Pemilu Dalam Demokrasi, Pemilihan penguasa Dalam Islam

Oleh : Sania Nabila Afifah
Komunitas Muslimah Rindu Jannah.

Pemilu adalah hajatan yang hanya diadakan rutin lima tahun sekali. Semua rakyat berpartisipasi menyambutnya dengan antusias dan harapan agar paslon yang dipilihnya menang dan berharap kemudian bisa mengubah nasib bangsa Indonesia lima tahun ke depan. Pemilu kali ini benar-benar memilukan super heboh karut-marut dibandingkan pemilu tahun-tahun sebelumnya. 

Pemilihan penguasa dalam sistem demokrasi identik dengan materi, mahalnya biaya yang harus dikeluarkan, ribet, rentan dengan kecurangan. Semua cara dilakukan hanya untuk meraih kekuasaan dan jabatan, bahkan yang lebih memilukan sampai menimbulkan korban. Ya begitulah realita pemilu saat ini. Masihkah berharap mendapat sosok pemimpin sesuai harapan umat. Yang amanah, jujur, adil dan tentunya bertaqwa?

Sepertinya itu adalah sesuatu yang mustahil terwujud dalam kondisi saat ini.

Begitu pula pemimpin yang terpilih dalam sistem demokrasi hanya menerapkan aturan buatan manusia, bukan hukum yang lain. Karena paham sekular yang dianut saat ini,  berakibat pada pemutusan  agama dalam segala aspek kehidupan. Norma-norma agama sengaja dijauhkan, dipisahkan dari kehidupan. Padahal secara hakiki jika identitas kita mayoritas Muslim, yang wajib terikat dengan hukum syara’.

Masa jabatan dalam kepemimpinan secara berkala (5 tahun maksimal dua periode). Beda sekali dengan sistem Islam dimana masa jabatan itu tidak ditentukan kecuali ada pelanggaran terhadap syariah dan tidak memenuhi syarat-syarat menjadi Khalifah.  

Dalam demokrasi sangat kental sekali dengan bagi-bagi kekuasaan. Jauh berbeda dengan Islam yang mana para pembantu khalifah, aparatur negara diangkat oleh Khalifah dengan pertimbangan yang didasarkan pada syariah Islam.

Pemilihan pemimpin dalam Islam melibatkan rakyat tetapi bukan untuk menjalankan kehendak rakyat tetapi dipilih untuk menerapkan hukum syariah. Khalifah dipilih oleh rakyat tetapi bisa dipecat, karena pemberhentian khalifah dilakukan oleh mahkamah madzalim disebabkan jika melanggar syariah.

Pemilu dalam Negara Khilafah

Negara Khilafah adalah Khalifah itu sendiri. Karena itu, kekuasaan di dalam Negara Khilafah berbeda dengan kekuasaan dalam negara-negara lain. Maka, negara Khilafah tidak mengenal pembagian kekuasaan (sparating of power), sebagaimana yang diperkenalkan oleh Montesque dalam sistem negara Demokrasi. Meski demikian, kekuasaan dalam sistem pemerintahan Islam tetap di tangan rakyat. Khalifah yang berkuasa dalam Negara Khilafah juga tidak akan bisa berkuasa, jika tidak mendapatkan mandat dari rakyat.

Hanya saja, meski Khalifah memerintah karena mandat dari rakyat, yang diperoleh melalui bai’at in’iqad yang diberikan kepadanya, namun rakyat bukan majikan Khalifah. Sebaliknya, Khalifah juga buruh rakyat. Sebab, akad antara rakyat dengan Khalifah bukanlah akad ijarah, melainkan akad untuk memerintah rakyat dengan hukum Allah. Karena itu, selama Khalifah tidak melakukan penyimpangan terhadap hukum syara’, maka dia tidak boleh diberhentikan. Bahkan, kalaupun melakukan penyimpangan, dan harus diberhentikan, maka yang berhak memberhentikan bukanlah rakyat, tetapi Mahkamah Mazalim.

Karena itu, sekalipun rakyat juga mempunyai representasi, baik dalam Majelis Wilayah maupun Majelis Umat, tetapi mereka tetap tidak mempunyai hak untuk memberhentikan Khalifah. Selain itu, representasi rakyat ini juga tidak mempunyai hak legislasi, seperti dalam sistem Demokrasi, sebagaimana konsep sparating of power-nya Montesque, yang memberikan mereka kekuasaan legislasi. Karena kekuasaan dalam Islam sepenuhnya di tangan Khalifah, dan dialah satu-satunya yang mempunyai hak legislasi. Dengan begitu, representasi rakyat ini hanya mempunyai hak dalam check and balance.

Pemilu Majelis Umat
Meski posisi Majelis Umat bukan sebagai legislatif, tetapi mereka tetap merupakan wakil rakyat, dalam konteks syura (memberi masukan) bagi yang Muslim, dan syakwa (komplain) bagi yang non-Muslim. Karena itu, anggota Majelis Umat ini terdiri dari pria, wanita, Muslim dan non-Muslim. Sebagai wakil rakyat, maka mereka harus dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk atau diangkat. Mereka mencerminkan dua: Pertama, sebagai leader di dalam komunitasnya. Kedua, sebagai representasi.
Sebelum dilakukan Pemilu Majelis Umat, terlebih dahulu akan diadakan Pemilu Majelis Wilayah. Majelis Wilayah ini dibentuk dengan dua tujuan:

1-  Memberikan informasi yang dibutuhkan wali (kepala daerah tingkat I) tentang fakta dan berbagai kebutuhan wilayahnya. Semuanya ini untuk membantu dalam menjalankan tugasnya sehingga bisa mewujudkan kehidupan yang aman, makmur dan sejahtera bagi penduduk di wilayahnya.

