Pembangunan Infrastruktur Jangan Merugikan Rakyat

Penulis : Anita Korilina, 
Cileunyi Kabupaten Bandung
     
Gelombang protes terhadap mega proyek kereta cepat Jakarta-Bandung rupanya tak digubris pemerintah. Sekalipun mendapat perlawanan, proyek yang pembiayaannya bersumber dari China Development Bank (CDB) sebesar Rp 74,6 triliun, itu tetap dijalankan. 
     
Ketua Walhi Jawa Barat, Dadan Ramdan, menyatakan bahwa permasalahan yang muncul berkaitan dengan aspek hukum, terutama hukum tata ruang dan lingkungan serta kehutanan. Terutama melanggar tata ruang kabupaten dan kota yang dilaluinya dan pembuatan amdal yang super cepat dan terburu-buru. Mega proyek garapan PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC)  ini pun tidak tercantum dalam dokumen RPJMN tahun 2015-2019 dan tidak menggunakan APBN. Dadan menambahkan, di luar aset negara yang dipakai dan dilepaskan harus atas persetujuan DPR RI. 
     
“Di samping itu, pembuatan trase kereta cepat Jakarta-Bandung juga akan merampas dan menggusur sekurang-kurangnya 3.000 bangunan pemukiman, sedikitnya 150 bangunan usaha dan 2.550 ha lahan pertania,” jelas dia, Sabtu (18/2/17). “Hampir 900 KK kehilangan pekerjaan sebagai petani dan buruh tani dan sekitar 150 KK kehilangan usahanya,” 
      
Dengan berbagai pertimbangan hukum, dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dan kerugian rakyat yang akan ditimbulkan ke depan, Aliansi Masyarakat from Jabar menyatakan mega proyek kereta cepat Jakarta-Bandung terlalu dipaksakan, melanggar hukum, tidak akuntabel dan tidak urgen. Kereta cepat Jakarta- Bandung hanya akan menguntungkan para pengembang properti dan industri yang merampas tanah-tanah rakyat di Jawa Barat. “Aliansi masyarakat menentang dan menuntut pembatalan mega proyek kereta cepat Jakarta-Bandung,” (JawaPos.com).
     
Infrastruktur adalah hal penting dalam membangun dan meratakan ekonomi sebuah negara demi kesejahteraan bagi rakyatnya. Karena itu negara wajib membangun insfrastruktur yang baik, bagus dan merata ke pelosok negeri. Dasarnya adalah kaidah Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib (Suatu kewajiban yang tidak bisa terlaksana dengan baik karena sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib).
     
Kesejahteraan tidak akan muncul jika tidak terpenuhi sarana dan prasarana menuju kesejahtearaan itu. Salah satunya adalah infrastruktur untuk memperlancar distribusi dan pemenuhan kebutuhan rakyat. Karena itu adanya infrastruktur yang bagus dan merata ke seluruh pelosok negeri menjadi wajib hukumnya. Kewajiban ini harus diwujudkan oleh negara
     
Terdapat empat aturan umum terkait pembangunan infrastruktur publik dalam Islam. Pertama, pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara. Kedua, adanya kejelasan terkait kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat, juga kepastian jalannya politik ekonomi secara benar. Ketiga, rancangan tata kelola ruang dan wilayah dalam negara khilafah didesain sedemikian rupa sehingga mengurangi kebutuhan transportasi. Keempat yaitu masalah pendanaan pembangunan infrastruktur khilafah berasal dari dana Baitul Mal, tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat. Hal itu sangat memungkinkan karena  kekayaan milik umum dan kekayaan milik negara memang secara riil dikuasai dan dikelola oleh negara.
     
Terkait dengan poin keempat yaitu masalah pembiayaan. Indonesia yang saat ini tengah gencar-gencarnya melakukan pembangunan infrastruktur mengalami kendala dalam hal pendanaannya. Alokasi dana infrastruktur dalam APBN tidak bisa mencukupi keseluruhan dana pembangunan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, dalam paket kebijakan ekonominya, pemerintah berupaya menambah pendanaan infrastruktur melalui penarikan investor-investor asing.
     
Persoalan dana pembangunan proyek infrastruktur termasuk di dalamnya infrastruktur transportasi tidaklah akan menjadi masalah ketika sistem ekonomi yang digunakan oleh suatu negara adalah sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam meniscayakan sebuah negara mengelola seluruh kekayaan yang dimilikinya sehingga mampu membangun infrastuktur yang dibutuhkan untuk kemaslahatan publik. Dengan pengelolaan kekayaan umum (milkiyyah ‘ammah) dan kekayaan negara (milkiyyah daulah) yang benar berdasarkan Islam, menjadikan sebuah negara mampu membiayai penyelenggaraan negara tanpa harus berhutang, termasuk untuk membangun infrastruktur transportasinya.
     
Pada jaman Khalifah Umar,  beliau memastikan pembangunan infrastruktur harus berjalan dengan orientasi untuk kesejahteraan masyarakat dan untuk ‘izzah (kemuliaan) Islam. Jikalau negara harus bekerjasama dengan pihak ketiga, haruslah kerjasama yang menguntungkan bagi umat Islam. Bukan justru masuk dalam jebakan utang, yang menjadikan posisi negara lemah di mata negara lain/pihak ketiga.
     
Kondisi ini berbanding terbalik dengan sistem ekonomi yang kapitalistik seperti sekarang ini yang berujung dan bertumpu pada investor swasta sehingga tidak hanya sibuk memikirkan berapa besar investasi yang diperlukan, dari mana asalnya tapi juga harus berpikir keras bagaimana mengembalikan investasi bahkan menanggung kerugian dari proyek tersebut. Sistem ekonomi kapitalistik tidak berprinsip pengadaan infrastruktur negara adalah bagian dari pelaksanaan akan  kewajiban negara dalam melakukan pelayanan (ri’ayah) terhadap rakyatnya. Karenanya, sistem ekonomi kapitalistik ini bukan hanya sistem ekonomi yang salah, bahkan ini adalah sistem yang rusak.
     
Untuk merealisasikan pembangunan insfrastruktur yang bagus dan merata di seluruh negeri harus dibuat perencanaan keuangan dan pembangunan. Dengan itu pembangunan yang membutuhkan dana besar dapat dengan mudah dibangun tanpa melanggar syariah Islam sedikitpun (pinjam uang ribawi, misalnya), juga tanpa merendahkan martabat Islam dan kaum Muslim di mata pihak ketiga/asing. Dengan demikian jelaslah hanya sistem ekonomi dan politik Islamlah yang menjamin pembangunan infrastruktur negara bagi rakyatnya, dan sistem ekonomi dan politik Islam ini hanya dapat terlaksana secara paripurna dalam bingkai Khilafah Islam sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, para khulafaur rasyidin hingga khilafah 'utsmaniyyah. Wallahu a’lam bishshawab.         
Previous Post Next Post