrahim a.s dan keluarga yang kemudian menjadi syariat haji dan qurban bagi kita umat Muhammad Saw saat ini. Kisah keimanan dan kepasrahan total kepada Allah dimulai ketika Nabi Ibrahim bersama sayyidah Hajar diperintahkan pergi ke Mekkah sebuah tempat yang gersang tidak ada apapun. Tatkalah Ismail a.s menangis kehausan, sayyidah Hajar berlari kecil dari bukit Shafa dan Marwah sebagai bentuk ikhtiar terbaik yang mungkin dilakukan. Peristiwa ini kemudian diabadikan dalam bentuk ritual ibadah sa’i dalam haji. Puncaknya adalah tatkala Nabi Ibrahim diuji untuk menyembelih putra yang paling disayanginya, syetan pun mengganggu Nabi Ibrahim a.s, Nabi Ibrahim kemudian melempar dengan batu, pelemparan ini kemudian kita kenal dengan lempar jumrah, akhirnya ujian keimanan dan kepasrahan ini diganti dengan seekor kambing besar oleh Allah Swt, dan ibadah ini sekarang kita rayakan dengan sebutan hari raya idul adha atau hari raya qurban.
Dari kisah ini, perayaan qurban merupakan ketaatan mutlak pada syariat sebagai konsekuensi keimanan bagi orang-orang yang percaya sepenuhnya kepada Allah Swt sehingga dia pasrah total dengan mengorbankan yang terbaik yang Allah berikan kepadanya.
Spirit Idul Adha yaitu ketaatan mutlak dan pengorbanan demi mendekatkan diri pada Allah Swt ini menjadi dasar perjuangan para pendahulu kita, para ulama yang berkorban memperjuangkan kemerdekaan. Dengan spirit ini, para ulama Nusantara seakan ingin menyampaikan pesan kepada kita semua, bahwa segala sesuatu yang kita berikan baik pikiran, tenaga, waktu, perasaan, dan harta termasuk dalam kategori pengorbanan, jika ditujukan untuk mendekat kepada Allah Swt.
Spirit Idul Adha bila kita gunakan mengisi kemerdekaan, tentu akan mengantarkan kita kepada kemerdekaan hakiki. Merdeka itu artinya kita bebas dari penjajahan. Bebas dari diperhamba oleh sesama manusia. Karena kita hakikatnya hanya hamba Allah, bukan hamba manusia, harta, wanita dan dunia.
Ketika kita hanya menjadi hamba Allah, maka kita pun hanya mentaati titah-Nya. Perintah dan larangan-Nya pun kita tegakkan dengan sempurna. Semua itu termaktub di dalam syariat-Nya. Karena itu, kita pun terikat dan taat menjalankannya. Ketaatan dan keterikatan kita kepada syariat-Nya itulah yang menjadikan merdeka.
Karena itu artinya tidak ada siapapun yang bisa mendikte kita, menguasai kita, bahkan menindas dan menjajah kita. Merampas kekayaan alam kita, menguasai tanah-tanah kita, dan memiskinkan kita.
Dengan kata lain, ketika kita menjadi orang shalih, orang yang hanya taat dan terikat dengan syariat-Nya, maka kita pasti akan memimpin dunia, menguasai bumi ini. Saat itulah, kita akan menjadi Khalifah Allah di muka bumi.
Sebaliknya, jika kita menolak, menjauhi dan bahkan mengkriminalisasi syariat-Nya, maka jangan harap kita akan merdeka. Jangan harap kita akan menjadi penguasa di muka bumi dan menguasai dunia dan seisinya.
Itulah mengapa negara penjajah sangat takut kepada umat Islam yang taat pada syariat-Nya. Karena itu artinya penjajahan mereka akan sirna.
Spirit Idul Adha berupa ketaatan total hanya bisa terwujud dalam sistem Islam yaitu sistem khilafah ala minhajin nubuwwah. Satu kepemimpinan umat Islam yang mau menerapkan Alquran dan Assunah. Tanpa khilafah, ketaatan mutlak hanyalah wacana semata. Dalam sistem selain khilafah, umat tak bisa secara utuh menghamba kepada Allah Swt. Selalu ada kepentingan yang bermain di setiap kebijakan.
Wallahu a'lam bishshawab.