Oleh: Safiatuz Zuhriyah, S.Kom
Aktivis Forum Muslimah Ciputat
Seiring dengan membesarnya dukungan umat terhadap khilafah, para pembenci pun angkat bicara. Mereka tidak tinggal diam. Setelah dalil tentang kewajiban penegakannya tidak bisa dipatahkan, mereka pun menakut-nakuti umat dengan dalih keberagaman. Tuduhan-tuduhan bernada tendensius dan berbau fitnah kerap kali dilontarkan.
Dilansir oleh kumparan.com, Akbar Risaldi mempertanyakan tentang hak keberagaman dalam khilafah adalah mustahil. Ia berpendapat, khalifah yang mungkin hanya dari seorang muslim saja sudah bertentangan dengan cita-cita demokrasi Pancasila yang menjamin kesetaraan manusia di depan pendidikan, hukum, juga kebebasan berpendapat dan berserikat. Lalu, bagaimana dengan hal-hal lain? Sederhana saja, umat Kristen tidak mengharamkan babi, lalu apakah nanti umat Kristen tidak boleh makan babi di Negara Islam? Kita juga tahu, bahwa dalam bingkai Pancasila saja umat beragama lain kadang masih kesulitan menjalankan ibadah, lalu bagaimana nasib mereka jika agama dijadikan alasan untuk kekuasaan?"
Pluralisme dan Pluralitas
Dalam kondisi saat ini, orang cenderung menyamakan antara pluralisme dan pluralitas. Padahal, ada perbedaan mendasar di antara keduanya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan semua agama sama. Oleh karena itu, kebenaran semua agama adalah relatif. Maka itu, pemeluk agama tak boleh mengklaim hanya agamanya yang benar sedangkan agama lainnya salah.
Pluralisme agama juga menyatakan semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Berdasarkan pengertian itu, MUI memfatwakan pluralisme agama bertentangan dengan Islam dan muslim haram mengikuti paham itu. “Dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif.”
Dalam artian, haram mencampuradukkan akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah umat beragama lainnya.
Allah Swt berfirman: "Bagiku agamaku dan bagimu agamamu" (Q.S. al-Kafirun: 6) dan "Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam" (Q.S. Ali Imran: 19).
Sedangkan pluralitas menurut wikipedia adalah keberagaman atau kemajemukan yang terdapat dalam suatu bangsa yang mendorong tumbuhnya persatuan dan kesatuan. Jenis-jenis pluralitas seperti pluralitas dalam agama, pluralitas dalam budaya, pluralitas dalam suku bangsa, pluralitas dalam pekerjaan dan lain-lain. Pluralitas adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri pasti ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengelolaan keberagaman (pluralitas) dalam sistem sekuler, mengandung bahaya penghalalan apa-apa yang diharamkan Allah dan pengharaman apa-apa yang dihalalkan Allah. Karena menganggap bahwa seluruh keberagaman dalam masyarakat harus mendapatkan tempat yang sama. Meskipun berupa sesuatu yang menyimpang atau bertentangan dengan aturan Allah. Misalnya pelegalan perilaku LGBT, kebebasan berpindah-pindah agama, maupun kebebasan menyebarkan pemikiran kufur.
Perlakuan Negara Islam Terhadap Nonmuslim
Allah menurunkan syariat Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Apapun warna kulit, agama, ras dan latar belakangnya. Allah Swt berfirman: "Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam". (QS. al-Anbiya: 107)
Islam memberikan pengaturan paripurna untuk menangani urusan kaum muslimin maupun nonmuslim yang hidup dalam daulah khilafah. Penerapan syariat terhadap nonmuslim merupakan metode praktis dakwah Islam kepada mereka. Supaya orang-orang yang belum memeluk Islam tersebut bisa melihat kebenaran Islam dengan hidup berdasarkan sistem Islam itu sendiri, serta mengalami kedamaian dan keadilan hukum Allah Swt.
Dalam hukum Islam, warga negara khilafah yang nonmuslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”. Islam menganggap semua orang yang tinggal di negara khilafah sebagai warganegara. Semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.
Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya: “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad)
Imam Qarafi menyinggung masalah tanggung jawab negara terhadap ahlu dzimmah. Ia menyatakan, “Kaum muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahlu dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga, sekalipun kaum Muslim memang memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat Islam juga harus memberikan masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang bermaksud menyakiti mereka, mencuri dari mereka, atau merampas hak-hak mereka.”
