KAWIN SAPASUKUAN DALAM PERSPEKTIF ADAT MINANGKABAU II

Oleh : Drs. H. Muasri Rajo Mudo

Disampaikan pada Seminar Nasional Budaya
Senat Mahasiswa Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang



III. Minangkabau Setelah Masuknya Agama Islam

Seperti disebutkan diatas bahwa sebelum masuknya Islam para pendahulu Minangkabau telah menyusun aturan-aturan hidup yang disebut hukum adat, bersumber dari akal budi serta alam sekitarnya, sesuai dengan alua jo patuik. Agama Hindu dan Budha yang masuk sebelum Islam datang juga ikut mempengaruhi cara pandang serta pola pikir. masyarakat Minangkabau pada masa itu.

Ketika Islam masuk ke Ranah ini masyarakat Minangkabau dengan mudah dapat menerimanya karena Islam yang bersumber dari AlQur’an dan Hadist mempunyai banyak kesamaan dengan hukum adat yang sebelumnya sudah menjadi pedoman hidup orang Minang. Hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam khusunya tentang halal dan haram secara beransur-ansur ditinggalkan walaupun tidak jarang terjadi pertentangan antara kaum adat dengan kaum agama. Apa yang selama ini dianggap baik dan tidak bertentangan secara langsung dengan hukum Islam tetap dijalankan; diantaranya sistem kekarabatan matrilineal yang sampai sekarang masih berlaku karena Islam juga menempatkan perempuan pada posisi yang mulia bahkan Rasulullah dalam hadistnya mengatakan “ Sorga terletak dibawah telapak kaki ibu”.

Untuk mengakiri pertentangan-pertentangan kecil antara kaum adat yang masih melaksanakan kebiasaan-kebiasaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam dibuatlah kesepakatan antara alim ulama, ninik mamak, cadiak pandai. Kesepakatan itu berusaha untuk menyatukan ajaran adat dan ajaran Islam agar tidak menimbulkan perpecahan di kalangan orang Minangkabau. Kesepakatan tersebut diadakan di Bukit Marapalam, yang kemudian dikenal dengan Sumpah Sati Marapalam (Puti Reno Raudha Thaib, 2010).

Sumpah Sati Marapalam melahirkan adagium adat dalam budaya Minangkabau Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah. Bertitik tolak dari adagium tersebut maka adat dan syara’ menjadi dua ajaran yang harus diterapkan oleh orang Minangkabau dalam hidupnya. Syara’ mangato, adat mamakai bermakna bahwa hukum Islam (syara’) berada pada tingkat yang menentukan sedangkan ajaran adat berada pada tingkat pelaksanaan. Antara adat dan syara’juga dikatakan Adat basisampiang, syara’ batilanjang. Artinya pelaksanaan adat diterapkan berdasarkan kondisi-kondisi yang sesuai, penuh kebijaksanaan. Sedangkan syara’ adalah hukum yang pasti, tegas dan tidak dapat ditawar-tawar. Oleh karena itu dikatakan bahwa syara’ mandaki adat manurun. Maksudnya adalah ; pelaksanaan ajaran adat harus menuju/mempedomani hukum-hukum Islam, sedangkan hukum-hukum Islam harus diterapkan secara nyata dalam ajaran adat (Puti Reno Raudha Thaib, 2010)


* Penulis adalah Kepala Museum Negeri Adityawarman
Provinsi Sumatera Barat

Post a Comment

Previous Post Next Post