Gempa Bumi Banten: Peringatan Taubat

Penulis : Annadia Kirana 
(Mahasiswi UIN Raden Fatah Palembang)

Indonesia lagi-lagi dilanda gempa dengan magnitudo yang cukup besar untuk dapat dirasakan di sebagian besar Pulau Jawa dan sebagian Sumatera bagian selatan. Gempa bumi yang melanda Indonesia pada tanggal 2 Agustus 2019, pukul 19.05 WIB di Samudera Hindia itu adalah gempa dengan magnitudo 7,4 skala richter. Tentu setelah itu disusul pula gempa-gempa lanjutan dengan magnitudo yang lebih kecil. “Lima korban meninggal dunia dampak gempa M 6,9,” kata Pelaksana Harian (Plh) Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Agus Wibowo, Sabtu (3/8/2019).

Gempa: Dalam Perspektif Islam
Ibnu Sina, seorang ilmuwan dan dokter Islam menjelaskan bahwa gempa dikaitkan dengan adanya tekanan besar pada rongga udara di dalam bumi. Tekanan ini bisa berupa air yang masuk dalam rongga bumi. Menurutnya untuk mencegah dampak bumi, manusia bisa membuat sumur didalam tanah menurun sehingga getarannya bisa berkurang. Akan tetapi setelah abad ke-10 dan ke-11, para ilmuwan Muslim mulai mengaitkan bahwa kejadian gempa bumi bukan hanya semata disebabkan oleh alam. Ini merupakan fenomena alam yang menekankan pada sisi religius. Namun ketika gempa bumi terjadi, ada beberapa analisa yang dikaitkan dalam mencari penyebab terjadinya yakni karena azab dari Allah akibat dosa yang dilakukan atau ujian dari Allah dan gejala  alam yang bisa terjadi.

Jika bencana dikaitkan dengan dosa manusia karena banyaknya kemaksiatan yang terjadi, perintah agama yang dilalaikan, dan orang-orang miskin yang dilantarkan, maka Allah berfirman dalam Q.S Al-Isra’: 17 yaitu;
“Jika kami berkehendak untuk menghancurkan negeri, kami memerintah orang-orang yang hidup mewah, namun mereka berdurhaka dalam negeri tersebut, maka sudah sepantasnya kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”(QS Al-Isra: 17)

Namun, apabila hal tersebut dikaitkan dengan gejala alam yang merujuk pada hukum alam yang sudah menjadi ketetapan Allah bahwa bumi ini mengandung segala hikmah dan manfaat termasuk pergerakan gunung ataupun lapisan dalam bumi, maka Allah berfirman dalam Q.S Al-Naml: 27 yaitu;
“Dan kamu sangka gunung-gunung itu tetap ada ditempatnya, padahal gunung-gunung itu bergerak seperti awan yang bergerak. Allah telah membuat segala sesuatu dengan kokoh. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS AnNaml: 27)
Teladan Khalifah Umar r.a dalam Mengatasi Bencana

Imam al-Haramain (w. 478 H) menceritakan bahwa pada masa Umar r.a pernah terjadi gempa bumi. Khalifah Umar ra. Segera mengucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Saat itu bumi sedang berguncang keras. Khalifah Umar ra. lalu memukul bumi dengan cambuk sambil berkata, 

“Tenanglah engkau, bumi. Bukankah aku telah berlaku adil kepadamu.” Seketika bumi pun berhenti berguncang. Imam al-Haramain menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi. Sebabnya, Khalifah Umar r.a adalah Amirul Mukminin secara lahir dan batin. Beliau adalah Khalifah Allah bagi bumi dan penduduknya (Yusuf al-Nabhani, Jami’ Karamati Al-awliya’, 1/157-158).

Alhasil, keadilan Umar r.a sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi sanggup menjadikan bumi “bersahabat” dengan manusia. Sebaliknya, kezaliman penguasa bisa menyebabkan bumi terus berguncang hal ini sesuai dengan tafsir Ibnu Katsir yang mengutip perkataan Abu al-Aliyah:

“Siapa saja yang bermaksiat kepada Allah di bumi maka sungguh ia telah merusak bumi. Sungguh kebaikan bumi dan langit adalah dengan ketaatan (kepada Allah SWT). (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 6/320).”

Saatnya Berubah dan Bertobat!

Sudah sangat jelas bahwa kunci keberkahan dalam hidup adalah takwa kepada Allah SWT. Tentu dengan takwa sebenar-benarnya. Takwa yang sebenarnya tidak lain dengan mengikuti seluruh petunjuk Allah SWT di dalam al-Quran, artinya, tidak ada ketakwaan tanpa sikap mengikuti al-Quran. Allah SWT berfirman:
“Al-Quran itu adalah kitab yang kami turunkan yang diberkati. Karena itulah, ikutilah dia dan bertakwalah agar kalian diberi rahmat. (TQS. Al-Anam [6]: 155).”

Di dalam kitab tafsirnya, Imam al-Qurthubi menjelaskan, bahwa al-Quran disifati dengan mubarak (yang diberkati) karena mengandung banyak keberkahan atau aneka kebaikan di dalamnya. Adapun frasa Fattabiuhu, maknanya adalah imalu bima fihi (amalkanlah semua hal yang terkandung di dalam al-Quran itu. Karena al-Quran merupakan sumber keberkahan hidup, maka hanya dengan mengikuti al-Quran saja keberkahan hidup itu bisa dirasakan oleh setiap Muslim.

Selain itu satu-satunya cara untuk mengakhiri ragam bencana ini tidak lain dengan bersegera bertobat kepada Allah SWT. Tobat yang harus dilakukan oleh segenap komponen bangsa, khususnya para penguasa dan pejabat negara. Mereka harus segera bertobat dari dosa dan maksiat serta ragam kezaliman. Kezaliman terbesar adalah saat manusia, terutama penguasa, tidak berhukum dengan hukum penguasa, tidak berhukum dengan hukum Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

“Siapa saja yang tidak memerintah/berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan, mereka adalah para pelaku kezaliman. (TQS. Al-Maidah [5]:5).”

Karena itu pula tobat terutama harus dibuktikan dengan kesediaan mereka untuk mengamalkan dan memberlakukan syariah-Nya  secara kaffah dalam semua aspek kehidupan (pemerintah, politik, hukum, ekonomi, pendidikan, sosial, dsb). 
Jika syariah Islam diterapkan secara kaffah, tentu keberkahan akan berlimpah-ruah memenuhi bumi. Karena penerapan hukum Islam atau syariah Islam secara kaffah adalah wujud hakiki dari ketakwaan. Ketakwaan pasti akan mendatangkan keberkahan dari langit dan bumi, sebagaimana firman-Nya:

“Andai penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti kami akan membukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) sehingga Kami menyiksa mereka sebagai akibat dari apa yang mereka perbuat. (TQS. Al-A’raf [7]: 96).”

WalLahu a’lam..
Previous Post Next Post