OBOR; China Debt Trap dan Penjajahan Gaya Baru

Oleh : Tri Silvia 
(Pemerhati Kebijakan Publik) 

Proyek OBOR yang diinisiasi oleh Cina berhasil menjadi topik panas di media sosial akhir-akhir ini. Pasalnya, proyek yang telah berganti nama menjadi Belt and Road Initiatives (BRI) sejak 2016 lalu baru diresmikan pada April 2019.

Proyek OBOR tersebut berhasil menarik perhatian di media sosial dan beberapa media lainnya, bahkan sempat menjadi blunder panas paslon 01 saat debat calon Presiden. Hal tersebut karena keberadaannya yang dianggap akan merugikan negara.

Banyak pihak mengungkapkan kekhawatiran ketika proyek ini jadi dilaksanakan, salah satunya adalah terkait dengan penambahan utang luar negeri Indonesia. 

Posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per akhir Februari 2019 tercatat sebesar US$ 388,7 miliar atau naik 8,81% secara tahunan (year-on-year/YoY). Jika di-rupiah-kan total utang luar negeri mencapai Rp 5.480 triliun (asumsi kurs US$ 1 = Rp 14.100). Peningkatan ULN pada bulan Februari juga tercatat meningkat dibanding bulan sebelumnya yang hanya mampu tumbuh 7,2% YoY. Dari jumlah tersebut, China menempati posisi ke-4 dalam presentasi utang luar negeri, yakni sejumlah US$ 17,74 miliar. (www.cnbcindonesia.com, 15/4/2019) 

Keikutsertaan Indonesia dalam OBOR jelas akan menambah jumlah utang Indonesia kedepannya, baik secara pribadi terhadap Cina atau secara umum. Pemerintah berkelit jika proyek OBOR yang akan dilaksanakan memakai skema B2B (Business to Business), bukan G2G (Governor to Governor) sehingga tidak menimbulkan efek apapun terhadap utang luar negeri Indonesia. Jawaban tersebut tidak bisa diterima, sebab pada faktanya walaupun skema dilakukan B2B, namun tetap saja investasi yang datang membutuhkan jaminan dari Pemerintah. Selain itu, skema B2B sebagaimana yang disebutkan di atas melibatkan BUMN sebagai badan usaha untuk melaksanakan OBOR. Maka secara otomatis walaupun skema yang dilakukan adalah B2B, namun Pemerintah tetap saja akan terlibat di dalamnya. 

Pemerintah selama ini mempertahankan argumen bahwa utang luar negeri Indonesia masih dalam batas normal, sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, selama memiliki predikat sebagai utang, sejumlah uang tersebut tetap saja akan menimbulkan konsekuensi bagi Indonesia. Jika proyek OBOR ini tidak dicegah, maka bukan hal yang mustahil Indonesia akan masuk dalam jebakan utang dan krisis sebagaimana yang dialami oleh beberapa negara di luar sana. 

Proyek OBOR membawa angin segar bagi negara-negara berkembang. Bagaimana tidak, dengan jumlah uang yang sangat besar Pemerintah China menawarkan pendanaan guna pembangunan proyek infrastruktur yang jelas-jelas sangat dibutuhkan oleh negara berkembang saat ini.

Dengan obsesi untuk membangkitkan kejayaan Jalur Sutra Tiongkok, Presiden Xi Jinping berhasil menjalin kerja sama lewat OBOR dengan 68 negara. 33 negara punya peringkat investasi B atau bahkan tanpa peringkat. Sepuluh di antaranya merupakan negara kaya aset seperti Brunei Darussalam dan Iran. Atau belum punya utang publik banyak seperti Timor Leste.

Hal di atas berarti, 23 negara lainnya yang masuk proyek OBOR punya potensi untuk terlilit utang. Setelah OBOR berjalan selama lima tahun, ada delapan negara yang diprediksi memiliki risiko krisis finansial paling tinggi. Yakni, Pakistan, Maladewa, Montenegro, Laos, Mongolia, Djibouti, Kyrgyzstan, dan Tajikistan. Delapan negara ini bersiap untuk masuk dalam zona jebakan Tiongkok lewat iming-iming proyek infrastruktur tadi. (www.law-justice.co, 06/4/2019)

Salah satunya adalah Pakistan. Negara tersebut terikat perjanjian China-Pakistan Economic Corridor senilai USD 62 miliar atau Rp 903 triliun. Belum termasuk pinjaman lainnya. Pemerintah Tiongkok mengambil jatah 80 persen dari proyek yang sebagian besar digunakan untuk proyek pembangkit listrik. Begitu besarnya jumlah utang yang harus dibayarkan, hingga Pemerintah Pakistan membutuhkan waktu hampir 40 tahun untuk melunasinya (m.republika.co.id, 01/4/2019). Lalu bagaimana jika Pemerintah Pakistan tidak mampu untuk melunasi atau gagal bayar? Maka skema tukar aset harus dilaksanakan sebagaimana yang terjadi di Sri Lanka. Atau bahkan yang lebih parah, dinyatakan bangkrut dan harus mengganti mata uangnya dengan Yuan China sebagaimana yang terjadi di Zimbabwe.

