Oleh: Zamri Yahya Samsuddin Al-Fauhy*
HAMPIR setiap koran terbitan kota ini, baik cetak harian maupun cetak mingguan, kebanjiran orderan iklan ucapan selamat atas diberikannya gelar Sutan Rang Kayo Nan Mudo kepada Salah satu tokoh masyarakat Tionghoa dan Tuako Himpunan Tjinta Teman (HTT) Padang Feryanto Gani oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) Delapan Suku Padang, Rabu (22/6). Pemberian gelar yang disambut hangat etnis Tinghoa tersebut, tentu bukan sembarangan. Apatah lagi, penulis mendengar proses pemberian gelar itu membutuhkan waktu yang panjang dan lama.
Kalau tidak salah, kata Fachrizal Koto yang selama ini dikenal sebagai juru bicara KAN Delapan Suku Kota Padang, usulan pemberian gelar itu telah beberapa tahun silam diajukan dan telah lama diproses, namun baru tahun ini diberikan. Butuh kajian mendalam, sehingga baru dapat gelar itu disematkan ke pundak Tuako Feryanto Gani. Salah satu pertimbangannya adalah keluarga besar Feryanto Gani sangat berjasa dalam pembangunan Nagari Delapan Suku Kota Padang dan Sumatera Barat pada umumnya.
Awalnya, penulis menganggap pemberian gelar itu biasa-biasa saja, mengingat ketokohan Tuako Feryanto Gani dan keluarganya. Kalau jasa yang menjadi alasan pemberian gelar itu, penulis sendiri termasuk kagum melihat lekat tangan dan pengorbanan Tuako Feryanto Gani untuk pembangunan daerah ini di segala bidang, termasuk kepada rekan-rekan pers. Lahirnya Perhimpunan Media Sumatera Barat (PMSB), dimana penulis salah seorang ketua yang membidangi organisasi, tak terlepas dari andil besar Tuako yang kita cintai ini.
Namun, setelah mendapat telepon dari berbagai pihak, kuping penulis mulai terasa agak panas. Suara bernas itu terutama datang dari SR. Piliang, Pemimpin Redaksi Tabloid Teras/Teras.com. Dia mempertanyakan, apakah pemberian gelar itu tidak bertentangan dengan sendi-sendi adat Minangkabau, terutama falsafah adat, “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Mamakai.” Dia pun sempat dengan ringan “menuding” walau dengan bahasa kiasan yang sangat halus, apakah PMSB ikut andil dalam pemberian gelar ini.
Pertanyaan yang lebih santun dilontarkan Pemimpin Redaksi Titian Syahrizal Galari kepada penulis via chat di facebook. Dia mempertanyakan dasar pemberian gelar itu? Apakah nantinya langkah ninik mamak Nagari Delapan Suku Padang tidak akan diikuti oleh KAN-KAN lainnya? Tidak ada hak penulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Seharusnya pertanyaan itu ditanyakan langsung kepada pemberi gelar, yaitu ninik mamak Nagari Delapan Suku Padang, bukan kepada penulis.
Piagam sumpah satie Bukik Marapalam sebagai cikal bakal lahirnya falsafah adat “ABS-SBK” itu, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Masyarakat meyakini bahwa piagam sumpah satie Bukik Marapalam disepakati oleh para pemuka adat dan ulama di puncak bukit itu masa perkembangan Islam di Minangkabau. Konsensus itu didasari oleh sifat egaliter masyarakatnya.
Konsensus tersebut muncul sebagai sintesa dari proses dialogis antara kaum adat dan agama. Namun sintesa tersebut bukan untuk menyatukan ajaran Islam dengan adat Minang, tetapi untuk saling melengkapi dan menyesuaikan. Periode kemunculan ABS-SBK itu ialah antara permulaan masuknya Islam sampai waktu masyarakat Minang menghadapi kolonial Belanda hingga pasca perang Paderi, dan Belanda memanfaatkan kesempatan itu dengan menggunakan pendekatan konflik.
Piagam sumpah satie tersebut adalah sebuah konsep dalam tataran ideologis dan dijadikan sebagai falsafah atau pedoman dalam kehidupan sosial, budaya, agama dan politik masyarakat Minang. Konsep tersebut relevan dengan Minang dalam konteks sosial-budaya sehingga falsafah itu berlaku untuk masyarakat Islam etnis Minang. Kalau ada etnis Minang yang tidak beragama Islam, maka dia akan diusir sepanjang adat. Tidak ada haknya lagi disematkan gelar-gelar adat Minangkabau, apatah lagi terlibat aktif dalam lembaga adat yang ada.
Namun, sebagai jurnalis yang sering dilibatkan dalam persoalan KAN, terutama KAN Pauh IX Kuranji Kota Padang, penulis tentu punya pendapat tersendiri. Apatah lagi, PMSB ikut “dituding” ambil bagian dalam pemberian gelar tersebut. Secara organisasi, PMSB tidak pernah merekomendasikan kepada ninik mamak Nagari Delapan Suku Padang untuk pemberian gelar itu. Namun, Tuanko Feryanto Gani sebagai salah sorang anggota Dewan Pembinan PMSB, iya.
Bukan membela, tetapi setahu penulis, sebagaimana pers relis yang dimuat media terbitan Padang dan portal berita di Sumatera Barat, dasar pemberian gelar itu mengingat jasa-jasa leluhur Tuako Feryanto Gani, yang merupakan orang etnis Tionghoa yang pertama mendarat di Muaro Padang telah berbuat banyak dalam membangun Kota Padang. Misalnya, dalam pembangunan Pasar Goan Hoat, pembangunan Pasar Tanah Kongsi, pembangunan Masjid Raya Gantiang yang dulunya bernama Masjid Raya Padang.
Tetapi, apakah pemberian gelar sang sako “Sutan Rang Kayo Nan Mudo” itu tidak bertentangan dengan falsafah adat, “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,” ini yang patut dipertanyakan. Apalagi gelar “Sutan,” sangat identik dengan syarak (agama Islam). Mestinya yang bergelar “Sutan” itu, tidak dapat tidak, haruslah beragam Islam. Dan menurut penulis, siapa pun diluar komunitas Minangkabau, dapat saja diberi gelar sang sako sepanjang bergama Islam. Namun, penulis tidak tahu pasti, apakah Tuako Feryanto Gani telah menganut agama Islam atau belum? Jika dia telah muslim, maka pertanyaan dan kekhawatiran yang timbul dari pemberian gelar itu tidak perlu lagi ada.
Langkah yang dilakukan ninik mamak Nagari Delapan Suku Padang merupakan suatu kejutan budaya yang sangat besar. Betapa tidak, kalau betul Tuako Feryanto Gani masih non muslim, KAN Delapan Suku Padang yang pertama di Alam Minangkabau memberikan gelar sang sako adat kepada orang non muslim. Dalam istilah penulis “Pandai Mamak Mencari Kemenakan” untuk membangun Nagari yang telah porak-poranda karena gempa. Wallahu’alam Bishahawab.
*Penulis adalah Ketua Bidang Organisasi
Perhimpunan Media Sumatera Barat (PMSB)
Post a Comment