N3, Jakarta ~ Pengamat ekonomi dari UGM Akhmad Akbar Susamto meminta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan lebih banyak menjalin kerja sama dengan rumah sakit agar bisa mengimbangi jumlah pasien yang terus bertambah.
"Salah satu masalah yang dialami BPJS ialah belum maksimalnya infrastruktur. Baru 70 persen rumah sakit yang menjalin kerja sama dengan BPJS," katanya saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Staf pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM tersebut menjelaskan, saat ini dari total 2.248 rumah sakit yang tercatat di Kementerian Kesehatan, baru 1.704 (70 persen) yang menjalin kerja sama dengan BPJS.
Jumlah rumah sakit yang telah bekerja sama dengan BPJS terdiri dari 1.696 rumah sakit utama dan delapan RS kelas D pratama, ujarnya menambahkan.
Selain itu, khusus bagi rumah sakit pemerintah juga mengalami permasalahan lain yaitu terbatasnya jumlah tenaga medis dan paramedis, terutama dokter spesialis dan fasilitas kesehatan lainnya.
Kekurangan-kekurangan tersebut membuat banyak pasien mengalami penderitaan lebih berat dan bahkan hingga meninggal dunia karena kesulitan mencari rujukan rumah sakit yang mampu menangani keluhan mereka, ujarnya.
"Kalaupun tenaga medis dan fasilitas tersedia, mereka harus antri dalam waktu lama untuk mendapatkan pelayanan seperti operasi, ICU, hingga NICU," kata Akbar.
Berdasarkan data yang ia paparkan, hingga saat ini, BPJS telah menjalin kerja sama dengan sejumlah lembaga pemerintah dan swasta, antara lain puskesmas sebanyak 9.814 unit, klinik TNI 718, dan klinik Polri 570.
Selanjutnya, klinik pratama 2.923, dokter praktek perorangan 4.314, dokter gigi 1.089, RS kelas D pratama delapan, RS 1.696, klinik utama 87, apotek, 1.777, dan optik 878.
Lembaga penelitian "Center of Reform on Economics" berpendapat persoalan yang dialami BPJS Kesehatan cenderung berakar pada aspek teknis dan nonteknis.
"Sebenarnya kelemahan dalam implementasi BPJS Kesehatan bukan hanya terkait proses akad, namun juga terkait dengan berbagai persoalan teknis dan nonteknis," ujar peneliti Core Adhamaski Pangeran.
Dia memaparkan, kelemahan tersebut antara lain kapasitas dan infrastruktur yang belum memadai, SDM yang terbatas, alokasi anggaran yang terlalu kecil, mekanisme kontrol terhadap Rumah Sakit masih lemah, dan minimnya kerja sama dengan pihak swasta.
Selain itu, kebijakan fiskal yang belum mendorong berkembangnya jasa kesehatan murah, tukasnya.**