Nusantara ~ Pelemahan nilai tukar rupiah yang menyentuh level Rp 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS) harus diwaspadai pemerintah Joko Widodo (Jokowi). Namun depresiasi kurs ini diperkirakan hanya bersifat temporer dan perlu diperkuat sampai balik ke level kisaran 12.500 per dolar AS hingga 13.000 per dolar AS.
Ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Tony Prasetiantono menilai, pemerintah perlu mewaspadai potensi krisis yang selalu menghantui perekonomian negara ini, meski saat ini Indonesia belum masuk dalam kondisi tersebut.
"Apalagi dengan kurs 14.000 per dolar AS yang membuat orang takut. Apapun alasannya, itu tidak benar," ucap dia saat berbincang di Jakarta, seperti ditulis Rabu (3/9/2015).
Menurut Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM itu, level kurs yang mencapai 14.000 per dolar AS bukan titik keseimbangan rupiah. Tony berpendapat, kondisi ini hanya bersifat sementara dan harus diupayakan menguat ke level ideal.
"Ini bukan keseimbangan dan tidak akan permanen. Artinya, rupiah seharusnya bisa kembali ke level yang lebih masuk akal yaitu Rp 13.000 atau mudah-mudahan bisa Rp 12.500 per dolar AS," terang Tony.
Keadaan yang terjadi saat ini, kata dia, hanya faktor kepanikan yang berlebihan. Celakanya lagi, sambungnya, setiap orang yang merasakan kecemasan, kerap memilih dolar AS sebagai investasi.
"Kalau dulu kan cemas masih bisa pegang mata uang Euro atau Yen. Tapi sekarang Yen tidak bisa dipegang karena ekonomi Jepang sedang stagnan, sementara Euro, masih ada kemungkinan negara-negara zona Eropa akan bubar jika ekonomi Yunani semakin jebol dan disusul negara lain, seperti Portugal, Spanyol serta negara Eropa Selatan," jelas dia.
Tony meyakini bahwa kurs rupiah akan kembali menguat karena setiap pelemahan pasti ada batasnya. Begitupun dengan penguatan dolar AS lantaran Negaranya ikut terkena dampak dari fenomena super dolar ini.
"Jangan mikir setelah rupiah 14.000, lalu 15.000, sampai 17.000 per dolar AS. Tetap ada batasnya. AS juga tidak akan suka dolarnya terlalu menguat, capek mereka, turis tidak ada yang datang, ekspor terganggu, impor barang China makin membludak," tegas dia. **
Ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Tony Prasetiantono menilai, pemerintah perlu mewaspadai potensi krisis yang selalu menghantui perekonomian negara ini, meski saat ini Indonesia belum masuk dalam kondisi tersebut.
"Apalagi dengan kurs 14.000 per dolar AS yang membuat orang takut. Apapun alasannya, itu tidak benar," ucap dia saat berbincang di Jakarta, seperti ditulis Rabu (3/9/2015).
Menurut Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM itu, level kurs yang mencapai 14.000 per dolar AS bukan titik keseimbangan rupiah. Tony berpendapat, kondisi ini hanya bersifat sementara dan harus diupayakan menguat ke level ideal.
"Ini bukan keseimbangan dan tidak akan permanen. Artinya, rupiah seharusnya bisa kembali ke level yang lebih masuk akal yaitu Rp 13.000 atau mudah-mudahan bisa Rp 12.500 per dolar AS," terang Tony.
Keadaan yang terjadi saat ini, kata dia, hanya faktor kepanikan yang berlebihan. Celakanya lagi, sambungnya, setiap orang yang merasakan kecemasan, kerap memilih dolar AS sebagai investasi.
"Kalau dulu kan cemas masih bisa pegang mata uang Euro atau Yen. Tapi sekarang Yen tidak bisa dipegang karena ekonomi Jepang sedang stagnan, sementara Euro, masih ada kemungkinan negara-negara zona Eropa akan bubar jika ekonomi Yunani semakin jebol dan disusul negara lain, seperti Portugal, Spanyol serta negara Eropa Selatan," jelas dia.
Tony meyakini bahwa kurs rupiah akan kembali menguat karena setiap pelemahan pasti ada batasnya. Begitupun dengan penguatan dolar AS lantaran Negaranya ikut terkena dampak dari fenomena super dolar ini.
"Jangan mikir setelah rupiah 14.000, lalu 15.000, sampai 17.000 per dolar AS. Tetap ada batasnya. AS juga tidak akan suka dolarnya terlalu menguat, capek mereka, turis tidak ada yang datang, ekspor terganggu, impor barang China makin membludak," tegas dia. **