Sri Lanka harus menelan pil pahit akibat investasi China. Pada 2013, Sri Lanka membangun Mattala Rajapaksa International Airport (MRIA) di Hambantota, 250 km selatan Colombo. Pembangunan bandara tersebut didanai pinjaman dari Cina melalui Bank EXIM sebesar USD$ 190 juta dengan bunga sebesar 6,3%. Jumlah tersebut mencakup 90% dari total biaya pembangunan bandara secara keseluruhan. Bandara ini kemudian dibangun dengan pelabuhan seharga USD$ 1.4 milyar, kawasan industri dan proses ekspor, pusat eksibisi, stadion kriket dan area hotel dan liburan yang terkoneksi satu sama lain dengan jalan tol terbaik di Sri Lanka.

Keuntungan yang difikirkan nyatanya tidak mampu didapatkan, utang yang sedemikian besar pun tidak mampu lagi untuk dibayarkan. Maka, sebagai konsekuensi atas ketidakmampuannya tersebut, Pemerintah Sri Lanka harus membuat perjanjian dengan Pemerintah Cina berupa ekuitas (menyerahkan lahan untuk disewa) pelabuhan selama 99 tahun kepada Cina. Bandara udara akhirnya dijual kepada India untuk membayar pinjaman kepada Cina, namun menilik mekanisme ekuitas yang dipilih Pemerintah Sri Lanka, bukan tidak mungkin di masa depan kedua infrastruktur ini akan jatuh ke tangan Pemerintah Cina secara penuh.(https://medium.com/, 30/12/2017)

Apa yang terjadi di Sri Lanka nyatanya belum seberapa jika dibandingkan apa yang melanda Zimbabwe beberapa waktu sebelumnya. Zimbabwe terkena status gagal bayar atas hutang China sebesar US$40 juta. Lalu sejak 1 Januari 2016, mata uangnya harus diganti menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang. Selain Sri Lanka dan Zimbabwe, ada beberapa negara lain yang menemui permasalahan yang serupa dengan Cina. 

Atas dasar itu, banyak negara yang merasa khawatir dan mulai meninjau ulang kerja sama yang mereka lakukan. Negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan, seperti Malaysia, Myanmar, Thailand dan Maladewa telah mulai meninjau ulang proyek investasi Tiongkok.

Salah satunya adalah PM Malaysia Mahathir Mohamad begitu menjabat langsung menjanjikan mengulas kembali proyek investasi Tiongkok. Mahathir mengumumkan dibatalkannya proyek Kereta Api cepat dari Malaysia ke Singapura yang tengah dalam persiapan untuk konstruksi, dan melakukan perundingan ulang dengan pihak Beijing terkait Kereta Api pesisir timur Malaysia. Mahathir melakukan hal tersebut lantaran menemukan banyak keanehan di dalam klausul perjanjian yang mana dinilai sangat merugikan perekonomian negaranya. (myberita.co, 03/4/2019)

Dengan berbagai fakta yang dikemukakan di atas, maka telah jelas bahwa proyek OBOR yang digelontorkan oleh China membawa banyak kerugian besar. Tidak hanya bagi Pemerintah Indonesia, namun juga negara-negara lain yang telah masuk dalam perjanjian tersebut.

Apa yang tertera pada klausul kerjasama, hanyalah hal-hal yang membawa keuntungan sepihak bagi China. Hal tersebut sama saja dengan apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Mereka menanamkan modal dan menggelontorkan hutang berbunga dalam jumlah besar ke negara-negara berkembang. Alhasil, sedikit demi sedikit negara tersebut akan terjerumus dalam penjajahan gaya baru. 

Menyikapi hal tersebut, berbagai pihak pun segera buka pernyataan untuk menolak proyek OBOR ini. Termasuk para ulama dalam Mudzakaroh Ulama ASWAJA tertanggal 01 Mei 2019.

Dalam penolakan tersebut, disampaikan bahwa Islam menolak penjajahan atas diri dan agama mereka, pun masalah ekonomi dalam hal ini. Sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. An-Nisa : 141, yang artinya, 

“... Dan sekali-kali Allah tidak menjadikan bagi orang-orang kafir jalan untuk menguasai orang-orang Mukmin.”

Selain itu ada pula hadis nabi yang artinya,

“Tidak boleh (ada) bahaya dan menimbulkan bahaya." (HR. Ibnu Majah)

Sudah banyak negara lain yang meninjau ulang perjanjian kerja sama mereka dalam OBOR. Harusnya hal tersebut pun dilakukan pula oleh Indonesia. Namun faktanya, cengkeraman China atas negara ini sudah begitu kuat, sehingga menjadi sangat sulit bagi Indonesia untuk berlepas darinya. Bahkan ketika perjanjian kerja sama ini digadang-gadang telah melanggar UU yang telah dibuat. 

Oleh karena itu, Indonesia butuh sebuah aturan tegas untuk menolak seluruh kerja sama (baik OBOR ataupun lainnya, baik yang sudah, sedang ataupun akan berjalan) dengan pihak asing atau aseng yang jelas-jelas membawa banyak kerugian bagi negeri ini. Yang hal tersebut tidak akan terlaksana ketika negeri ini masih menerapkan sistem yang mendukung penjajahan, seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Sistem di negeri ini harus dirubah ke sistem Islam dalam naungan Daulah Khilafah. Sebab hanya itulah yang dapat menolong dari berbagai cengkeraman penjajahan yang terjadi. InsyaAllah.
Wallahu A'lam bis Shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post