Oleh : Nuril Hafizhah
(alumni SMA IT Ar-Rahman Bajarbaru Kalsel)
Guru kencing berdiri murid kencing berlari. Begitulah kira-kira penggambaran sebuah pelajaran, bahwa guru akan ditiru, ia memiliki peranan besar dalam mendidik anak bangsa.
Maka sudah menjadi fungsi utama sebuah negara dalam menyediakan guru berkualitas untuk generasi penerus yang cemerlang.
Negara berkewajiban mengatur segala aspek berkenaan dengan sistem pendidikan, bukan hanya persoalan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Berkenaan hal ini, Rasulullah saw. memerintahkan dalam haditsnya: “Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah kekhalifahan Islam maka kita akan melihat perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya sangat besar demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya.
Banyak hadits Rasul yang menjelaskan perkara ini, di antaranya: “Barangsiapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rezeki (gaji/upah/imbalan), maka apa yang diambil selain dari itu adalah kecurangan” (HR. Abu Daud).
Lantas apa jadinya jika fungsi tersebut tidak dijalankan oleh negara? Dengan suatu kebijakan yang justru menimbulkan masalah baru.
Dilansir dari tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani mewacanakan akan mengundang guru dari luar negeri untuk menjadi tenaga pengajar di Indonesia.
Menurut Puan, saat ini Indonesia sudah bekerja sama dengan beberapa negara untuk mengundang para pengajar, salah satunya dari Jerman. "Kami ajak guru dari luar negeri untuk mengajari ilmu-ilmu yang dibutuhkan di Indonesia," ujar Puan dalam Musyarawah Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas, di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, Kamis (9/5/2019) lalu.
Lebih lanjut, Puan mengatakan jika para tenaga pengajar asing tersebut mengalami kendala bahasa, mereka akan diberi fasilitas penerjemah serta perlengkapan alih bahasa.
Pertanyaannya, dimanakah guru dalam negeri? Apakah tidak lebih baik sehingga untuk hal semacam ini harus impor juga?
Ternyata wacana ini menuai kontroversi yang memunculkan lebih banyak tanda tanya.
"Jumlah Guru Dalam Negeri Cukup"
Wacana yang digulirkan Puan ini menuai kritik dari Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim. Ia mengatakan jumlah guru di Indonesia sudah mencukupi. Ramli menjelaskan jumlah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan lulusannya terus bertambah setiap tahunnya. Ia merujuk data Kemendikbud yang menyatakan pada 2013 terdapat 429 LPTK, terdiri dari 46 negeri dan 383 swasta. Total mahasiswa saat itu mencapai 1.440.770 orang.
Jumlah tersebut lebih banyak dibanding 2010 dengan 300 LPTK. "Dengan jumlah mahasiswa 1,44 juta maka diperkirakan lulusan sarjana kependidikan adalah sekitar 300.000 orang per tahun. Padahal kebutuhan akan guru baru hanya sekitar 40.000 orang per tahun," ujar Ramli kepada reporter Tirto, Jumat (10/5/2019).
Ramli pesimistis tenaga pengajar asing bisa mengikuti kurikulum yang diterapkan di Indonesia. Apalagi, tambah dia, guru asing tersebut kemungkinan akan memiliki persoalan bahasa.
"Guru-guru kita sebenarnya punya potensi baik, tetapi beban kurikulum dan beban administrasi yang begitu berat membuat mereka sibuk dengan hal-hal yang tidak perlu," ujarnya.
Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim juga menilai wacana pemerintah mengundang guru dari luar negeri untuk menjadi tenaga pengajar di Indonesia keliru.
"Menko PMK kurang bijak," ujar Satriwan kepada reporter Tirto.
Satriwan menyampaikan secara nasional kondisi Indonesia tidak kekurangan guru. "Bahkan menurut data, kita sudah oversupply guru dari sekitar 3,2 juta guru di berbagai tingkatan yang mengajar saat ini."
Menurut Satriwan, jika wacana tersebut digulirkan lantaran nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) masih terbilang rendah—dengan angka 67,00 dari skala 100 pada 2017—berarti perlu ada peningkatan kompetensi guru. Salah satunya, tambahnya, adalah dengan pemberian pelatihan.
Lebih lanjut, Satriwan mengatakan jika impor guru benar-benar terealisasi, artinya pemerintah putus asa dalam memberdayakan guru dalam negeri.
