(Penulis Bela Islam, “Sejahtera Dengan Islam”)
Berita adanya Apel Kebangsaan yang menghadirkan artis dan tokoh nasional di Semarang menarik perhatian publik. Pasalnya, acara yang diselenggarakan Minggu, 17 maret 2019 lalu menelan biaya hingga milyaran rupiah. Dalam website http://lpse.jatengprov.go.id/eproc4/lelang/14413042/pengumuman lelang disebutkan nama tender “Pengadaan Kegiatan Apel Kebangsaan Jawa Tengah Tahun 2019 Rampak Senandung Kebangsaan” memiliki nilai pagu paket Rp 18.764.420.000,00. Anggaran berasal dari APBD 2019 dengan instansi Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dengan satuan kerja Badan Kesatuan bangsa dan Politik (Detiknews, 15/3/219).
Acara tersebut digelar di kawasan Simpang Lima Semarang dengan 4 panggung, yakni panggung utama di lapangan Simpang Lima, kemudian di Jalan Pahlawan, Jalan Pandanaran dan Jalan Ahmad Yani. Kegiatannya dibagi dalam dua segmen dan dimulai pukul 06.00 pagi. Segmen pertama Suara Kebangsaan dan segmen kedua Orasi serta Deklarasi Kebangsaan.
Penyelenggaraan Apel Kebangsaan itu tidak saja membuat publik terkejut tapi juga membuat gemas beberapa kalangan. Direktur Materi Debat BPN Prabowo-Sandi, Sudirman Said mengatakan bukan mempermasalahkan apel-nya, namun khawatir disisipi pesan “memilih calon” tertentu. Sebab ada pengerahan ASN disana dan juga penggunaan dana APBD yang terkesan untuk kelompok masyarakat tertentu bukan keseluruhan.
Meriahnya Apel Kebangsaan Merah Putih yang menelan biaya 18 miliar hanya dapat dinikmati kalangan tertentu, namun tak bisa dinikmati oleh para korban bencana di negeri ini ataupun masyarakat yang mengalami himpitan hidup tak berkesudahan. Bencana banjir bandang yang menimpa warga Sentani, Papua nyatanya hanya mendapat bantuan 1 miliar rupiah. Padahal harusnya dana 18 miliar lebih tepat dipergunakan rakyat yang membutuhkan, terutama rakyat yang ditimpa bencana. Ungkapan miris terucap dari seorang Aktivis Kemanusiaan, Natalius Pigai, dalam akun twitter pribadinya. Ia mengungkapkan kekecewaannya, “Bantuan BPBP Papua hanya 1 miliar untuk rakyat Sentani, Tuhan jaga bangsa saya”, ungkapnya.
Pernyataan berbeda dilontarkan oleh Prof. Mahfudz MD saat usai menghadiri acara apel kebangsaan di Semarang, Menurutnya biaya tersebut terbilang murah dibandingkan iklan yang disebar secara nasional, bisa menghabiskan puluhan miliar, imbuhnya.
Itulah berbagai komentar pejabat dan tokoh publik memandang budget yang digelontorkan pemerintah dalam acara apel kebangsaan tersebut. Tergantung dari sudut mana dan motif apa, hanya publik yang bisa menyimpulkan mana pembela rakyat mana pendukung rezim.
Fakta kesulitan hidup yang menghimpit rakyat Indonesia sepertinya tidak menarik simpati penguasa pusat dan daerah. Pesta Demokrasi beberapa minggu ke depan lebih menjadi prioritas elit politik ketimbang jeritan rakyat. Masing-masing kubu dan pendukungnya sibuk berupaya mencari dukungan meski harus merogoh APBN ataupun APBD. Mereka lupa, dana yang diambil itu semuanya milik rakyat. Namun, saat rakyat membutuhkan terkesan cuek dan tak perduli.
Memang demikian adanya ulah sistem beserta birokrasinya saat ini. Siapapun dan dimanapun ia, selama ada dalam naungan ideologi non-Islami akan terjerat berbagai aktivitas “mencengangkan”. Berharap dengan sekuat tenaga penguasa dan petinggi negeri berpihak kepada rakyat tentu sangat sulit, mengapa ? Sebab, sudah menjadi watak dan tabiat ideologi kufur (baca : kapitalisme, sekularisme dan liberalisme) menyimpangkan manusia dari fitrah ketaatan pada aturan yang hakiki yakni Islam dan syariahnya.
