Pemilu Berujung Pilu

Oleh : Ilma Kurnia P, S.P 
(Pemerhati Generasi)

Sepekan berlalu sudah perayaan pesta demokrasi yang baru saja dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Pelaksanaan pemilu yang saat ini berbeda seperti pelaksanaan pemilu pada sebelumnya. Banyak terjadi kendala dalam proses pelaksanaannya, dari mulai masalah distribusi logistik, kekurangan surat suara, rusaknya surat suara, hingga surat suara yang sudah tercoblos terlebih dahulu. 

Selain itu banyak pemberitaan di media sosial maupun televisi tentang jalannya pemilu yang berujung pilu. Dikutip dari kumparannews.com (22/04/2019) menyebutkan bahwa terdapat 90 petugas KPPS yang meninggal dunia, 374 sakit. Sampai saat ini KPU terus melakukan pendataan terkait jumlah petugas KPPS yang gugur dan sakit saat bertugas pada 17 April 2019. Jawa pos.com (26/04/2019) menyebutkan Seiring bertambahnya hari jumlah petugas KPPS kian bertambah, bahkan kini totalnya mencapai 230 orang, bahkan yang dirawat karena sakit angkanya sudah mencapai ribuan. “Update data 26 April 2019, pukul 12.00 WIB wafat 230 , sakit 1671 orang, sehingga total 1901 petugas KPPS’” ujar Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan Aziz, Jum’at (26/4). Laporan KPU memperlihatkan faktor kelelahan menjadi penyebab yang paling besar petugas sakit. Selain itu, beberapa petugas mengalami tifus dan stroke. 

Terkait banyaknya petugas yang gugur dan sakit, Komisioner KPU mengatakan, pemerintah lewat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga telah sepakat untuk memberikan santunan kepada petugas KPPS yang meninggal dunia. Untuk jumlah nominal santunan setiap korbannya, KPU masih belum mengetahuinya. Oelhe karena itu, untuk menentukan besarnya, KPU akan menggelar pertemuan dengan Kementrian Keuangan.
Sesuatu yang sungguh amat menyedihkan, selain menyebabkan banyak korban yang berjatuhan dikabarkan hasil pemilu kali ini juga banyak mengalami kecurangan. Pemilihan pemimpin dalam demokrasi berbiaya mahal, dan renta kecurangan (menghalalkan segala cara) sampai menimbulkan korban. Seperti halnya kasus penghitungan dari hasil QC yang  tidak sesuai dengan hasil kenyataan yang terdapat di masyarakat. Ketika salah satunya jargon “dari –oleh- untuk rakyat” ini selalu di nggulkan tetapi pada kenyataannya tidak pernah benar-benar terbukti. Karena hasil pilihan rakyatpun masih dicurangi. 

Padahal dalam pelaksanaan pemilu sebagian besar menggunakan uang rakyat, tenaga rakyat, tetapi pemilu hanya sebagai sarana bagi korporasi dan rezim untuk menguasai rakyat. Ujung-ujungnya rakyatlah yang menderita dengan kebijakan-kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat. Demikianlah kenyataan dari buruknya sistem demokrasi yang diemban di negeri ini. Bukannya mampu mensejahterakan rakyat tapi justru mempersulit  kehidupan rakyat. 

Pemimpin dalam sistem demokrasi menerapkan aturan buatan manusia, memimpin secara berkala (5 tahun maksimal 2 periode), dan menerapkan pembagian kekuasaan (trias politca produk Montesque) berbeda halnya dengan islam, pemilihan pemimpin dalam islam melibatkan rakyat tetapi bukan untuk menjalankan kehendak rakyat tetapi dipilih untuk menerapkan hukum syara’. Pemimpin dipilih oleh rakyat tetapi tdak bisa dipecat oleh rakyat, karena pemberhentian pemimpin dilakukan oleh mahkamah Madzalim yang disebabkan karena pelanggaran huku syara’. Untuk itu, dalam kondisi sekarang ketika pemimpin yang mampu menerapkan huku syara’ belum ada, maka solusi untuk mengangkat seorang pemimpin tentu bukan melalui pemilu. 

Tetapi dengan mengangkat pemimpin melaui bai’at. Yang secara langsung dipilih oleh rakyat, dan tentunya mampu menerapkan hukum atau aturan sesuai dengan hukum syara’ buatan Allah yang menciptakan alam semesta ini. Karena dengan penerapan hukum dan pelaksanaan kehidupan yang sesuai dengan hukum syara’ akan mamp memberikan kesejahteraan terhadap rakyat.  Wallahua’lam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post