Berikutnya dilansir dalam REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Unifah Rasidi, mengatakan tegas menolak impor guru. Ia menyebut impor guru ini bisa mengancam nasionalisme dan menganggu rasa keadilan guru honorer.
“Itu (impor guru) mengancam kesatuan, nasionalisme, dan perbedaan budaya. Lebih baik angkat para guru honorer ini dan melatih profesionalisme mereka serta meningkatkan kesejahteraan mereka,” ucap Unifah kepada Republika.co.id, Ahad (12/5). Lagipula ucap dia saat ini jumlah guru di Indonesia masih sangat banyak, terutama masih banyaknya guru honorer.
Itu hanya satu kebingungan saja, masih banyak tanda tanya lainnya yang tak ada jawaban. Buntu, seolah rakyat tak diberi kesempatan bahkan untuk sekedar mengurai masalah.
Sebenarnya tidaklah sulit menjawab itu semua. Kuncinya adalah sistem yang berdiri tegak di negeri ini, yaitu Sistem Demokrasi yang merupakan turunan dari Kapitalis-Sekularis. Dimana landasan dari segala sesuatu adalah asas manfaat. Maka wajar kebijakan yang dibuat justu menimbulkan masalah baru, tindakan tanpa dasar yang justru menyengsarakan.
Coba kita bandingkan dengan ketika Islam mengatur, dari segi pendidikan saja sudah memancarkan sebuah kesejahteraan. Begitu mulianya perhatian khalifah (kepala negara) untuk segala aspek mengenai pendidikan kaum muslim.
Sebagai perbandingan, Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar
( 1 dinar = 4,25 gram emas) (sekitar 29 juta rupiah dengan kurs sekarang).
Begitu pula ternyata perhatian para khalifah bukan hanya tertuju pada gaji para pendidik dan biaya sekolah, tetapi juga sarana lainnya, seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja’far bin Muhammad (wafat 940M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan kepada para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberikan pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut Ar Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi masa kekhalifahan abad 10 Masehi.
Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.
Berdasarkan sirah Nabi saw. dan tarikh Daulah Khilafah Islam (lihat Al Baghdadi, 1996), negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban negara yang diambil dari kas baitul maal (kas negara).
Sistem pendidikan bebas biaya tersebut berdasarkan ijma’ sahabat yang memberi gaji kepada para pendidik dari baitul maal dengan jumlah tertentu. Contoh praktisnya adalah Madrasah Al Muntashiriah yang didirikan khalifah Al Muntahsir di kota Baghdad. Pada sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar. Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan, seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian.
Masih banyak lagi kehebatan sistem pendidikan Islam yang tidak bisa diuraikan satu persatu. Ingat, itu baru satu bagian, bagaimana dengan aspek lainnya? Bukankah Islam mengatur di segala bidang? Maka kalian akan tercengang dengan sejarah keislaman, sebuah negeri yang bahkan tidak ada dalam dongeng. Adanya bagai mercusuar di tengah lautan. Buktinya adalah bertahan selama 13 abad lamanya.
So, masih mau bertahan dengan keadaan? Masih mau diam, menjadi mainan pengusa, dan jadi budak barat?
Bangunlah dari tidurmu sobat, ingat kaum muslim saat ini begitu dilenakan dengan kenikmatan semu. Disihirkan dengan begitu apik, hingga melupakan tempat sejati. Dibutakan dengan kepalsuan sejarah yang berhasil melupakan umat akan sebuah masa yang amat cemerlang. Hingga perjuangan segelintir orang hanya dianggap mimpi di siang bolong.
Namun kita harus tetap ingat dengan hadits Rasulullah saw. yang sejatinya adalah suatu keniscayaan akan terjadinya.
"...kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, Beliau diam,” (HR. Imam Ahmad).
Maka demi itu semua, tidak ada alasan bagi kita seluruh umat muslim (khususnya bagi kita para remaja, penerus estafet perjuangan) untuk pasrah akan keadaan. Lantas menyimpulkan atas segala usaha yang tak kunjung menemui titik cerahnya. Ingatlah, semakin pekatnya malam adalah tanda bahwa fajar akan segera tiba.
Sedikit lagi, kita hanya perlu memaksimalkan upaya dalam perjuangan ini. Hingga layaklah kita diberikan kemenangan hakiki. Yakni tegaknya Khilafah 'ala minhaaj an-nubuwwah.
Wallahu'alam bi ashawwab.
Post a Comment