Nn, Samarinda ~ Terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian selain dukungan anggaran untuk melaksanakan program pembangunan, pemerintah daerah juga memerlukan dukungan kewenangan, khususnya untuk kewenangan pengelolaan kawasan pedalaman dan perbatasan.
"Sekarang ini seluruh provinsi yang memiliki daerah perbatasan belum diberikan kewenangan untuk mengelola. Contohnya imigrasi, bea cukai, karantina, hubungan luar negeri, pertahanan dan kemanan masih kewenangan pusat. Daerah sama sekali punya kewenangan," keluh Gubernur Awang Faroek Ishak saat melakukan pertemuan dengan Ketua DPD RI, pekan lalu.
Menurut Awang Faroek dengan adanya UU Nomor 23 Tahun 2014, seharusnya pemerintah pusat juga bisa memberikan kewenangan penuh untuk pengelolaan perbatasan. Sehingga daerah bisa dengan leluasa dapat membangun daerah perbatasan.
"Oleh karena itu, kami minta agar pemerintah pusat kiranya bisa memberikan kewenanan penuh untuk mengelola daerah perbatasan," sambung Gubernur.
Dikatakan, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) sekarang ini ibaratnya macan ompong, tidak berfungsi apa-apa. Meski daerah berkali-kali menyampaikan aspirasi ke BNPP, tetapi tidak pernah direspon dan ditindaklanjuti.
"Oleh karena itu, kami sudah mengusulkan kepada Kementian Dalam Negeri agar urusan atau kewenangan perbatasan diserahkan sepenuhnya kepada gubernur, karena gubernur tentu lebih mengetahui permasalahan di daerahnya," tegas Awang Faroek.
Dia juga meminta kewenangan perbatasan dipercayakan kepada gubernur untuk mengelolanya. Lebih penting lagi lanjut Gubernur, membangun perbatasan haruslah orang daerah yang mengetahui daerah yang bersangkutan dan sebaiknya pembangunan dilakukan berdasarkan aspirasi masyarakat (butom up).
"Kan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Kalau masih kurang percaya dengan gubernur, silahkan bentuk UPT Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) di daerah, silahkan duitnya dipegang yang penting programnya adalah program yang diusulkan daerah yang bersangkutan," sindir Gubernur.
Dikatakan, terkait dengan program kawasan pedalaman dan perbatasan Pemprov Kaltim mempunyai program transmigrasi. Dalam waktu sepuluh tahun Pemprov akan memindahkan dua juta warga dari luar Kaltim, mulai dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Lampung serta Sulsel untuk ditempatkan di daerah pedalaman dan perbatasan.
"Sepanjang jalan perbatasan melalui program pembangunan perkebunan besar di perbatasan, di situ akan ditempatkan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dengan syarat, di sana ada transmigrasi sisipan dari warga lokal," kata Awang Faroek.
Menurutnya, dengan penempatan transmigrasi sisipan dari masyarakat lokal, maka tidak akan terjadi kecemburuan sosial, seperti yang pernah terjadi di daerah Sampit (Kalteng) beberapa tahun lalu.
"Yang terbaik adalah bagaimana sekarang kita membangun perbatasan dengan sungguh-sungguh, sesuai dengan Nawacita Presiden Jokowi-JK yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," papar Awang. mar/sul/hmsprov
Namun demikian selain dukungan anggaran untuk melaksanakan program pembangunan, pemerintah daerah juga memerlukan dukungan kewenangan, khususnya untuk kewenangan pengelolaan kawasan pedalaman dan perbatasan.
"Sekarang ini seluruh provinsi yang memiliki daerah perbatasan belum diberikan kewenangan untuk mengelola. Contohnya imigrasi, bea cukai, karantina, hubungan luar negeri, pertahanan dan kemanan masih kewenangan pusat. Daerah sama sekali punya kewenangan," keluh Gubernur Awang Faroek Ishak saat melakukan pertemuan dengan Ketua DPD RI, pekan lalu.
Menurut Awang Faroek dengan adanya UU Nomor 23 Tahun 2014, seharusnya pemerintah pusat juga bisa memberikan kewenangan penuh untuk pengelolaan perbatasan. Sehingga daerah bisa dengan leluasa dapat membangun daerah perbatasan.
"Oleh karena itu, kami minta agar pemerintah pusat kiranya bisa memberikan kewenanan penuh untuk mengelola daerah perbatasan," sambung Gubernur.
Dikatakan, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) sekarang ini ibaratnya macan ompong, tidak berfungsi apa-apa. Meski daerah berkali-kali menyampaikan aspirasi ke BNPP, tetapi tidak pernah direspon dan ditindaklanjuti.
"Oleh karena itu, kami sudah mengusulkan kepada Kementian Dalam Negeri agar urusan atau kewenangan perbatasan diserahkan sepenuhnya kepada gubernur, karena gubernur tentu lebih mengetahui permasalahan di daerahnya," tegas Awang Faroek.
Dia juga meminta kewenangan perbatasan dipercayakan kepada gubernur untuk mengelolanya. Lebih penting lagi lanjut Gubernur, membangun perbatasan haruslah orang daerah yang mengetahui daerah yang bersangkutan dan sebaiknya pembangunan dilakukan berdasarkan aspirasi masyarakat (butom up).
"Kan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Kalau masih kurang percaya dengan gubernur, silahkan bentuk UPT Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) di daerah, silahkan duitnya dipegang yang penting programnya adalah program yang diusulkan daerah yang bersangkutan," sindir Gubernur.
Dikatakan, terkait dengan program kawasan pedalaman dan perbatasan Pemprov Kaltim mempunyai program transmigrasi. Dalam waktu sepuluh tahun Pemprov akan memindahkan dua juta warga dari luar Kaltim, mulai dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Lampung serta Sulsel untuk ditempatkan di daerah pedalaman dan perbatasan.
"Sepanjang jalan perbatasan melalui program pembangunan perkebunan besar di perbatasan, di situ akan ditempatkan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dengan syarat, di sana ada transmigrasi sisipan dari warga lokal," kata Awang Faroek.
Menurutnya, dengan penempatan transmigrasi sisipan dari masyarakat lokal, maka tidak akan terjadi kecemburuan sosial, seperti yang pernah terjadi di daerah Sampit (Kalteng) beberapa tahun lalu.
"Yang terbaik adalah bagaimana sekarang kita membangun perbatasan dengan sungguh-sungguh, sesuai dengan Nawacita Presiden Jokowi-JK yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," papar Awang. mar/sul/hmsprov