Oleh : Eli Marlinda
Politisasi Agama
Tim Kampanye Nasional Jokowi - Ma'ruf menilai acara Munajat 212 yang digelar pada tanggal 21 Februari 2019, sangat kental nuansa kampanye dan merupakan bagian dari politisasi agama (Nasional.tempo.co, 22/2/2019).
Narasi yang sama juga disampaikan oleh Ketua Tim Kampanye 01 Daerah Jawa Barat, Dedi Mulyadi mengimbau masyarakat dan elite politik untuk menghentikan politisasi agama, "Hentikan politisasi di bidang agama mulai tahun 2019. Fokus saja pada program kerja dan visi serta kinerja pembangunan yang akan diusung pada periode ke depan," (kompas.com, 31/12/2108).
Isu Politisasi Agama Demi Meraih Kekuasaan
Politisasi agama di tahun politik adalah hal yang biasa. Sejak para penjajah bercokol di negeri ini, Islam tidak sungguh-sungguh digunakan sebagai standar dalam berbuat atau mengatur kehidupan. Sementara para ulama dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan. Saat ulama tidak lagi dibutuhkan, maka akan ditinggalkan dan tidak jarang juga dikriminalisasi.
Masa penjajahan Belanda misalnya, seorang ulama keturunan Arab diperalat oleh kolonial Belanda padahan Beliau adalah ulama yang memberikan fatwa. Karena diperalat, Beliau sering menyakiti hingga merugikan gerakan islam atau saat itu disebut Serikat Islam.
Pada masa penjajahan Jepang pun ulama diperalat. Di depan konferensi dakwah, KH. Wahid Hasyim menyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda dan Jepang mengetahui bagaimana kedudukan ulama di tengah masyarakat. Makanya para ulama sering dijadikan alat untuk meraih kekuasaan dan mempertahankan kekuasaannya.
Hal demikian akan terus dilakukan, ulama akan terus diperalat demi mendapatkan apa yang diinginkan. Masa pemerintahan orde lama hingga orde baru dan sampai saat ini pun terus diperalat. Inilah wajah asli Demokrasi, para ulama rentan masuk jebakan penguasa serta dijadikan sebagai legitimasi kebijakan.
Islam dan Politik
Istilah politisasi agama (tasyis ad-din) sebenarnya bukanlah istilah netral, melainkan istilah yang terkait dengan suatu pandangan hidup (worldview, weltanschauung) Barat, yaitu sekularisme. Dalam masyarakat sekular Barat, pemisahan politik dari agama adalah suatu keniscayaan. Karena itu politisasi agama dipandang ilegal.
Ini tentu berbeda dengan Islam yang tidak memisahkan agama dari urusan kehidupan masyarakat, termasuk politik. Politik (as-siyasah) adalah bagian integral dari Islam. Dikatakanlah, Al-Islam din[un] wa minhu ad-dawlah (Islam adalah agama dan politik adalah bagian dari agama).
Ibnu Taimiyah berkata, “Jika kekuasaan (as-sulthan) terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Lihat: Ibnu Timiyah, Majmu’ al-Fatawa, 28/394).
Allah SWT berfirman: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Ali Imran: 110)
Dari dasar inilah kemudian Ulama memiliki peranan politik yaitu Muhasabah lil Hukam (mengoreksi penguasa) agar kembali ke jalan yang semestinya. Bukan kemudian justru ada ulama yang mengkritik dianggap sebagai lawan dan dikriminalisasikan.
Inilah Fakta demokrasi saat ini, sudah banyak ulama yang bersikap kritis kepada penguasa menjadi korban seperti Habib Riziek dan Ulama kondang yang jujur seperti Ust.Abdul Somad. Masih berharap pada demokrasi?
Wallahu a'lam
Post a Comment