Islam dan syariatnya merupakan wujud ‘agama dan kekuasaan’. Menurut Imam al-Ghazali keduanya ibarat saudara kembar. Agama adalah asas/pondasi, sementara kekuasaan adalah penjaga, masing-masing memilki kontribusi penting yang tak bisa dipisahkan.
Mengingat betapa pentingnya umat Islam diatur oleh penguasa taat syariat (Allah dan RasulNya), maka tak akan dijumpai penguasa amanah, jujur, adil dan menjadi pelindung di era saat ini. Gambaran itu hanya ada dalam wujud seorang pemimpin seluruh kaum Muslim yang disebut Khalifah atau Amirul Mukminin dalam sistem Islamnya. Sosoknya menjadi tumpuan harapan umat. Bersamanya kebahagiaan dunia dan akherat bukan sekedar angan kosong. Kasih sayang yang terjalin antara pemimpin dan rakyat berlandaskan keimanan dan ridha Illahi, ada mahabbah dan muhasabah disana.
Terkait riayah pemimpin dengan harta umat, terdapat perbedaan pemasukan negara di alam kapitalis seperti sekarang, dengan anggaran pemasukan negara Islam. APBN ataupun APBD lebih mengandalkan pemasukannya dari pajak rakyat dan utang padahal kekayaan Indonesia melimpah.
Kekayaan alam Indonesia itu yang sejatinya menjadi andalan pemasukan negara untuk kepentingan rakyat nyatanya diserahkan dan dikelola kaum kapital/pemilik modal bukan pemerintah. Sehingga tak heran permasalahan ekonomi rakyat selalu menuai carut-marut akibat tingginya pajak dan hutang negara.
Polemik terkait penyalahgunaan dana rakyat tak akan terjadi pada sosok penerap syariah. Rasul Saw sebagai teladan umat telah mencontohkannya langsung. Harta yang diperoleh Rasulullah dari pos ghanimah dan zakat senantiasa didistribusikan segera untuk kepentingan umat sebelum malam tiba. Pun halnya dengan para Khulafaur Rasyidin dan khalifah-khalifah selanjutnya. Mereka meng-audit harta umat dari berbagai pendapatan (kekayaan alam, zakat, rampasan perang, pajak, dll) untuk dikelola sebesar-besarnya demi kemaslhatan masyarakat dalam lembaga yang disebut Baitul Maal. Bahkan para pejabat negara-pun tak luput dari audit Khalifah. Semuanya dilakukan agar para pelayan rakyat (pemerintah) tak terjerat harta haram yang bukan menjadi haknya.
Dengan demikian perbedaan mendasar penyaluran harta untuk rakyat terletak pada penguasa dan sistemnya. Penguasa dalam sistem kapitalis bertabiat ke arah manfaat. Penyaluran harta dalam APBN ataupun APBD tergantung keuntungan materi yang didapat. Penggelontoran dana 18 miliar dalam konteks politis dengan hiburan dan hura-huranya tentu dianggap tak seberapa dibanding musibah yang dialami warga Sentani, Papua khususnya atau warga Indonesia umumnya. Kampanye politik tak bisa dilakukan setiap saat, sementara korban bencana bisa ditangani lain hari. Jadi, jargon “Cinta NKRI Harga Mati” faktanya bohong, karena rakyat yang menjadi warga negara RI ini tak dicintainya, termasuk didalamnya aset publik dan SDA-nya diserahkan secara sukarela kepada orang asing.
Penguasa dalam sistem Islam dengan Khilafahnya bertabiat ke arah ridho Allah SWT. Tolok ukur perbuatannya adalah hukum syara’ bukan materi apalagi manfaat. Keberadaannya tak lebih seperti pengembala dan pelayan bagi rakyatnya. Bagaimana umat yang menjadi tanggung jawabnya tercukupi kebutuhannya, terjaga harta dan keluarganya serta tersolusikan permasalahnnya. Oleh karena itu aktivitas prioritas Khalifah adalah ‘umat’ dan pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah pada saat Yaumul Hisab.
Wallahu a’lam.
Post a Comment