Penulis : Aniyatul Ain, S.Pd
(Pendidik)
Tidak bisa dipungkiri kita sudah memasuki era dimana semua serba digital dan perkembangan teknologi semakin canggih. Masa demi masa menemui titik mutakhir kehidupan. Tercatat pada tahun 1700-an, ditemukannya mesin uap dan alat transportasi menjadi tanda dimulainya revolusi industri tahap pertama (RI 1.0), yang berefek secara luas menggantikan tenaga manusia atau hewan di pabrik-pabrik atau pertambangan.
Berlanjut ke era industri yang kedua (RI 2.0) yang dimulai sejak tahun 1800-an, terhitung sejak ditemukannya listrik yang digunakan secara massif untuk melakukan berbagai pekerjaan manufaktur. Dengan ditemukannya listrik ini, industri bisa dihasilkan secara maksimal, bisa diproduksi secara massal seperti produksi kain, baju, dsb.
Selanjutnya, era industri yang ketiga (RI 3.0) yakni terhitung sejak tahun 1900-an dengan ditemukannya internet dan semakin menunjukkan perkembangan yang pesat memasuki RI 4.0 ditandai dengan tiga teknologi kunci yaitu: Internet of Things (IoT), BigData dan Artificial Intelegence (AI).
Tatanan dunia berubah. Kehidupan yang dihadapi saat ini serba terkoneksi dan mudah. Tidak perlu susah payah jika menginginkan sesuatu karena semua terbantukan oleh internet yang terkoneksi dengan alat elektronik. Manusia zaman sekarang jika ingin berbelanja tidak perlu susah payah keluar rumah, terjebak macet, dsb. Tinggal aktifkan smartphone yang ada dalam genggaman tangan, kemudian hubungkan dengan pusat-pusat perbelanjaan online. Pembayaran bisa dilakukan dari smartphone yang sudah terhubung dengan nomer rekening kita.
Begitupula jika para ibu di rumah yang dilanda “malas” masak, namun perut keroncongan ingin langsung santap makanan. Langsung saja nyalakan smartphone, cari pusat-pusat kuliner, pilih jenis makanan, pesan lewat aplikasi pengantar makanan, transfer, tidak lama kemudian makanan yang ditunggu pun datang dan siap disantap. Begitu mudah dan cepat.
Namun, disamping menyajikan berbagai kemudahan, kemajuan teknologi ibarat “pisau bermata dua” yang akan menyimpan side effect yang mungkin tidak dikehendaki manusia. Banyak kalangan merasa khawatir peran manusia sungguhan di era RI 4.0 ini tergantikan dengan teknologi buatan manusia. Terbukti di berbagai negara maju, sudah banyak ditemukan taxi tanpa sopir (driverless car). Perusahaan perbankan banyak “merumahkan” pegawainya karena peran mereka sudah banyak terganti oleh kecerdasan buatan. Tentu ini menjadi tantangan yang harus sama-sama dihadapi dan diselesaikan jika ditemui problem ikutannya. Mengingat kualitas tenaga kerja di Indonesia masih dibawah negara lain. Berdasarkan data Global Talent Competitiveness, index kualitas tenaga kerja Indonesia berada di peringkat 77 dari 119 negara.
Oleh karenanya di era RI 4.0 ini mutlak dibutuhkaan SDM kualitas handal, yang perannya tidak tergantikan dengan kecerdasan buatan. Tentu manusia handal seperti ini tak henti-hentinya tekun belajar. Belajar menekuni berbagai bidang. Dengan tekun belajar, wawasan mereka semakin luas dan berkembang. Artinya, dalam mewujudkan SDM yang handal di era RI 4.0 ini butuh ilmu untuk menjalaninya. Dengan ilmu yang mumpuni manusia akan diangkat derajatnya oleh Allah. Maha benar Allah yang berfirman: “...Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: Al-Mujadalah ayat 11).
Selain itu, mereka juga harus peka mengamati berbagai fenomena di sekitarnya. Hal ini mendorongnya untuk melakukan berbagai terobosan-terobosan baru yang bersifat inovatif. Terobosan ini didapat dari mengembangkan gagasan yang dimiliki dan memanfaatkan ketersediaan teknologi yang ada. Misal: kita bisa belajar dari beroperasinya ojek online yang sebelumnya kita hanya mengenal jasa transportasi ojek pangkalan. Manusia butuh jasa cepat dan praktis. Kebutuhan akan jasa yang cepat yang terkoneksi dengan smartphone mendorong seseorang berinovasi dengan membuat aplikasi yang memudahkan kehidupan manusia. Padahal ojek pangkalan saat ini masih kita temukan. Hanya saja, tetap ojek online yang dicari pelanggan ketika ada kebutuhan mendesak dan penting. Tinggal pesan lewat smartphone, para driver ojek online sudah standby, tak perlu kita berjalan kaki dahulu ke pangkalan untuk memesan jasa transportasi ini.
Mungkin ke depan, akan kita temukan berbagai jenis aplikasi penyedia jasa cepat dan murah. Misal: aplikasi ambulans online yang sangat dibutuhkan masyarakat menengah ke bawah ketika mereka terbaring sakit tidak berdaya sehingga harus cepat dilarikan ke rumah sakit. Mengingat kalangan menengah ke bawah tidak semua memiliki kendaraan pribadi. Tentu ini sangat potensial selain juga memberi banyak manfaat ke semua orang.
Selain berilmu dan berinovasi, hal yang tak kalah penting adalah tetap menjaga nilai-nilai akhlak/ nilai-nilai karakter di tengah gempuran budaya asing. Inilah sejatinya “perangkat” yang tidak bisa dipisahkan dari manusia yang tidak dimiliki oleh robot secanggih apapun. Dengan menggenggam nilai-nilai akhlak, manusia yang hidup di era RI 4.0, tidak akan gelisah memikirkan urusan rizki yang mereka ikhtiarkan. Mereka paham, ranah manusia hanya berusaha semaksimal mungkin. Adapun urusan hasil, diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Hal ini penting, untuk menjaga kewarasan diri agar terhindar dari depresi. Di satu sisi, termotivasi untuk selalu bekerja keras, namun di sisi yang lain mereka pun bertawakkal dengan sepenuh hati.
Dengan nilai akhlak ini manusia juga tetap memperhatikan aturan-aturan agama yang tidak boleh dilanggar. Semisal: dalam menggapai sesuatu, tidak menghalalkan segala cara, tidak menipu, mereka akan selalu berkata benar dan jujur, disiplin, menghormati atasan dan menyayangi bawahan, dll. Kecerdasan emosional ini tidak terprogram dalam Intellegence Aritifical. Manusialah subjek peradaban sesungguhnya.
Terakhir, peran negara pun penting untuk bertanggung jawab dalam mengatur “lalu lintas” RI 4.0. Karena hanya negaralah yang mempunyai peran untuk mengendalikan berjalannya RI 4.0 agar tidak merusak tatanan kehidupan sosial, menciptakan keadilan, tidak menghancurkan lingkungan dan terpenting tidak berambisi menguasai (menjajah) negara lain dengan memanfaatkan pesatnya perkembangan teknologi. Ilmu pengetahuan tanpa norma agama buta, norma agama tanpa ilmu pengetahuan pincang. Peran negara sangat penting untuk mencapai “equilibrium” sosial ini.
Post a Comment