Oleh : Hana Annisa Afriliani,S.S
(Anggota Komunitas Revowriter Tangerang)
Ramadan telah berada di penghujungnya. Kaum muslimin pun bersuka cita karena sebentar lagi akan menapaki hari kemenangan. Ya, Idul Fitri akan tiba, menggantikan dahaga setelah 30 hari lamanya kita menjalani ibadah shaum di bulan Ramadan.
Namun sudahkah kita memahami esensi 'menang' di hari raya? Ataukah kita sekadar tenggelam dalam euforia tahunan berbalut hura-hura dan silaturahmi?
Sudah selayaknya setiap diri memahami hakikat kemenangan yang mesti di raih, agar madrasah kesalihan yang telah kita lalui 30 hari di bulan Ramadan tak sia-sia belaka. Sekadar lulus ujian menahan rasa lapar dan haus, namun gagal dalam membentuk pribadi muslim yang bertakwa adalah kerugian nyata bagi kita.
Padahal hikmah dari adanya perintah shaum di bulan Ramadan adalah agar kita menjadi insan yang bertakwa.
" Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." (TQS.Al-Baqarah:183)
Takwa itu berarti menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya secara totalitas. Kaffah. Adapun takwa tak sebatas mensalihkan diri, namun juga berupaya membentuk kesalihan kolektif, yakni masyarakat dan negara. Karena keduanya sangat memengaruhi kesalihan individu.
Masyarakat yang memancarkan suasana Islami, jelas akan menjadikan setiap individu pun terjaga kesalihannya. Terjaga akidahnya. Begitupun negara, jika negaranya menerapkan syariat Islam, niscaya setiap individu akan memiliki jaminan dalam melaksanakan semua hukum syara, tanpa ada pertentangan dari penguasa atau hukum yang berlaku. Dengan itulah ketakwaan akan tercipta dengan sempurna.
Oleh karena itu, perlu ada upaya sinergis untuk membentuk ketakwaan sempurna. Caranya:
Pertama, menghidupkan amar ma'ruf nahyi mungkar, saling menasehati dalam kebenaran dan mencegah dalam kemungkaran. Itulah yang akan menjadi pengontrol masyarakat agar tetap berada di jalur kebenaran. Bukan masyarakat yang acuh tak acuh pada lingkungan alias individualistik.
Kedua, menerapkan sistem Islam dalam lingkup negara. Karena hakikatnya Islam merupakan sistem kehidupan yang datangnya dari Sang Maha Pencipta manusia. Ia hadir sebagai rahmat bagi semesta, baik muslim maupun non muslim. Sejarah telah membuktikan yang demikian, bahwa ketika Islam diterapkan dalam institusi negara, maka kebaikan dan kemuliaan tercipta bagi manusia secara keseluruhan. Tanpa pandang bulu. Tanpa diskriminasi. Dan utamanya, negara yang menerapkan sistem Islam akan mampu menjaga akidah, akal, harta, darah, dan kehormatan rakyat yang berada di bawah naunganya lewat hukum-hukum yang berasas pada wahyu.
Sungguh takwa merupakan konsekuensi dari iman. Maka sudah selayaknya kita menjadikan takwa sebagai target pencapaian di hari fitri. Sungguh itulah kemenangan yang hakiki.
Karena sejatinya takwa menjadikan kita mulia di hadapan Allah. Maka sangatlah layak jika dikatakan bahwa orang-orang yang berhasil menggapai takwa, merekalah yang layak mendapat kemenangan.
Artinya, kesalihan tak cukup hanya 30 hari, melainkan sepanjang hayat. Sebab itulah hakikat kita diciptakan, tiaxa lain adalah untuk beribadah, tunduk pada titah Sang Pencipta.
Lantas, sudahkah kita menjadi jiwa-jiwa yang menang? Semoga saja.
"Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman." ( As-Shaff : 13 )