Nusantaranews.net ~ Pemerintah memilih sikap realistis dalam menetapkan asumsi
makro nilai tukar rupiah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
2017 sebesar Rp13.700 hingga Rp14.200 per Dolar Amerika Serikat.
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Mardiasmo mengatakan
asumsi kurs dalam APBN 2017 ditetapkan Rp13.700 hingga Rp14.200 per Dolar AS.
Batas atas asumsi makro ini lebih tinggi dari asumsi APBN
2016 sebesar Rp13.900 per Dolar AS.
Batas bawah asumsi makro tersebut juga lebih tinggi dari
realisasi nilai tukar Rupiah sepanjang kuartal I tahun ini yang menguat ke
level Rp13.276 per Dolar AS.
Angka inipun lebih tinggi dari asumsi makro yang akan
ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016
sebesar Rp13.500 per Dolar AS.
Selain nilai tukar rupiah, pemerintah menetapkan pagu
indikatif asumsi pertumbuhan ekonomi APBN 2017 sebesar 5,5% hingga 5,9%.
Asumsi inflasi bergerak antara 3% hingga 5%. Asumi tingkat
imbal balik Surat Perbendaharaan Negara (SPN) berada di level 5,5% hingga 6,5%.
Adapun asumsi harga minyak Indonesia (Indonesia Crude
Price/ICP) sebesar US$35 per barel hingga US$45 per barel.
Asumsi lifting minyak bumi sebesar 740.000 hingga 750.000
barel per hari dan asumsi lifting gas bumi sebesar 1.050 hingga 1.150 juta
barel setara minyak per hari (MMscfd).
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual menilai
sikap pemerintah sudah cukup realistis. Secara fundamental nilai tukar rupiah
bakal terus melemah mengingat tingkat inflasi Indonesia masih tinggi.
Dia menghitung nilai fundamental rupiah tahun depan berada
di kisaran Rp13.500 hingga Rp14.000 per Dolar AS.
Bahkan prediksi penguatan rupiah sepanjang kuartal pertama
tahun ini bakal terhenti di semester II/2016.
Rupiah bakal kembali terseok karena sentimen rencana Bank
Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve—The Fed—menaikkan suku bunga pada
semester II tahun ini.
Selain itu, sentimen pelemahan ekonomi China yang mendorong
aksi devaluasi juga berpotensi membuat rupiah semakin terperosok.
Pemerintah bisa melakukan dua langkah pencegahan untuk
menghalau sentimen negatif ini.
Pertama, mendorong Undang-undang pengampunan pajak (tax
amnesty) agar arus modal makin besar melaju ke Indonesia (capital inflow).
Selain itu, pemerintah harus serius melaksanakan
implementasi paket kebijakan I hingga XI agar efektif menarik modal masuk.
Saat ini Presiden Joko Widodo tengah berkunjung ke Eropa.
Salah satu gol utama kunjungan ini untuk menarik investasi sebesar-besarnya
dari Benua Biru.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) telah menandatangani
komitmen investasi senilai US$875 juta dengan pengusaha Jerman. Adapun potensi
investasi dari Inggris senilai US$1 miliar.
Di sisi lain, dia membuka kemungkinan adanya sentimen
sementara yang memperkuat nilai tukar rupiah tahun depan.
Namun, ia meminta pemerintah berhati-hati terhadap penguatan
ini.
Apresiasi nilai tukar rupiah yang terlalu kuat menyebabkan
ekspor komoditas Indonesia tidak kompetitif. Hal ini berseberangan dengan
ambisi pemerintah untuk mendorong industri manufaktur
Ekonomi Indonesia di tahun 2017 masih akan menemui tantangan
dari sisi eskternal. Adrian Panggabean, Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk
mengatakan, dari sisi eskternal seperti prospek kenaikan Fed Funds Rate (FFR)
sebanyak tiga kali pada tahun mendatang akan memberikan dampak terhadap nilai
tukar (kurs).
“Hal ini akan menciptakan tren penguatan dolar Amerika
Serikat (AS) secara global,” katanya, jelang akhir pekan kemarin. Tren
penguatan ini akan berdampak negatif terhadap pelemahan mata uang rupiah dan
perekonomian nasional.
Meski demikian, dia menilai kenaikan tingkat suku bunga di
AS serta akan relatif kuatnya mata uang dolar belum tentu menguntungkan
perekonomian negeri Paman Sam tersebut.
Pasalnya, struktur perekonomian AS masih menunjukkan
pelemahan dengan menurunnya tingkat produktivitas, lemahnya dinamika di pasar
tenaga kerja, serta masih kurang kuatnya pertumbuhan produk domestik bruto
(PDB) secara nominal.
“Ini membuka kemungkinan temporernya sifat penguatan mata
uang dollar ASdi tahun 2017,” tambahnya.
Untuk menghindari efek negatif tersebut, perlu
diberlakukannya kebijakan dari pemerintah yang dapat meningkatkan produktivitas
tenaga kerja dan modal, menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, serta menjaga
angka inflasi pada level yang rendah.
Post a Comment