N3, Kalimantan Timur, - Semenjak Tanoto Foundation bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kemenag mengenalkan skenario pembelajaran memakai unsur MIKIR (Mengalami, Interaksi, Komunikasi dan Refleksi), banyak guru di Kaltim yang kreatif dalam mengajar. Mereka berusaha membuat pembelajaran jadi menyenangkan dan sesuai karakter anak-anak. Salah satunya bu Lusi Ambarani, guru kelas II dari Madrasah Nahdatul Ulama Balikpapan. Ia mengajar pecahan pada siswa dengan memakai media kue enak yang disukai anak-anak : kue donat.
“Ini adalah salah satu cara saya agar siswa menjadi senang belajar matematika. Kebanyakan siswa takut dengan matematika kalau kita mengajar tidak dengan cara yang menyenangkan dan sesuai karakter mereka,” ujar bu Lusi.
Nah bagaimana caranya ia mengajar pecahan dengan memakai donat?
Pertama, ibu Lusi tidak langsung membagikan donat pada siswa, tapi lebih dahulu mengajak mereka mengamati kertas biru yang dia modelkan sebagai donat. Ibu Lusi bertanya pada para siswa, kalau ia memiliki donat yang harus dibagi adil pada salah satu siswa, maka apa yang harus ia lakukan? Para siswa menjawab donat tersebut harus dibagi dua.
Setelah itu, ibu Lusi menempelkan kertas biru tersebut di papan tulis dan meminta siswa menentukan berapa besar jadinya dari salah satu bagian donat tersebut. Para siswa langsung menjawab setengah bagian. Ibu Lusi kemudian menuliskan angka ½ di papan tulis dan mengajarkan bahwa yang diatas disebut pembilang dan yang dibawah disebut penyebut dalam sebuah pecahan.
Selanjutnya ibu Lusi mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain yang mengarahkan siswa mengerti 1/4, 1/5 dan seterusnya. Misalnya dengan pertanyaan “Ibu punya selembar kertas berbentuk lingkaran dan mau dibagi 4 sama rata? Berapakah nilai masing-masing kertas yang telah dibagi empat?”
Setelah siswa mengerti konsepnya, mereka dibagi menjadi lima kelompok. Kali ini ibu Lusi benar-benar memberikan mereka kue donat dan pemotongnya. Masing-masing kelompok diberi tugas membagi donat berdasarkan angka pecahan yang ia berikan. Tiap kelompok mendapatkan angka yang berbeda-beda, misalnya 1/7, 1/8, 1/9 dan seterusnya.
Disinilah waktu yang amat menyenangkan, para siswa memotong-motong kue donat yang diberikan sesuai angka pecahan yang diberikan. Mereka sangat antusias!
Apalagi setelah selesai kegiatan itu, para siswa diajak saling mengunjungi hasil kerja kelompok. Difasilitasi oleh ibu Lusi, para siswa mengoreksi pekerjaan kelompok lainya. Dengan saling berkunjung seperti ini, siswa sambil bermain diajak bu Lusi untuk memahami apa yang ia kerjakan dan dikerjakan temannya.
“Siswa gembira sekali mengunjungi hasil karya teman-temannya. Apalagi setelah itu, kue kue yang dijadikan media belajar dimakan bersama-sama, mereka begitu gembira!” cerita bu Lusi tentang siswa-siswanya.
Namun permainan belum selesai. Untuk menguji kemampuan siswa, bu Lusi juga meminta siswa secara individu membuat sendiri soal pecahan dan membuat gambarnya.
Karena sudah mengetahui konsep yang diajarkan, siswa sangat cekatan menjawab. Salah satu siswa misalnya menuliskan angka 1/3, kemudian menggambar sebuah persegi panjang, lalu dibagi menjadi 3 bagian sama besar. Adapula yang menuliskan bilangan 1/10 dan menggambar sebuah lingkaran yang ia bagi menjadi 10 bagian, layaknya pizza.
“Anak-anak menikmati sekali pembelajaran matematika dengan cara begini. Mereka gembira sekaligus cepat mengerti,” kata bu Lusi antusias.
Mengutip penelitian INAP Kemendikbud tahun 2016, Indonesia dikategorikan masuk kondisi darurat matematika. 77,6 persen siswa SD di seluruh Indonesia memiliki kompetensi matematika yang sangat rendah, 20,58 cukup dan hanya 2,29 persen yang kategori baik. Hal ini disinyalir salah satu sebabnya adalah karena kurangnya kemampuan metodologi pembelajaran matematika oleh guru. “Model pembelajaran yang ibu Lusi lakukan perlu disebarluaskan, agar siswa semenjak dini menyukai matematika, pelajaran yang seringkali jadi momok bagi para siswa, “ ujar Mustajib, Communication Specialist Tanoto Foundation Kalimantan Timur.
Post a Comment