Nusantaranews.net - Kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit pada Bank
Pembangunan Daerah (BPD) Sumatera Barat (Sumbar), yaitu Bank Nagari,
masih berada di penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) daerah setempat,
sejak penyidikan dimulai pada Januari 2015.
"Kasusnya masih terus dilanjutkan dan tengah diproses oleh penyidik
hingga saat ini. Statusnya menunggu hasil audit dari Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP)," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum
Kejati Sumbar Yunelda di Padang, Senin.
Hingga saat ini, katanya hasil audit dari BPKP tersebut masih belum diterima oleh penyidik pada Kejati Sumbar dari BPKP.
"Hasil audit BPKP itu diperlukan dalam kasus ini. Sebagai dasar penghitungan kerugian keuangan negara yang sah," jelasnya.
Ia mengatakan bahwa pihaknya akan segera menuntaskan kasus itu hingga bisa segera dilimpahkan ke pengadilan.
Dalam perjalanannya kasus dugaan korupsi itu telah diproses sejak
lama oleh pihak Kejati Sumbar. Surat Perintah Penyidikan (Sprindik)
terhadap kasus itu telah dikeluarkan sejak januari 2015.
Namun setelah dilakukan dua kali penggantian Kepala Kejaksaan Tinggi
(Kajati) yaitu Sugiyono, dan Widodo Supriyadi (pindah Oktober 2016),
kasus itu masih belum selesai dan dinaikkan ke tingkat penuntutan.
Dalam kasus itu penyidik sudah menetapkan empat nama sebagai
tersangka, yaitu mantan Wakil Pemimpin Cabang Utama RM, Pemimpin Bagian
Kredit R, loan officer H, dan pengusaha peminjam HA.
Hingga saat ini ke empat tersangka yang ditetapkan tidak dilakukan penahanan.
Selain itu saat Kajati Sumbar dijabat oleh Sugiyono, pada Maret
2015, penyidik juga telah melakukan penyitaan uang sebesar Rp 14 Miliar
terkait kasus tersebut.
Berdasarkan hasil
penghitungan penyidik sementara kerugian negara yang timbul akibat kasus
itu diperkirakan sebesar Rp19,4 miliar.
Kasus itu berawal saat pengusaha HA atas nama PT Chiko, mengajukan
permohonan kredit kepada Bank Nagari pada akhir 2010. HA mengajukan
permohonan kredit modal kerja dan investasi sebesar Rp23 miliar dengan
masa pengembalian 60 bulan (5 tahun).
Hanya saja, diduga dalam pemberian kredit tersebut diproses tidak sesuai dengan prosedur, namun tetap diberikan.
Salah seorang jaksa penyidik Badrut Tamam, diwawancarai sebelumnya menyebutkan jika kasus ibarat pembobolan bank.
"Berdasarkan penyidikan kami kasus ini dalam bahasa frontalnya
bagaikan pembobolan bank secara bersama, karena diduga uang pinjaman
diproses tanpa prosedur dan persyaratan yang benar," jelasnya.
Menurutnya, pemberian kredit kepada tersangka HA dengan jumlah
sebesar Rp22,7 miliar seharusnya tidak dilakukan begitu mudah. (*)
Post a Comment