Oleh : Siti Subaidah
(Pemerhati Lingkungan dan Generasi)
Di bulan Ramadhan biasanya segala kekhusyukan kita fokuskan semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Namun tidak bagi saudara-saudara muslim kita di Jalur Gaza, Palestina. Perasaan khawatir hampir setiap hari menyelimuti perasaan mereka. Diberitakan AFP, hingga Minggu (5/5) malam, roket Israel terus menghantam kawasan Gaza. Akibatnya 23 warga Gaza meninggal dunia. Termasuk di antaranya seorang perempuan yang sedang mengandung dan seorang bayi.
Serangan dari tank dan rudal udara Israel mulai menggempur Gaza sejak Sabtu (4/5). Militer Israel berdalih bahwa hal ini dilakukan sebagai bentuk balasan terhadap serangan milisi Palestina sebelumnya. Dalam serangan tersebut menewaskan empat warga negara Israel, tiga diantaranya adalah militer.
Banyaknya korban yang meninggal di Gaza tak membuat militer Israel menghentikan serangan. Bahkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memerintahkan militernya untuk terus menggempur Gaza. Saat ini, militer Israel mengakui sudah menembak ke 320 titik di Gaza. Sasaran tembak disebut sebagai basis milisi. Militer Israel juga menyatakan ada lebih dari 600 roket dari Gaza yang mengarah ke kawasan Israel, namun sekitar 150 di antaranya dihalau sistem pertahanannya.
Konflik antara Palestina dan Israel jika kita telisik lebih dalam, latar belakang dan sejarahnya telah dimulai sejak tahun 2000 SM. Namun dalam sejarah kontemporer hanya mencatat sejak tahun 1967 saat Israel menyerang Mesir, Yordania, dan Syiria kemudian berhasil merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Syria), Tepi Barat dan Yordania.
Dari sejarahnyapun dapat kita lihat bahwa Israel sedari awal merupakan pendatang yang hendak mengambil dan menjajah tanah Palestina. Oleh karena itu, mengakui Israel sebagai sebuah negara diatas tanah Palestina sama artinya dengan melegalkan sebuah penjajahan dan merestui pembunuhan massal yang terjadi hingga saat ini. Bahkan sama saja dengan mengkhianati perjuangan para mujahid dan syuhada.
Telah banyak hal yang dilakukan untuk meredam konflik ini. Mulai dari perjanjian perdamaian antar kedua belah pihak hingga melibatkan lembaga internasional dalam KTT luar biasa OKI, resolusi DK PBB, dan KTT Liga Arab. Namun Segala upaya itu bagai debu ditiup angin, tak ada penyelesaian.
Negara-negara muslim tersandung sekat nasionalisme hanya mampu mengecam tanpa mampu mengirim pasukan. Nasionalisme berhasil menjadikan kepentingan bangsa lebih tinggi dibanding dengan kepentingan islam. Padahal apalah artinya sebuah kecaman bagi rakyat Palestina jika didepan mata senjata siap memuntahkan pelurunya. Kebrutalan tak kan hilang hanya dengan sebuah kecaman.
Ditambah dengan perjanjian-perjanjian mengikat dalam lembaga internasional. Semakin membuat pemimpin negara-negara muslim tak berkutik dalam mengambil keputusan. Lalu apa lagi yang diharapkan oleh rakyat Palestina untuk menyudahi penderitaannya?. Persatuan kaum muslimin!!!
Momen Ramadhan adalah momentum yang tepat untuk menunjukkan persatuan umat yang hakiki dalam satu kepemimpinan global. Rakyat Palestina butuh perisai yang mampu melawan musuh-musuh islam dan menempatkan islam kembali pada kemuliaaanya. Ialah khilafah islamiyah, satu kepemimpinan utuh dalam komado seorang khalifah yang pemimpin dan menyeru jihad membebaskan tanah suci Palestina dan menghapus segala bentuk penjajahan didalamnya. Karena sampai kapanpun tanah palestina adalah tanah kaum muslimin.
Kita perlu renungkan pesan Khalifah Abdul Hamid II (1897), “Tanah itu bukan milikku, tetapi milik ummatku”. Saat berpesan demikian, kedudukan khilafah dalam kondisi lemah tapi sebagai khalifah, beliau mampu dengan tegas menolak keinginan Yahudi untuk membeli tanah Palestina. Inilah kepemimpinan dan perisai sesunguhnya.
Sungguh Ramadhan mampu membuat kita merasakan penderitaan saudara-saudara kita yang kelaparan. Namun tak mampu menyamai perasaan saudara kita yang lain di Jalur Gaza, Palestina. Menyadarkan pentingnya persatuan umat dalam kepemimpinan islam adalah pilihan utama untuk membantu mereka, setidaknya ini menjadi hujjah bagi kita dihadapan Allah dibanding berdiam diri dan hanya mengecam. Wallahu a'lam bishawab
Post a Comment