2- Menyampaikan sikap, baik yang mencerminkan kerelaan atau komplain terhadap kekuasaan wali.

Dengan demikian, fakta Majelis Wilayah ini adalah fakta administratif untuk membantu wali, dengan memberikan guidance kepadanya tentang fakta wilayah, kerelaan dan komplain terhadapnya. Namun, Majelis Wilayah ini tidak mempunyai kewenangan lain, sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Umat.

Pemilihan Majelis Umat didahului dengan pemilihan Majelis Wilayah, yang mewakili seluruh wilayah yang berada di dalam Negara Khilafah. Mereka yang terpilih dalam Majelis Wilayah ini kemudian memilih anggota Majelis Umat di antara mereka. Dengan demikian, pemilihan Majelis Wilayah dilakukan oleh rakyat secara langsung, sedangkan Majelis Umat dipilih oleh Majelis Wilayah.

Anggota Majelis Wilayah yang mendapatkan suara terbanyak akan menjadi anggota Mejelis Umat. Jika suaranya sama, maka bisa dipilih ulang. Demikian seterusnya, hingga terpilihlah jumlah anggota Majelis Umat yang dibutuhkan. Masa jabatan mereka sama dengan masa jabatan Majelis Wilayah. Karena permulaan dan akhirnya bersamaan. Khalifah bisa menetapkan, masa jabatan mereka dalam UU Pemilu, selama 5 tahun, atau lebih. Semuanya diserahkan kepada tabanni Khalifah.

Tiap Muslim maupun non-Muslim, baik pria maupun wanita, yang berakal dan baligh mempunyai hal untuk dipilih dan memilih anggota Majelis Umat. 

Pemilihan Khalifah
Dalam kondisi terjadinya kekosongan kekuasaan, dimana Khalifah meninggal dunia, diberhentikan oleh Mahkamah Mazalim atau dinyatakan batal kekuasaannya, karena murtad atau yang lain, maka nama-nama calon Khalifah yang telah diseleksi oleh Mahkamah Mazalim, dan dinyatakan layak, karena memenuhi syarat: Laki-laki, Muslim, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu, diserahkan kepada Majelis Umat.

Majelis Umat segera menentukan dari sejumlah nama tersebut untuk ditetapkan sebagai calon Khalifah. Bisa berjumlah enam, sebagaimana yang ditetapkan pada zaman ‘Umar, atau dua, sebagaimana pada zaman Abu Bakar. Keputusan Majelis Umat dalam pembatasan calon Khalifah ini bersifat mengikat, sehingga tidak boleh lagi ada penambahan calon lain, selain calon yang ditetapkan oleh Majelis Umat ini.

Baik Mahkamah Mazalim maupun Majelis Umat, dalam hal ini akan bekerja siang dan malam dalam rentang waktu 2 hari 3 malam. Mahkamah Mazalim dalam hal ini bertugas melakukan verifikasi calon-calon Khalifah, tentang kelayakan mereka; apakah mereka memenuhi syarat in’iqad di atas atau tidak. Setelah diverifikasi, maka mereka yang dinyatakan lolos oleh Mahkamah Mazalim diserahkan kepada Majelis Umat.

Selanjutnya, Majelis Umat akan melakukan musyawarah untuk menapis mereka yang memenuhi kualifikasi. Pertama, hasil keputusan Majelis Umat akan menetapkan 6 nama calon. Kedua, dari keenam calon itu kemudian digodok lagi hingga tinggal 2 nama saja. Ini seperti yang dilakukan oleh ‘Umar dengan menetapkan 6 orang ahli syura, kemudian setelah itu mengerucut pada dua orang, yaitu ‘Ali dan ‘Utsman.

Perlu dicatat, pengangkatan Khalifah ini hukumnya fardhu kifayah, sehingga tidak mesti dipilih langsung oleh rakyat. Jika kemudian ditetapkan, bahwa Majelis Umat yang akan memilih dan mengangkatnya, maka kifayah ini pun terpenuhi. Jika kifayah ini dianggap terpenuhi, maka Khalifah bisa dibai’at dengan bai’at in’iqad. Setelah itu, baru seluruh rakyat wajib membai’atnya dengan bai’at tha’ah.

Gambaran dan mekanisme di atas berlaku jika Khilafah sudah ada, dan Khalifah meninggal, berhenti atau dinyatakan batal. Namun, ini akan berbeda jika Khilafah belum ada, dan kaum Muslim belum mempunyai seorang Khalifah, dimana bai’at belum ada di atas pundak mereka wajib berupaya mewujudkan adanya seorang Khalifah. Dikutip dari Global muslim.web.id
Wallahu a’lam bi ash-shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post