Ramadhan di Alam Demokrasi



Oleh: Yuliyati Sambas
Member Akademi Menulis Kreatif


Masuk hari keenam belas di bulan Ramadhan maka kita telah masuk pada masa-masa dimana Allah menjanjikan ampunan (magfirah) bagi siapapun yang menjalani ibadah puasa dan ketaatan kepada-Nya dengan niat ikhlas lillahi ta'ala.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dimana ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Awal bulan Ramadhan adalah rahmah, pertengahannya maghfirah, dan akhirnya ‘Itqun minan nar (pembebasan dari api neraka)."

Maka diberikannya usia kepada kita bisa mengecap hari keenam belas ini adalah sebuah nikmat yang wajib disyukuri dengan senantiasa mengikatkan diri pada syariat-Nya secara menyeluruh.

Namun demikian, menjalani ketaatan di iklim kapitalis sekuler yang saat ini berlaku adalah sesuatu yang sangat berat. Betapa godaan untuk terpeleset pada maksiat dan pelanggaran akan aturan-Nya demikian besar.

Seharusnya umat muslim yang katanya merupakan mayoritas di negeri ini dapat menjalani ibadah puasa dengan khusyuk, justru harus menelan ludah kekecewaan dengan tetap melihat di sekitar demikian banyak fakta kebebasan yang menyesakkan: muslim yang tidak berpuasa tanpa merasa malu mengumbar maksiatnya dengan makan dan minum di siang hari dengan leluasanya, sebagian para muslimah dengan dalih kebebasan masih banyak yang memilih untuk membuka auratnya tanpa rasa bersalah sedikitpun, para pemimpin pemerintahan mempertontonkan dagelan politik kecurangan dan keculasan dalam mengurus bangsa ini demikian tampak, dan seterusnya. Namun atas dalih kebebasan yang dianut di alam demokrasi telah menjadikan segala kewajiban dan larangan Allah dianggap mubah, artinya bahwa siapapun bebas untuk memilih mau atau tidak menjalankan perintah agama.

Aturan agama hanya dijadikan permasalahan yang bersifat pribadi, siapapun tak boleh saling mengoreksi karena agama adalah urusan pribadi dengan Allah saja. Jika ada orang atau jamaah dakwah yang vokal dengan aktivitas amar makruf nahi munkar maka siap-siaplah untuk dicap radikal, dimatikan karakternya, atau bahkan hingga dirampas kebebasan dalam melakukan aktivitas dakwahnya dengan dicabut badan hukum berserikatnya.

Padahal Allah Swt telah mengamanatkan dalam salah satu ayatnya,

وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم واحذرهم أن يفتنوك عن بعض ما أنزل الله إليك ، فإن تولوا فاعلم أنما يريد الله أن يصيبهم ببعض ذنوبهم ، و إن كثيرا من الناس لفسقون

Artinya: "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka, supaya mereka tidaklah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak untuk menimpakan musibah atas mereka karena sebagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik." (Q.S. al-Maidah ayat 49)

Kewajiban kita hanyalah mengikatkan segala urusan hanya kepada apa yang diturunkan Allah yakni Alquran dan Sunnah.

Namun janji Allah adalah pasti,

 هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا

Artinya: "Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi." (Q.S. al-Fath ayat 28)

Wallahu a'lam bi ash-shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post