Politik Berbasis Islam VS Politik Berbasis Kapitalisme


Oleh : Muliyanum 
(Aktivis Dakwah dan Pemerhati Sosial )

Kita selalu menjumpai dalam sistem demokrasi setiap pemilu, pilkada, pileg dan perebutan kursi jabatan selalu diwarnai kecurangan dan politik uang. Kenapa seperti itu? Jelas karena dalam demokrasi politik itu dilakukan hanya untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Sebab dalam alam demokrasi, kekuasaan adalah segala-galanya. Kekuasaan diperoleh dengan berbagai cara termasuk kecurangan dan politik uang.

Seperti yang di liris Compas.com APAKAH politik uang masih ada? Bagaimana caranya dilakukan? Aiman membuktikannya, nyata. Tidak perlu jauh-jauh, dekat dengan pusat kota. Masih di Jakarta.

Politik uang, money politics, vote buying, serangan fajar, apa pun istilahnya, marak terjadi jelang pencoblosan. Aktivitas terlarang ini terdengar sulit dibuktikan. Para pelaku bergerak di masa tenang hingga hari-H pencoblosan. Apa yang dilakukan? Bagaimana caranya? Entahlah. Tapi yang jelas, politik uang masih kerap kita dengar.

Penelitian yang dilakukan peneliti psikologi politik Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk, mendapatkan, keterpilihan seorang calon ditentukan oleh tiga hal: diketahui, dikenal, dan disukai.

Cara tercepat agar seorang calon mendapatkan ketiga syarat itu adalah dengan tatap muka dalam bentuk apa pun, disengaja ataupun tidak disengaja, dan memberikan bantuan. Dengan dua cara ini, konsep diketahui, dikenal, dan disukai, akan semakin melekat pada calon. Tapi ada cara instan untuk mendapatkan suara tanpa harus bersusah payah mengejar tiga syarat di atas.

Dalam kesempatan wawancara dengan program AIMAN, Profesor Hamdi Muluk mengungkapkan, hanya dengan politik uang seorang caleg bisa menembus kontestasi dan menjadi pemenang.

Ini masuk akal karena di antara sekian banyak jumlah caleg yang dipampang tentu hanya sedikit yang diingat. Paling banter diingat kalau tidak saudara ya tetangga. Namun, banyak orang yang tidak mengenal siapa caleg di wilayahnya. Persoalan ini dipecahkan dengan memberikan "sesuatu" kepada para pemilih.

Hanya 5 km dari pusat Ibu Kota. Tak perlu jauh bagi saya untuk menemukan praktik politik uang seperti ini. Saya hanya mengembara dalam radius sekitar 5 kilometer dari pusat Ibu Kota Jakarta dan menemukan praktik politik uang secara terang benderang.

Saya menemukan sebuah perkampungan padat. Di sana banyak dihuni oleh warga asli dan juga warga keturunan yang merupakan pendatang selama puluhan tahun bahkan lebih. Daerah itu dikenal sebagai pusat perdagangan grosir dan sentra industri mikro dan kecil rumahan.

Di tempat itu saya bertemu dengan seorang koordinator. Ia adalah seorang ibu setengah baya yang bertugas membagi-bagikan “sesuatu”.

Ia memiliki salinan lengkap daftar nama dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di sebuah tempat pemungutan suara (TPS). Nama-nama dalam TPS ini sebagian telah ia lingkari.

Saya bertanya kepada si ibu, "Apa artinya lingkaran di nama pemilih ini, Bu?" 
“Ooo, itu orang yang sudah saya beri?” jawab si ibu.
“Apa yang ibu beri?” 
"Ada banyak. Biasanya sembako, terkadang ada uang juga." 
"Berapa?"
"Uang Rp 100.000."
“Kalau sembako?”
"Yah, yang biasa untuk masak saja. Ada beras, minyak goreng, mi instan, gula, teh, gitu Pak,"  jawabnya.

Yang menarik, dalam daftar TPS itu, tercatat ada 273 nama. Si ibu bertekad "memberikan lingkaran" kepada seluruh nama di TPS tersebut alias memberikan "titipan pencoblosan" kepada seluruh peserta pemilih di TPS. Pesannya, cobloslah caleg yang sudah memberikan “sesuatu” kepada mereka.

Caleg itu orang ternama. Ia anggota Dewan dari partai papan atas di negeri ini dan kerap menang pemilihan.

Setelah memberikan sesuatu, si ibu selalu meminta fotokopi KTP sebagai bukti bahwa ia telah memberikan sesuatu kepada si pemilih itu.

Ke mana kemudian si ibu memberikan laporan? Jawabannya ke tim sukses sang caleg.

Siapa yang dipilih?
Pertanyaannya, apakah ada jaminan bahwa si pemilih mencoblos caleg itu di bilik suara? Tentu tidak.

Si ibu koordinator itu tidak sendiri. Dari penelusuran saya, ternyata ada sejumlah ibu lain yang juga menjadi koordinator bagi caleg lain dari partai yang sama ataupun berbeda.

Ada caleg lain yang juga “bergerilya” di tempat itu. Caleg ini selalu menang di tingkat kelurahan.

Ini adalah fakta dari penelitian yang diungkapkan Profesor Hamdi Muluk di atas. Betapa berpengaruhnya vote buying demi terpilihnya seorang kandidat politik.

Lalu bagaimana dengan capresnya?
Ternyata pesan yang disampaikan kepada pemilih oleh ibu koordinator tadi satu paket. Tidak hanya diminta untuk mencoblos caleg tertentu, tapi juga partai dan pasangan capres.

Politik uang di era digital
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, mengungkapkan, di zaman modern saat ini begitu banyak cara yang dilakukan untuk terpilih melalui politik uang. Lebih dari 40 kasus dibongkar dan semuanya sudah diadili.

Tapi, ia meyakini masih banyak lagi di luar sana yang melakukan hal serupa. Bahkan, di era digital saat ini, politik uang dilakukan cashless alias nontunai. Kasus terakhir yang ditemui, ada puluhan warga yang diberi imbalan token listrik untuk memilih caleg tertentu. Kasus itu sekarang tengah bergulir di meja hukum.
Luar biasa!

Itulah politik model demokrasi, yang telah "menyihir" pengikut setianya. Tentu saja, kenyataan seperti ini tidak dapat dilepaskan dari paradigma politik sekuler yang selama ini diterapkan.

Berbicara politik dalam kacamata barat sekuler berarti berbicara tentang kekuasaan. Artinya, orang-orang yang berkiprah dalam dunia politik sekarang senantiasa memfokuskan perhatiannya pada bagaimana meraih dan mempertahankan kekuasaan. Jika tidak dapat berkuasa sendirian, maka Bagaimana kekuasaan itu dibagi-bagi (power sharing). Terjadilah kompromi untuk sama-sama mempertahankan kekuasaan.

Sistem demokrasi meniscayakan permainan politik uang utk meraih kekuasaan. Berbagai cara digunakan utk meraih suara terbanyak.

"Madzhab-madzahab politik secara keseluruhan selalu beredar di sekitar pembahasan khilafah. Khilafah adalah imamah al-kubra (imamah agung)

Post a Comment

Previous Post Next Post