Soal HAM: PBB Bermuka Dua

Penulis : Wulan Eka Sari, 
Aktivis Mahasiswi
Sempat tertunda beberapa tahun, pemerintah Brunei kini telah memberlakukan hukum syariah yang lebih ketat. Aturan hukum syariah yang lebih ketat ini mengancam para pelaku LGBT, terutama bagi pria yang melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis, dengan hukuman mati dengan cara dirajam. (kompas.com, 5 April 2019).
Pemberlakukan hukum syariah di Brunei ini mendapat kecaman dari PBB. PBB menyebut kebijakan ini kejam dan tidak manusiawi. Jika diterapkan, ini menandai kemunduran serius tentang perlindungan hak asasi manusia bagi rakyat Brunei, ungkap Bachelet, Kepala Urusan HAM di PBB. (Merdeka.com, 2 April 2019) 
Berkaitan dengan kecaman PBB tersebut bisa dianalisa sebagai berikut:

Pertama, kita tahu bahwa Barat sangat kental dengan ide kebebasan. Pasalnya sejak tahun 2008 PBB mengakui hak-hak LGBT di Majelis Umum. (Wikipedia). Tak mengherankan jika mereka mengecam pelaksanaan hukuman rajam bagi LGBT. Puncak keberhasilan mereka adalah dengan melegalkan pernikahan sesama jenis. Belanda 2001, Belgia (2003), Spanyol (2005), Kanada (2005), Afsel (2006), Norwegia  Swedia (2009), Portugal  Islandia  Argentina (2010), Denmark (2012), Brazil  Inggris  Prancis  Selandia Baru  Uruguay (2013), Skotlandia (2014), Luxemburg  Finlandia  Slovenia  Irlandia  Meksiko (2015), Amerika Serikat (2015), Taiwan dan Terakhir Australia. (Islampos) Tidak lain tujuan dari kebebasan ini adalah untuk depopulasi manusia.

Kedua, terkait kecaman PBB bahwa penerapan hukum rajam bagi LGBT mengancam HAM. Tidak kita pungkiri bahwa lembaga internasional semacam PBB adalah alat legitimasi penjajahan Barat. Pasalnya mereka senantiasa menanamkan nilai-nilai sekuler atas nama HAM sehingga pelaksanaan syariat islam mereka kecam. Sementara itu, mereka tidak berani memberi sanksi bagi yang telah  nyata-nyata melanggar HAM seperti Israel yang membunuh warga sipil, wanita dan anak-anak palestina yang tak berdosa. Cina yang menyiksa muslim Uyghur, pembantaian muslim di Rohingya, pembakaran muslim di Mali, dan lain sebagainya yang membuat dada ini sesak. Namun nampaknya HAM tak berlaku untuk kaum Muslimin. Inilah adalah bentuk penjajahan.

Ketiga, dalam PBB hanya ada lima Negara yang memiliki hak veto, yaitu: Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Cina dan Rusia (dulu Uni Soviet). Maka jelas PBB sejatinya tidak memperjuangkan nasib kaum muslim. Yang ada, PBB hanyalah alat Amerika Serikat dan sekutunya untuk menyebarkan ide-ide sekuler dan kebebasan serta untuk mengusai dunia. Oleh karena itu sebenarnya  kaum muslim tidak layak bergantung kepada PBB.

Keempat, maka penjajahan Barat melalui lembaga internasional ini hanya bisa dilawan dengan institusi politik islam global yakni Khilafah. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia. Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam dan menyampaikan islam ke seluruh muka bumi. Para imam mazhab yang empat telah bersepakat bahwa imamah (khilafah) adalah wajib dan hanya dalam sistem khilafah hukum-hukum islam dapat diterapkan secara totalitas.

Kelima, Khilafah tidak menindas kaum minoritas. Orang-orang non muslim dilindungi oleh Negara dan tidak dipaksa meninggalkan key akinannya untuk memeluk agama islam. Jiwa, harta, rumah, kehormatan tetap dilindungi oleh Negara dan tidak seorangpun boleh melanggar aturan ini. 
Keenam, justru politik islamlah yang sangat menitikberatkan kepada nilai kemanusiaan tanpa menganl bangsa ataupun agama. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan khalifah Bayezid II, beliau telah menyelamatkan sebanyak 1500 pelarian Yahudi dari kekejaman Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Khalifah Bayezid II mengirim armadanya ke Cadiz dan Seville untuk membawa pulang mereka yang tertindas ke Turki untuk diberi perlindungan dan hak yang sama seperti rakyat lain.

Post a Comment

Previous Post Next Post