Waspada Film Kartun

Oleh : Lulu Nugroho
Muslimah Penulis dari Cirebon


Sajian sinema dengan narasi apik dalam film kartun, menjadikannya sebagai media hiburan dan edukasi bagi anak-anak. Di era modern, para ibu yang memiliki anak-anak pra sekolah, tentu akrab dengan film kartun. Anak-anak akan tenang sejenak, sementara ibu menyiapkan hal lain. Menjadi pilihan, sekedar mengalihkan perhatian sesaat.

Akan tetapi menjadi berbahaya ketika ternyata, film kartun dijadikan sebagai sarana untuk mengantarkan kerusakan. Pesan yang disampaikan melalui tauangan ini akan mudah diterima anak-anak. Semakin tinggi intensitas menonton, semakin besar peluang mereka mengingat pesan tersebut.

Di saat anak-anak menonton dalam waktu lama dan mendengarkan narasi buruk berulang-ulang, maka hal tersebut akan terekam dalam benak mereka. Anak adalah peniru ulung. Terutama pada batita, anak dengan usia di bawah 3 tahun. Mereka merespon stimulus yang diterima panca inderanya. Info segar diserap tanpa memilah. Sebab memang belum ada kemampuan itu.

Secara langsung dampak televisi mengenai otak depan yang berfungsi untuk menyaring informasi yang masuk melalui pancaindera. Dengan menggunakan Elektroensefalograf (EEG) akan terekam kegiatan gelombang otak. Hingga bisa dipantau, apa yang terjadi saat anak-anak melihat tayangan.

Otak akan mengeluarkan gelombang β (beta) menunjukkan bahwa otak sedang aktif berpikir misalnya, menyaring informasi yang sedang masuk ke dalam otak melalui indera. Sedangkan otak akan mengeluarkan gelombang α (alfa) jika sedang tidak aktif (pasif) sehingga merekam semua informasi tanpa menyaringnya.

Dr. Thomas Mulholland (Mander J. Four Arguments for the Elimination of Television. New York, NY:Quill, 1997 p. 210) merekam gelombang otak anak-anak yang sedang menonton tayangan favorit. Sebelum penelitian dilakukan, dibuat satu asumsi bahwa gelombang beta yang dikeluarkan otak, menunjukkan ia sedang aktif berpikir.

Akan tetapi setelah menonton 2-3 menit, gelombang otak berubah dari beta ke alfa. Dengan demikian disimpulkan bahwa setelah menonton sebentar saja pikiran mereka tidak menunjukkan reaksi aktif lagi, alias pasif, atas apa yang ditonton. Sehingga otak merekam semua informasi tanpa tersaring oleh otak depan.

Inilah yang kemudian perlu mendapat perhatian para orangtua. Tidak membiarkan anak-anak menonton televisi tanpa pendampingan. Serta tidak membiarkan mereka berlama-lama di depan televisi. Aktivitas bermain yang melibatkan motorik, jauh lebih bagus bagi tumbuh kembang anak-anak. Sebab tidak semua tayangan itu bagus dan bernilai edukasi.

Sebagaimana 'My Little Pony', sebuah film yang mengisahkan pertemanan enam karakter perempuan, produksi Hasbro Studios Amerika Serikat. Seperti dilansir situs daring People, episode ini memperkenalkan Aunt Holiday and Auntie Lofty sebagai pasangan lesbian yang merawat karakter Scootaloo. (Republika.co.id, 20/6/2019).

Kemudian beredar pernyataan penulis dan produser, Michael Vogel menjelang beredarnya episode The Last Crusade dari film kartun My Little Pony: Friendship is Magic.
"Nicole dan saya pikir ini adalah kesempatan besar untuk secara organik memperkenalkan pasangan LGBTQ dalam seri ini, dan kami bertanya pada Hasbro dan mereka menyetujuinya." (Michael Vogel).

Begitu juga pencipta Frozen 2, mengatakan dirinya terbuka akan ide itu. Diberitakan NME, ia bahkan tak menutup kemungkinan bahwa pasangan itu seorang perempuan, mengingat banyaknya permintaan publik untuk semakin memperkaya film dengan karakter minoritas, termasuk, penyimpangan seksual LGBT. (Cnnindonesia.com, 3/3/2018).

Frozen memang film anak-anak, tapi Disney sudah semakin berani menampilkan karakter penyimpangan ini di filmnya. Di Finding Dory, sekilas ada pasangan sesama perempuan yang membawa anak. Karakter tersebut yang paling jelas dan sempat jadi perdebatan ada di 'Beauty and the Beast'.

Alarm bagi para orang tua. Agar lebih kreatif mencari sarana hiburan dan edukasi bagi anak-anak. Pemikiran rusak selalu mencari celah untuk menyampaikan idenya. Tidak terkecuali melalui film kartun. Pemikiran anak-anak yang masih bersih menjadi target sasaran mereka. Dan hal ini harus kita waspadai.

Proses berpikir dalam Islam melibatkan maklumat sabiqoh (informasi yang didapat sebelumnya). Ide kufur yang mengendap di kepala mungil anak-anak, itulah maklumat sabiqoh bagi mereka. Hal ini berbahaya. Mereka akan mengingat terus dan akan selalu mengaitkannya dalam proses berpikir.

Hingga kelak muncul pola tingkah laku yang salah hasil dari proses berpikir keliru tadi. Letak kekeliruannya ada pada maklumat sabiqoh. Saat nanti mereka menakar kadar baik atau buruknya sebuah perbuatan pun, mereka menggunakan acuan yang keliru.

Dalam Islam jelas, bahwa orangtua memiliki tanggung jawab menjaga keimanan anak-anaknya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ (٦)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At Tahrim: 6).

Oleh karena itu perlu mendapat perhatian serius, yaitu membatasi hanya hal baik yang boleh masuk pada buah hati kita. Baik itu makanan dan minuman yang halal dan thoyib, memberi perkataan yang baik yang datang dari Islam, juga memberi sajian tayangan yang tepat untuk amunisi tumbuh kembang anak menjadi pejuang kebangkitan Islam.

Ini bukan hanya tugas orangtua. Tapi juga peran keluarga, masyarakat dan terutama pemerintah sebagai pemegang kebijakan tertinggi dalam sebuah negara. Dengan regulasi undang-undang dan persanksian yang berlandaskan Islam, akan memberi lingkungan sehat yang kondusif bagi penjagaan generasi muslim. 
Previous Post Next Post