Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Pengasuh Grup Online Obrolan Wanita Islamis ( BROWNIS)
Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Tengah mengungkap sindikat tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari hasil tindak pidana narkotika senilai Rp3,2 miliar lebih. Kasus itu terungkap dari penangkapan seorang tersangka bernama Fachrul Razi alias Yamani Aburizal alias Arahman di Kalimantan, pada Selasa, 26 Maret 2019 lalu.
Kepala BNNP Jawa Tengah, Brigadir Jenderal Polisi M Nur, mengatakan, kasus besar TPPU jaringan gembong narkoba ini berawal dari penangkapan seorang berinisial Dedi Kurnia di Kota Semarang pada November 2017. Gembong narkoba sendiri dikendalikan oleh Christian Jaya Kusuma alias Sancai, yang sudah ditangkap karena mengendalikan peredaran narkoba dari dalam Lapas (Viva.co.id, 5/4/2019).
Narkoba benar-benar masih menjadi komoditas primadona di negeri ini. Artinya permintaan masih tinggi. Hukum menjadi gagu dihadapan penguasa namun tajam kebawah. Ujungnya penjara, justru menjadi ajang reuni para penjahat dari mulai kelas teri hingga kakap. Seharusnya ketika seseorang yang berbuat kriminal, kemudian hasil persidangan memutuskan dia bersalah dan harus menerima hukuman penjara. Maka penjara menjadi tempat terakhir ia berbuat kriminal karena berakhir dengan pertobatan.
Namun di Indonesia dan di banyak negara yang lain yang menerapkan penjara sebagai salah satu hukuman ternyata tidak semua menghasilkan rasa jera. Bahkan malah bisnis yang semula tertunda bisa kembali dijalankan dari balik penjara. Dengan karyawan baru yaitu para sipir dan sesama narapidana.
Belum lagi tahun lalu viral berita tentang penjara mewah. Seakan menunjukkan setiap fasilitas yang didapat narapida adalah sesuai besarnya tindak kriminal yang telah mereka lakukan. Koruptor beda dengan maling ayam. Artinya hukuman penjara tidak efektif. Uang jauh lebih berkuasa menentukan penjara macam apa yang akan ia tempati. Pada akhirnya banyak menimbulkan kegelisahan karena tidak berhasil mengurangi angka kriminal, malah justru makin bertambah. Masalah barupun muncul. Penjara overload misalnya.
Inilah solusi tambal sulamnya sistem demokrasi. Karena UU yang tidak kompatible menghukumi setiap kejahatan. Hanya hukum syariat yang mampu menghentikan ketidak efektifan ini. Bahkan akan mewujudkan keadilan yang hakiki. Karena tidak setiap kejahatan diganjar penjara. Diberlakukannya qisos, jinayat dan hudud adalah hukuman yang tidak saja menjadikan pelaku kejahatan jera namun juga menjadi peringatan bagi mereka yang melihat eksekusinya. Kemudian seorang qadhi ( hakim) biasa atau hisbah, tidak setiap persengketaan antar masyarakat tanpa harus menggunakan gedung peradilan, sehingga menghemat waktu pemutusan perkara dan pemberian hukuman dan sanksi. Islam tak hendak menyulitkan, karena hukum telah dibuat oleh yang paling bijaksana yaitu Allah SWT. Manusia dengan segala kelemahannya tak ada ranah untuk membuat hukum sendiri sebagaimana hukum hari ini. Wallahu a' lam biashowab.
Post a Comment