Para ahlu dzimmah ini punya kedudukan yang sama sebagai warga negara. Sebagaimana kaum muslimin, mereka pun berhak menjadi pegawai negeri, berhak atas kehidupan yang layak, dilindungi harta benda dan jiwanya, serta sama kedudukannya di depan hukum.
Para ahlu dzimmah juga punya hak untuk memilih dan dipilih sebagai anggota majelis umat. Kaum nonmuslim berhak menjadi anggota Majelis Umat, untuk menampung aspirasi kalangan mereka terhadap perlakuan hukum oleh penguasa pada diri mereka, atau untuk mengoreksi kesalahan implementasi hukum Islam atas diri mereka.
Negara tidak akan memaksa kaum nonmuslim untuk masuk Islam. Karena ia adalah bagian dari keimanan yang tidak bisa dipaksakan. Allah Swt berfirman: "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (QS. al-Baqarah: 256). Ayat ini menyatakan bahwa negara Islam tidak diperbolehkan memaksa orang-orang non-Islam untuk meninggalkan kepercayaan mereka.
Dalam hal makanan dan pakaian, kaum nonmuslim boleh mengikuti aturan agama mereka. Dengan syarat dilakukan di tempat privat. Tidak diekspose di depan publik. Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: “Islam membolehkan ahlu dzimmah meminum minuman keras, memakan daging babi, dan menjalankan segala aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat.”
Kaum nonmuslim diijinkan untuk saling menikah antar mereka berdasarkan keyakinannya. Mereka dapat dinikahkan di Gereja atau Sinagog oleh Pendeta atau Rabbi. Mereka juga dapat bercerai menurut aturan agama mereka. Syariat juga membolehkan seorang lelaki muslim untuk menikahi perempuan Ahli Kitab.
Hanya saja, dalam kehidupan publik dan pengaturan sosial kemasyarakatan, semua warga negara wajib terikat dengan aturan Islam sebagai hukum positif yang diterapkan oleh negara. Seperti sistem sanksi, sistem peradilan, sistem pemerintahan, ekonomi, dan kebijakan luar negeri, diterapkan oleh negara tanpa memandang muslim atau nonmuslim.
Atas dasar hal ini, jelas bahwa Islam tidak pernah menghalangi keberagaman. Justru kaum nonmuslim dapat berinteraksi dengan baik dalam masyarakat Islam. Agama-agama Yahudi, Nasrani, dan lainnya hanya memiliki aturan yang membahas masalah manusia dengan Tuhan dan manusia dengan dirinya sendiri. Dalam dua jenis hubungan tersebut, hukum Islam memungkinkan nonmuslim untuk mengikuti keyakinan mereka sendiri. Maka, tidak ada potensi konflik dengan nonmuslim dalam masalah ini.
Sedangkan dalam hubungan yang mengatur sesama manusia, yaitu hubungan kemasyarakatan dan muamalah, kaum nonmuslim tidak memiliki aturan mengenai masalah ini. Karena itu, mereka harus mengadopsi sebuah sistem untuk kehidupan mereka di tengah-tengah masyarakat. Khilafah Islam, bilamana diterapkan, sejauh ini merupakan sistem yang paling berhasil dalam mengintegrasikan nonmuslim ke dalam masyarakat Islam. Berbagai pemberontakan dan perpecahan yang dilakukan kaum nonmuslim yang hidup di negara Islam pada zaman dahulu, seperti kaum Kristen di Yunani dan Libanon, terjadi karena adanya campur tangan Inggris dan Perancis yang mendukung pemberontakan tersebut sebagai salah satu upaya menghancurkan khilafah.
Dengan demikian, khilafah bukanlah ancaman yang perlu ditakuti oleh kaum nonmuslim. Khilafah adalah sebuah negara yang akan membawa umat manusia keluar dari kegelapan dan penindasan sistem kapitalis, menuju cahaya dan keadilan Islam. Perlakuan khilafah pada kaum nonmuslim semacam inilah yang kemudian membuat banyak orang memeluk agama Islam. Jumlah orang yang pindah agama sangat besar sekali hingga akhirnya seluruh suku di Jazirah Arab memeluk Islam. Para penguasa negara pada masa lalu pun banyak yang menulis surat kepada khalifah agar menerapkan Islam atas mereka. Inilah sebabnya mengapa orang Kristen Ashsham berperang di sisi umat Islam dalam menghadapi serangan tentara salib Eropa yang hendak menyerang negara mereka.
Maka, sudah selataknya kita bersama-sama mengusahakan tegaknya khilafah demi sebuah peradaban yang bermartabat. Dan menjadikan konsep Islam sebagai rahmatan lil alamin benar-benar terwujud.
Wallahu 'alam bishshawab.
Post a Comment